Kenapa Anda merokok? Bila saya pejabat berwenang di pemerintahan, berurusan dengan perizinan dan pelarangan rokok, saya akan mengganti ancaman “Merokok Membunuhmu” dengan pertanyaan itu. Sederhanya saja alasannya: lebih partisipatif. Sebuah produk bisa sukses karena dibeli massa. Dan bertanya kepada massa pembeli adalah kunci sukses mendapat suara (baca: lakunya produk). Itulah mengapa pasar survei jadi ramai, bukan?
Dengan nomer hotline SMS gratis untuk mengirimkan alasan, ditambah iming-iming hadiah menarik berupa satu-dua slop rokok idaman, atau umrah ke tanah suci, niscaya survei tambah kredibel. Perusahaan rokok akan untung: penjualan bisa meningkat karena makin dekat dengan selera pribadi dan suasana psikologi para perokok. Perusahaan iklan rokok akan makin banyak, isinya makin inovatif dan makin “gue banget”. Daya saing iklan juga akan bertambah. Lapangan kerja biasanya akan ngikut.
Kenapa merokok sulit dihentikan? Padahal ancamannya sudah luar biasa menakutkan: dari membunuh sampai memiskinkan. Kurang apa lagi? Masih saja orang tak berhenti. Silahkan berargumentasi dari sisi medik kimiawi sampai sosial budaya, intinya akan sama: berhenti atau bertahan adalah sukarela. Serela menguras kocek lebih banyak setiap hari demi sebungkus atau dua bungkus rokok; serela menahan keinginan merokok karena tak tega melihat bayi yang gelagepan asep dalam gendongannya; serela berhenti karena pacar yang begitu dicintai tidak merokok atau tak membolehkan merokok—kali itu cinta lebih nagih ketimbang rokok.
Merokok tak bisa dihentikan. Sama seperti jatuh cinta. Keduanya adalah sarana bertahan sekaligus pelepasan dalam dunia yang ramainya makin lama makin bikin sakit kepala dan menambah gerombolan orang-orang sepi. Bedanya rokok tidak perlu peruntungan untuk didapat, ada tiada uang, rokok tetap bisa dibakar.
Sementara cinta, celakanya tidak bisa. Hanya orang-orang beruntung yang mendapatkannya, dan orang-orang kurang beruntung yang berkali-kali kehilangannya. Begitulah dunia. Sehingga macam-macam tulisan di Mojok bisa ada dan macam-macam orang ikut membaca, tertawa, marah, terhibur dan membagikannya.
Saya tidak bisa bayangkan bagaimana orang-orang yang kehilangan cinta bisa melanjut hidup tanpa rokok—mungkin mereka punya uang lebih untuk naik haji atau travel sendirian. Sungguh, rokok adalah penolong mujarab paling cepat, jauh lebih aman dan murah ketimbang yang lain-lainnya. Bila ada survei baik hati mendata berapa persen orang-orang mengenal rokok akibat patah hati, kita akan tahu kita tidak sedang sepi dan sedih sendiri. Memang lebih sehat dan murah dengan minum air tajin, tetapi rasanya tidak enak, dan kebanyakan bisa sakit perut—lagi pula repot, mesti masak nasi dulu untuk bisa mendapat setajin dua tajin. Bisa juga olahraga lari keliling kampung sore-sore, tetapi jauh lebih meletihkan dan tak ada jaminan menyembuhkan patah hati.
Rokok juga tidak akan sembuhkan patah hati, pastinya. Tetapi ia membantu Anda kalem dan fokus pada diri sendiri. Saya rasa satu-satunya kenikmatan merokok bukan karena “nggak ada loe gak rame”, tetapi karena “setelah loe pergi gue sepi”, atau “gue lagi enggak butuh elo pade”. Kenapa begitu? Karena tarikan pertama rokok tak pernah ada hubungannya dengan siapa yang sedang bersama Anda, melainkan apa yang saat itu sedang Anda rasakan. Dan rasanya: lega.
Tentu saya menulis ini penuh pretensi. Bukan karena mau bela perusahaan rokok—ngapain, wong saya tidak dapat sepeserpun dari keuntungan mereka. Juga tidak sedang belagak membela buruh-buruh rokoknya—ngapain juga, wong buruh di mana pun akan terus terancam PHK oleh alasan-alasan non pelarangan rokok lainnya. Pretensi saya satu saja: memang tiap patah hati, rokok adalah sahabat saya.
Merokok bikin penyakit? Bisa saja, bisa juga tidak. Penyakit diderita semua orang karena dunia tempat hidup sudah duluan penuh penyakit, dari udara yang dihirup sampai tinja yang dibuang. Dan untuk tetap bisa sehat punya kecenderungan mahal. Justru karena itu orang-orang malah jadi butuh rokok. Mana mungkin atasi mahalnya biaya hidup dengan mengurangi jatah rokok? Wong harga hidup inflasinya jauh lebih cepat dari harga rokok? Kalaupun terpaksa dikurangi rokoknya, atau berhenti sekalian, bukan karena mau menabung, tetapi sukarela karena tak lagi punya uang.
Rokok, kata Kristen Lewis memang mahal, tetapi juga opsi terbaik. Dia bilang: “aku selalu, selalu kecapekan. Rokok adalah stimulan. Ketika aku terlalu capek untuk jalan satu langkah lagi, aku merokok, akhirnya bisa berjalan beberapa jam lagi. Saat aku sedang emosi dan terus menerus dihinakan atau gagal lagi mencapai sesuatu hal, aku merokok dan aku merasa sedikit lebih baik, walau hanya beberapa menit saja. Inilah saja satu satunya relaksasi yang aku sanggup. Ini bukan keputusan yang bijaksana tentu saja, tetapi inilah satu-satunya hal yang dapat aku akses. Ini lah satu-satunya hal yang bisa kudapat dan membantuku tidak kolaps atau meledak.”
Begitulah.
Kita tak perlu filosofi rokok untuk tetap merokok. Tak perlu narasi-narasi hebat. Merokok sajalah, tak apa. Anda tahu butuh atau tidak setelah tahu rasanya dan fungsinya buat Anda. Jangan panik tak menentu. Akan ada masanya berhenti ketika rokok ternyata tak lagi bikin Anda bahagia. Ada masanya Anda lanjut lagi karena bahagia ternyata umurnya tak lama.
Sesederhana itu.