MOJOK.CO – Inilah tiga alasan yang akan membuat Real Madrid masih akan menjadi penguasa Liga Champions Eropa.
Tahukah pembaca bahwa Paris Saint-Germain (PSG) dijagokan oleh pasar taruhan untuk mengalahkan Real Madrid? Pembagian “kemungkinan” oleh pasar taruhan adalah 47,1 persen untuk kemenangan PSG, 29,3 persen untuk hasil imbang, dan Madrid hanya mendapatkan 23,6 persen.
Mengapa PSG, yang bermain tanpa Neymar, diunggulkan untuk lolos ke babak perempat final? Sebenarnya masuk akal, lantaran Real Madrid bermain jauh dari kata konsisten di La Liga. Saat ini, Los Blancos duduk di peringkat ketiga, berjarak 15 poin dari Barcelona di puncak klasemen. Statistik sederhana, yang sungguh menyesatkan, yang membuat Madrid tidak diunggulkan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Real Madrid menang di kandang PSG. Satu lagi bukti bahwa pembaca harus hati-hati ketika membaca statistik di sepak bola.
Sebenarnya, Madrid tidak bermain begitu istimewa di Parc des Princes, rumah PSG. Yang Madrid sajikan bukan sepak bola indah. Juara bertahan Liga Champions tersebut menyuguhkan sepak bola untuk menjadi juara. Lantas, apakah Real Madrid akan memecahkan rekor menjadi juara Liga Champions tiga kali berturut-turut? Peluangnya cukup besar.
Mengapa?
1. Real Madrid (masih sangat) efektif
Kemenangan Madrid di kandang PSG adalah rangkuman penampilan mereka sepanjang musim lalu di Liga Champions. Tak konsisten selama babak putaran grup, Madrid menemukan pijakan yang lebih pasti ketika sudah mentas di babak sistem gugur. Singkat kata, Madrid paham cara “memperlakukan” babak sistem gugur di Liga Champions.
Sepeti apa cara terbaik memperlakukan babak sistem gugur Liga Champions itu? Dengan bermain seefektif mungkin. Berbekal pemain-pemain seperti Karim Benzema, Cristiano Ronaldo, dan Isco Alarcon di lini depan, musim lalu, Madrid menanggalkan “jubah permainan indah”. Pendekatan mereka adalah keseimbangan demi sebuah tim yang lebih efektif.
Seperti apa konkretnya?
Di kandang PSG, dengan keunggulan agregat 1-3, Madrid bermain sangat tenang ketika menangani proses serangan lawan. Fokus mereka adalah mencegah pemain PSG untuk masuk ke kotak kecil di depan gawang. Pemain PSG, seperti Edinson Cavani, Kylian Mbappe, atau Angel Di Maria boleh masuk ke kotak penalti. Namun, ketiganya tidak diizinkan untuk mendapatkan ruang tembak (atau jalur umpan) yang nyaman.
Ketika opsi semakin terbatas, yang bisa dilakukan PSG adalah mengirim umpan silang ke dalam kotak penalti. Inilah yang ditunggu Madrid. Baik Sergio Ramos maupun rekan duetnya di jantung pertahanan Madrid, Raphael Varane, jago menanggulangi bola atas lawan. Tanpa kreativitas Neymar dan penetrasi dari lini kedua, PSG tak punya solusi.
Fokus Madrid selain bertahan sebaik mungkin adalah menggunakan dua sayap mereka, Asensio dan Lucas Marquez, sebagai kanal serangan. Umpan silang dari sisi dalam lapangan (half space), adalah cara cerdik Madrid untuk mengeksploitasi ketajaman Ronaldo. Pemain asal Portugal ini berkembang menjadi penyelesai peluang yang efektif. Setidaknya untuk musim lalu.
PSG sendiri butuh “gol aneh” untuk menyamakan kedudukan. Bola yang memantul secara liar di depan kotak penalti secara ajaib menyenggol kaki Cavani.
2. Zinedine Zidane yang fleksibel
Kondisi fisik Toni Kross dan Luka Modric, dua dinamo Madrid, sedang tidak ideal. Menyikapi situasi itu, Zinedine Zidane tidak memaksa timnya untuk bermain seperti ketika kedua pemain tersebut ada di atas lapangan. Zidane melakukan pendekatan yang berbeda dengan fokus keseimbangan tetap menjadi perhatian utama.
Dari pola pakem 4-3-3, Zidane membuat Madrid bermain dengan 4-4-2. Dua gelandang di tengah diisi Casemiro dan Mateo Kovacic. Dua pemain ini punya aspek bertahan lebih baik ketimbang Kross maupun Modric. Namun, kedua nama tadi juga nyaman menguasai bola dan punya insting menyerang yang juga tak kalah baiknya.
Oleh sebab itu, duet Casemiro dan Kovacic adalah pilihan yang sangat bijak dari Zidane. Bermain dengan struktur tim yang kompak, Casemiro dan Kovacic mendapatkan bantuan dari dua sayap ketika bertahan. Bentuk 4-4-2 yang kompak inilah yang membuat gelandang-gelandang PSG kesulitan melakukan penetrasi dari tengah.
Ketika Marco Verratti mendapat kartu merah dan PSG bermain dengan 10 pemain, Zidane memasukkan Kross untuk menggantikan Kovacic. Ini juga pilihan yang masuk akal. Zidane mengubah Madrid yang agresif di lini tengah menjadi lebih tenang ketika menguasai bola. Kross adalah salah satu controller terbaik di dunia. Madrid memainkan tempo dengan sangat baik.
Pun ketika kembali unggul 1-2, Zidane langsung memasukkan Isco. Keberadaan pemain yang bisa menerima umpan vertikal, mengusai bola di ruang sempit, dan distributor bola yang baik semakin membuat Madrid nyaman. Meski tak lagi agresif, Madrid punya lebih banyak peluang masuk ke kotak penalti ketimbang babak pertama.
Pendekatan taktik yang fleksibel adalah salah satu syarat sukses di ajang kompetisi klub paling mewah di dunia ini. Pada dasarnya, cara bermain sebuah klub tak boleh monoton. Di Liga Champions, semua tim juara selalau adaptif.
3. Mental dan pengalaman
PSG punya skuat yang mewah, punya pemain termahal di dunia, dan pemain muda paling sensasional saat ini. Namun, ketika bertemu Real Madrid, semua status itu seperti luruh. Mengapa? Dua kata saja, mental dan pengalaman, menjadi jurang yang belum bisa diseberangi oleh PSG.
Madrid memang terlalu sering tak konsisten musim ini. Namun, jangan pernah mengeluarkan sang juara bertahan, pemegang rekor dua kali juara berturut-turut, dari persaingan menuju juara. Ketika Anda meremehkan sang juara, hanya ada kekalahan di ujung mata.
Seperti yang saya singgung di atas, Madrid punya “cara” untuk menangani babak sistem gugur. Yang mana artinya juga menangani cara bermain dan pemain-pemain terbaik lawan.
Menangani cara bermain lawan? PSG, yang tertinggal 1-3 secara agregat, tentu akan bermain agresif dengan tempo cepat untuk mencari gol. Michael Cox, salah satu pundit ternama berkicau lewat Twitter bahwa babak pertama PSG vs Madrid sungguh tidak menyenangkan untuk ditonton karena banyaknya pelanggaran tak perlu.
Namun, justru “pelanggaran-pelanggaran tak perlu” inilah yang sukses meredam agresivitas PSG. Tactical foul banyak dipandang sebelah mata, dianggap perbuatan tak menyenangkan dan merusak keindahan laga.
Namun, ketika aksi ini membuat Madrid kembali juara Liga Champion, Anda bisa apa? Tim kesayanganmu main di Liga Champions? Jangan-jangan main di Liga Malam Jumat pun tidak.
Baik Kovacic maupun Casemiro sangat fasih melakukannya. Mereka menempelkan badan mereka secara halus, hanya untuk mengganggu lari pemain lawan. Ketika pemain lawan terjatuh, pelanggaran tersebut tidak akan dianggap sebagai pelanggaran berat dan tidak berujung mendapatkan kartu kuning atau merah.
Tactical foul mengganggu proses bermain PSG, merusak ritme mereka, terutama di wilayah-wilayah berbahaya. Tujuannya adalah membuat pemain-pemain PSG semakin frustrasi karena kehilangan kesabaran.
Aksi ini sungguh sukses ketika Verratti, yang banyak diganggu Kovacic, lepas kontrol. Ia sudah mendapatkan kartu kuning di babak pertama seteah menekel Casemiro dari arah belakang. Apakah Verratti memang sudah diincar Madrid? Bisa jadi, karena pemain asal Italia tersebut adalah otak permainan PSG di lapangan tengah. Tanpa Verratti, PSG kesulitan membangun serangan dari lapangan tengah.
Inilah cara Madrid menangangi pemain terbaik lawan. Aksi yang kurang lebih sama mereka lakukan untuk meredam Paolo Dybala di final Liga Champions musim lalu.
Madrid tak goyah ketika PSG menyamakan kedudukan. Cara bermain mereka tetap terasa sejuk. Mental tebal berbicara, dan akan menjadi bekal sangat penting di babak selanjutnya.
Tiga alasan: efektif, pelatih yang fleksibel soal taktik, dan mental (serta pengalaman) adalah senjata Madrid. Tiga alasan inilah yang akan membuat Madrid masih akan menjadi penguasa Liga Champions.
Tantangan Madrid, boleh dikata, mungkin hanya ketika bertemu Barcelona. Rival terbesar, yang musim ini juga punya tema yang sama seperti Madrid, yaitu konsep tim yang seimbang dan efektif. Semoga mereka bertemu di laga puncak.