MOJOK.CO – Persaingan Arsene Wenger dan Sir Alex Ferguson adalah sebuah terjemahan tentang kebencian penuh yang berubah menjadi rasa hormat satu sama lain.
Kalau kamu pembaca komik Tiger Wong pasti masih ingat dengan pertarungan Barbarian melawan Supreme Muda. Pertarungan itu berlangsung sangat sengit. Tony Wong, si pengarang, membutuhkan tiga seri untuk menceritakan salah satu duel paling brutal dari dua rival itu. Pada akhirnya, Barbarian keluar sebagai pemenang.
Rapalan Sengatan Listrik Purba level 33 dari Barbarian menggempur jurus Pembuka Surga Hin Yuen level 40. Supreme Muda, yang mencoba bermain cantik, justru tertekan oleh gempuran Barbarian. Pertarungan antara Barbarian melawan Supreme Muda menjadi sebuah patokan. Menjadi memori paling kuat tentang senjakala penguasa.
Pada titik tertentu, persaingan Barbarian dan Supreme Muda mirip seperti persaingan stau dekade lebih antara Arsene Wenger dan Sir Alex Ferguson. Bagi saya pribadi, sebagai fans Arsenal, duel langsung keduanya adalah guru. Persaingan antara dua manusia unggul itu adalah “ibu dari semua persaingan” di era Premier League.
Sir Alex Ferguson sudah merasakan ancaman ketika Arsene Wenger resmi melatih Arsenal pada tahun 1996. Datang dari Jepang, masih menggunakan kaca mata tebal, menguasai lima bahasa, Arsene Wenger sering diledek seperti guru sejarah. Dia dianggap lebih mirip profesor sebuah universitas ketimbang pelatih sepak bola.
Apa kalimat sambutan Sir Alex Ferguson untuk Arsene Wenger. Kira-kira berbunyi demikian: “Banyak orang bilang kalau dia itu orang pintar karena menguasai lima bahasa. Kamu tahu, saya kenal seorang anak dari Pantai Gading masih berusia 15 tahun yang juga bisa berbahasa lima bahasa.”
Sebuah sambutan yang sangat panas dari Barbarian-nya Manchester United. Terutama saat itu, semua pelatih asing yang datang pasti menjadi bahan ledekan karena ada anggapan hanya manajer dari Britania yang bisa juara di Liga Inggris. Orang asing dianggap tak paham kultur Brtiania.
Sebuah sambutan panas yang mengawali rivalitas selama 17 tahun. Apalagi Arsene Wenger adalah satu dari sedikit pelatih yang jago menyusun kalimat satire dan sarkas ketika membicarakan pelatih lain. Sir Alex yang mudah panas dan Wenger yang memang nyelekit mulutnya. Persaingan yang membuat Premier League terasa murni.
Mungkin cuma Arsene Wenger yang dianggap bisa menggangu dominasi Manchester United di Liga Inggris. Dari tahun 1997 hingga 2005, Arsenal dan Manchester United ganti-gantian menjuarai Liga Inggris. Arsenal juara tiga kali, sementara United empat kali. Salah satu pencapaian terbesar di era Premier League adalah ketika Arsenal melewati 49 laga tanpa kalah.
Siapa yang memutus rantai tak terkalahkan itu? Tentu saja United. Di laga ke-50, United menang dengan skor 2-0 dan lahirlah Pizza’s Gate yang termasyhur itu. Ketika Fabregas melempar pizza ke arah kerumunan pemain United dan kok ya kena Sir Alex.
United pernah membantai Arsenal dengan skor 8-2, sementara Arsenal menjadi juara Liga Inggris di Old Trafford. Sir Alex pernah berujar kalau dirinya sangat tidak suka dengan Wenger. “Dia akan meminta maaf? Saya tidak berharap dia minta maaf karena dia tidak akan pernah melakukannya,” kata Sir Alex selepas Pizza’s Gate.
Dari rasa sangit yang menyebar sampai sumsum tulang, berubah menjadi rasa hormat satu sama lain. ketika tensi permusuhan reda, Sir Alex Ferguson memuji Arsene Wenger. “Saya suka tim yang diracik Arsene. Ada tantangan istimewa yang membuat saya harus berpikir selama berjam-jam. Mereka akan selalu tampil baik ketika bertanding di Old Trafford. Banyak yang bilang kalau permainan Arsenal meniru Barcelona, tetapi bagi saya Barcelona yang justru meniru Arsenal.”
Sejak saat itu, seperti persaingan Barbarian vs Supreme Muda, perseteruan keduanya menjadi warisan bagi generasi muda. Warisan yang kikis karena kombinasi manajemen tidak terampil dan pelatih tanpa ide.
Arsene Wenger akan melalu tampil menyerang meski melawan sesama tim besar. Kecuali, ketika bertemu dengan lawan yang memang beda level. Sebuah penyesuaian dilakukan. Namun, Arsenal tak pernah kehilangan identitasnya untuk bermain atraktif dan menyerang.
Arsene memperkenalkan cara menang dari sebuah keharmonisan yang terbangun. Sebuah terjemahan dari visi Victoria Concordia Crescit yang dianut Arsenal sejak lama. Arsenal boleh kalah, tetapi tidak ada alasan untuk tidak tampil menyerang. Sebuah gagasan yang lesap di tangan Unai Emery.
Di dua musim terakhir Emery menjabat, jumlah agregat tembakan ke arah gawang Arsenal berada pada titik minus. Melawan Southampton, klub yang duduk di peringkat 19, misalnya, Arsenal menderita 21 tembakan ke arah gawang. Sebuah kondisi yang tidak akan terjadi di masa Arsene Wenger.
Bagaimana dengan Manchester United dengan Ole Gunnar Solskjaer sebagai pelatih? Setelah 13 laga musim 2019/2020, Manchester United mencatatkan peroleh poin terburuk sejak tahun 1988/1989. Arsenal duduk di peringkat 8, sementara United menguntit di posisi 9. Pada titik tertentu, saat ini, persaingan Arsenal vs United adalah menjadi badut paling tidak lucu di Liga Inggris.
Tidak ada lagi sajian brutal tetapi indah dari perseteruan Arsenal vs United. Karena memang, ini semua tentang persona. Pesona dua guru, Arsene Wenger dan Sir Alex Ferguson. Pesona yang menyeruak dari persona masing-masing dan melingkupi citra kedua klub.
Dahulu, rasanya bukan main menyenangkan ketika Arsenal mengalahkan United. Kini, yang ada hanya rasa getir ketika di ujung laga, tim kesayangan sebatas “tidak kalah”. Gairah yang dulu menggelegak ketika menantikan laga, berubah menjadi getir di lidah karena tahu akan menyaksikan sebuah parade kebodohan.
Warisan Arsene Wenger dan Sir Alex Ferguson sudah tidak ada. Dan yang lebih menyedihkan, satu hal itu bukan satu-satunya masalah yang kini dihadapi Arsenal dan Manchester United. Sebuah keprihatinan yang dirasakan bersama-sama, oleh perasaan benci berubah jadi hormat, dari dua guru yang kini menepi di puncak gunung Premier League.
BACA JUGA Megawati Seperti Sir Alex Ferguson, Dominan dan Sulit Digantikan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.