Episode Jasmerah kali ini hadir dengan format yang berbeda. Untuk pertama kalinya, acara ini disiarkan secara live stage. Melalui panggung ini, Jasmerah membuka kembali bab gelap sejarah politik Indonesia tahun 1950-an — masa ketika parlemen menjadi arena tarik-menarik antara kekuatan sipil dan militer.
Bersama Muhidin M. Dahlan dan Dhias Nauvaly sebagai moderator, diskusi ini menelusuri bab-bab penting dari buku Kronik Otoritarianisme Indonesia. Buku tersebut mengurai perjalanan panjang lahirnya rezim otoritarian di republik ini.
Diskusi dibuka dengan menyingkap bagaimana demokrasi parlementer DPR, yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan rakyat, justru terjebak dalam kepentingan partai dan tekanan militer. Korupsi pun ikut memperkeruh keadaan.
Melalui arsip sejarah, terlihat bahwa lembaga perwakilan rakyat tak lagi menjadi wadah aspirasi. Ia berubah menjadi arena tawar-menawar kekuasaan — mulai dari penetapan anggaran pertahanan hingga penempatan perwira aktif di jabatan sipil.
Pola yang lahir sejak dekade 1950-an inilah yang menjadi cikal bakal hubungan transaksional antara militer dan kekuasaan sipil.
Razia Agustus dan Peristiwa 17 Oktober 1952
Pembahasan kemudian bergeser ke Razia Agustus 1952 dan Peristiwa 17 Oktober 1952. Untuk pertama kalinya, militer melakukan operasi besar terhadap warga sipil. Tank-tank dikerahkan ke depan istana untuk menekan dan menuntut pembubaran DPR hasil pemilu.
Momen ini menandai tumbuhnya bibit supremasi militer, ketika tentara mulai merasa lebih berhak menentukan arah negara dibanding wakil rakyat.
Peristiwa tersebut menjadi titik balik hubungan sipil dan militer yang terus bergeser hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959, saat Soekarno mengakhiri demokrasi parlementer dan membuka jalan bagi Demokrasi Terpimpin.
Dari Sejarah Ultranasionalisme ke Militerisme
Setelah itu Perbincangan kemudian meluas menelusuri jejak mentalitas ultranasionalisme dan militerisme — dari masa kabinet Ali Sastroamidjojo, pemberontakan PRRI–Permesta, hingga konsolidasi kekuasaan Soeharto pasca-1965.
Gus Muh menyebut dua kutukan bangsa Indonesia: feodalisme dan militerisme. Dua hal ini tak pernah benar-benar selesai, karena terus bereinkarnasi dalam wajah politik modern.
Dalam bagian penutup, Gus Muh menegaskan bahwa reformasi militer tak akan lahir dari dalam tubuh TNI sendiri.
Perubahan hanya mungkin muncul lewat aksi massa rakyat yang besar, sebagaimana sejarah gelap terjadi pada 1998.
Ia juga menyoroti pentingnya disiplin pengetahuan dan pengarsipan sejarah sebagai bentuk perlawanan sipil — sebab kekuasaan bukan hanya merebut tanah dan jabatan, tetapi juga menguasai ingatan.







