Saya Ditinggal Nikah, tapi Saya Tidak Sakit Hati!

Saya Ditinggal Nikah, tapi Saya Tidak Sakit Hati! MOJOK.CO

Ilustrasi Saya Ditinggal Nikah, tapi Saya Tidak Sakit Hati!

Di musim nikah kali ini, giliran saya yang jadi korban. Gara-garanya saya ditinggal nikah mantan pacar. Saya harus hidup dalam dunia per-julidan.

Bagaimana tidak? Saya mendadak menjadi artis yang jadi bahan pembicaraan oleh hampir semua orang yang ada di lingkungan saya.

“Ngancani nanging ora isa nduweni,” itulah headline yang mereka sematkan kepada saya yang ditinggal nikah oleh mantan pacar.

Omongan julid yang menyebalkan

Mereka beranggapan kalau saya sedang tertimpa masalah yang sangat besar. Padahal saya sendiri sebagai orang yang mengalami merasa, “ah gitu aja, biasa aja kali!”. Tapi justru itu hal yang sangat menyebalkan. Tak mengenal waktu dan tempat, setiap ketemu orang pasti saya yang jadi bahan pembahasan. 

“Yang sabar ya, mas!”

“Gimana perasaanya ditinggal nikah?”

“Ini dia orangnya, yang ketikung sama temennya sendiri.”

Itu beberapa contoh ucapan yang mereka lontarkan kepada saya. Tentunya diakhiri dengan gelak tawa. “Lucu, kah? Huft, sungguh meresahkan!”. 

Bagi mereka mungkin lucu dan menggembirakan, tapi bagi saya sangat menyebalkan. Bukan karena ditinggal nikahnya, tapi omongan julid mereka. 

Sampai-sampai saya mencoba untuk membatasi kontak dengan manusia dan mengurung diri di kamar. Keluar kamar hanya untuk hal-hal yang darurot, seperti makan dan berak. Untuk pikiran dan hati, saya alihkan dengan aktifitas yang memungkinkan untuk dilakukan di kamar. Kadang baca buku, nonton film, nge-game, musikan dan tidur. 

Menikah dengan temannya yang juga temanku

Ceritanya begini. Saya punya hubungan dengan seorang wanita. Wanita yang biasa saja dan tidak terlalu istimewa. Bahkan banyak yang lebih istimewa darinya. Baik dalam hal apapun, kecantikan, kedewasaan, perhatian, kasih sayang, dan lain sebagainya. Namun, entah kenapa hatiku terpaku pada sosok itu. 

Saya mengenalnya sejak 4 tahun yang lalu. Kalau dipikir, lama juga ya? Seperti hubungan pada umumnya, kadang asyik dan menyenangkan, sedih dan menyakitkan, kadang pula komunikasi terputus berhari-hari bahkan berbulan-bulan. 

Saya satu kampus dengannya. Kebetulan juga tinggal di asrama yang berada di bawah yayasan yang sama. Bedanya, saya di asrama putra dan dia di asrama putri. Jadi, memang komunikasi kami kebanyakan lewat media online ketimbang offline. 

Singkat cerita, sekitar 2 bulan yang lalu, seorang pria melamarnya. Pria yang masih seangkatan dengannya dan dengan saya, alias masih teman juga. Kebetulan, saat itu hubungan kami sedang tidak baik-baik saja. 

Saya memang tidak sakit hati dia menikah dengan pria itu, tapi saya kecewa dan benci dengan wanita itu. Perasaan yang sulit saya hindari. Bagaimana tidak? Pria itu juga pernah punya hubungan dengannya.

Beberapa kali saya pernah memergoki keduanya, yang membuat hubungan kami retak. Dengan kata lain, ia punya pria simpanan. Tapi bodohnya, kenapa wanita itu masih bisa memikat hati saya? Sudah begitu entah kenapa pula saya yang bertahan paling lama berhubungan dengannya. 

Namun sayang, harus kena batunya di penghujung cerita. Sungguh tidak terbayang jika harus berakhir seperti ini. Tepat seminggu ini, mereka melangsungkan akad pernikahan. 

Saya ngikut pesan Ibu

Mulai saat sebelum pernikahan, saat pernikahan, dan sesudah pernikahan, para kaum per-julidan memulai aksinya membicarakan saya. 

Dari cerita yang apa adanya sampai cerita yang mengada-ngada. Di sisi lain, saya termasuk orang yang dikenal se-asrama dan se-kampus. Dan, mereka taunya, saya lah orang yang terakhir berhubungan dengannya. Boom, Meledak!.

Namun, sebenarnya, apakah saya benar-benar ingin memilikinya? Jika pertanyaan itu dilontarkan saat bucin-bucinnya jawabannya adalah iya. Tapi jika ditanyakan dengan jawaban yang serius, tentunya tidak. Karena wanita impian saya dan orang tua saya tidak tergambar dalam diri wanita yang sudah pernah singgah itu. 

Begini pesan ibu saya, “kalau cari istri yang sholehah, terus yang lebih muda, rumahnya jangan jauh-jauh, syukur-syukur kalau bisa yang cantik dan punya aktifitas, guru misal, atau penulis. Dan satu lagi, wanita yang dewasa”.

Nah, tanpa saya resapi dan dalami apa pesan ibu, yang jelas wanita yang pernah bersama saya sama sekali tidak masuk dalam deskripsi itu. So, Ingat, ya! Saya baik-baik saja, saat dia memilih menikah dengan pria lain, apalagi terluka dan menangis!

Luthfil Khakim, Purwrejo, luthfillkhakim.2412@gmail.com

BACA JUGA Terjerat di ‘Zona Teman’ Jogja: Kisah Cinta, Gemini, dan Dating Apps dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG.

Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg  bisa dikirim di sini

Exit mobile version