Seorang anak perempuan punya pesan untuk ayahnya yang seumur hidupnya tidak memberi nafkah untuk keluarganya. Bahkan cenderung menjadi benalu keluarga.
Aku lahir dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Aku pernah berada di posisi brokenhome. Melakukan segala aktifitas sendiri mulai dari belajar memasak dan mengurus adikku yang masih SD kelas 1.
Kedua orang tuaku berpisah karena kondisi ekonomi. Ayahku cenderung pelit kepada kami. Kondisi itu yang membuat ibuku tidak tahan dengan ekonomi yang serba kurang. Berutang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Pasca-bercerai, Ibuku pergi menjadi TKW untuk membantu kebutuhan keluarga di Indonesia dan biaya sekolahku sampai tingkat sarjana. Ketika aku SMP ayahku menikah lagi, tapi pernikahan ayahku tidak bertahan lama. Aku tidak pernah diberi kabar soal pernikahan ayahku, bahkan mengenal calon Ibuku saja tidak.
Bagiku sejak SMP dunia itu sangat kejam dan keras
Sejak SMP bagiku dunia sangatlah kejam dan keras. Aku hidup bersama nenek dan pamanku, adik bontot ibu. Setiap bulan ibu mengirim uang ke Indonesia untuk biaya hidup kami. Sedangkan ayahku di rumah lain bersama istrinya yang baru dan anaknya yang masih balita. Perasaanku hancur, tapi sebagai anak pertama perempuan, aku dituntut harus kuat.
Dua tahun berlalu, ternyata ayahku cerai dengan istri barunya. Dengan hati yang lapang Ibu berencana menerima Ayahku lagi untuk rujuk. Aku pun berusaha lapang dan memaafkan kesalahan Ayahku. Dulu pasca-cerai rencana rujuk itu ada, tapi ayah menghianatiku. Janji ayah kepada putrinya hanya sebatas manis di bibir.
Cara pandangku pada laki-laki menjadi berbeda
Ketika tumbuh dewasa cara pandangku terhadap laki-laki pun berbeda. Ada rasa takut dan trauma yang aku alami. Takut jika lelaki pilihanku sama seperti Ayah. Ini karena aku merasa masa kecilku kurang kasih sayang dari Ayahku. Tahun ke-6 setelah perceraian ayah dengan istri barunya. Ibu pulang ke Indonesia dan rujuk kembali.
Aku bahagia karena Doaku terkabulkan untuk menyatukan kedua orang tuaku kembali. Bukan aku tidak bersyukur pemberiannya. Watak memanglah watak, tidak bisa berubah. Ayah masih sama wataknya. Aku kesal bahkan rasanya malas dengan ayahku sendiri. Meski aku kesal, aku tetap menghormatinya, bahkan saat pendapatku tidak didengar dan disepelekan.
Aku dan suamiku pun sesekali ketika ada rejeki lebih, mengajak wisata atau sekadar makan bersama. Ayahku tak pernah mau tau kebutuhan keluarga. Semua kebutuhan ditanggung oleh ibu. Dari membiayai kuliah adikku, sampai urusan dapur. Aku membantu ibu, untuk memberikan uang saku adikku. Sebagai honorer aku belum mampu memberikan lebih.
Ayahku menganggur sejak lama. Dia di PHK ditempatnya berkerja saat pandemi Covid-19. Walau ayah berkerja pun, ibu tidak mendapat nafkahnya. Aku kadang berfikir “Apakah ada di luar sana anak-anak yang bernasib sama sepertiku?” Melihat teman kuliahku dekat dengan Ayahnya mebuatku merasa iri.
Ayah yang melalaikan kewajibannya untuk keluarga
Dulu selama ibu masih menjadi TKW, Ayahku selalu di-support untuk pengobatannya sampai puluhan juta. Sekarang, berbeda jauh. jika Ibu sakit, jangankan tanya kondisinya, biaya periksapun tidak ditanyakan.
Ayahku melalaikan kewajibannya, tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah secara agama. Sampai detik ini aku dan suami tetap menghormatinya dan menghargainya sebagai seorang ayahku dan ayah mertua bagi suamiku.
Hidup ayah seolah-olah sangatlah tenang, tidak memikirkan biaya hidup sehari-hari apalagi cicilan, tanpa beban. Kalau pulang kerja, aku sering melihat bapak-bapak ojek yang menunggu orderannya atau pedagang yang mendorong grobagnya atau kuli bangunan yang membuat saluran air. Jika ayahku berkerja seperti itu, aku tidak akan malu, aku justru bangga ayahkku berkerja keras demi keluarga. Tapi ayahku berbeda.
Ayah tidak begitu setuju jika anak-anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Yang ada di pikirannya setelah lulus SMA lebih baik kerja kerja dan kerja cari uang. Tak lupa juga kami dibandingkan dengan anak-anak orang lain.
“Kamu sudah kerja sini uangnya ayah yang pegang. Itu tuh anaknya tetangga rutin ngasih uang orang tuanya sama ngasih jatah rokok tiap bulan,” katanya.
Perasaanku sebagai anak perempuan hancur tapi aku hebat sejauh ini
Perasaanku hancur seketika. Gajiku sebagai honorer tidak serta merta aku habiskan sendiri. Sejak awal bekerja gajiku sudah ku sisihkan untuk kebutuhan di rumah untuk membeli sabun, mie dan snack dan kirim uang untuk adikku di pondok pesantren. Aku sisihkan lagi untuk peganganku.
Terkadang lelah, tapi aku hebat sejauh ini. Aku memuji diriku sendiri untuk kuat, untuk tidak bersedih dengan kondisi yang ada. Pelajaran hidup ini sangatlah berarti. Dari sikap Ayahku aku belajar untuk tidak bersikap demikian kepada anak-anakku nanti. Belajar untuk mendengarkan anak-anakku, mendukung untuk meraih cita-cita dan pendidikannya.
Jika kamu senasib denganku, jangan menyerah jangan bersedih, kita tidak sendiri. Karena sesungguhnya kita hebat sudah melalui step by step ujian yang menyakitkan hati, kita adalah orang-orang pilihan Allah untuk menjalani ujian ini. Allah sedang menguatkan mentalmu dan mendidik karaktermu untuk menjadi jiwa yang tangguh. Bagaimana pun orang tua kita, Berbakti dan selalu mendoakannya adalah Wajib.
Jika bukan karena Allah, aku membenci ayah seumur hidupku
Jika doamu padanya tidak merubah wataknya, mungkin doa yang baik itu akan digantikan dengan hal-hal baik yang tidak pernah disangka-sangka. Berprasangka baik pada Sang Pencipta itu wajib. Sekarang yang kita butuhkan untuk melanjutkan masa depan adalah keyakinan hati kita untuk terus melangkah.
Pesan untuk Ayah, “Ayah aku tetap gadis kecilmu walau aku sudah sedewasa ini, sayangilah aku, ibu dan adik sebagai ganti rasa sakit yang kau beri hingga sekarang. Bertanggungjawablah terhadap keluarga, kelak kami akan menjadi saksi di akherat atas perbuatanmu. Jika bukan karena Allah, aku akan membencimu selama hidupku. Tapi Perintah-Nya untuk tetap berlaku baik kepada kedua orang tua.”
Devya Nurul, Getaskerep, Tegal, Jawa Tengah, [email protected]
BACA JUGA Nggak Pernah Ada yang Bilang Jadi Anak Perempuan Pertama, Piatu, dan di Rumah Saja Itu Seberat Ini dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini