Beberapa minggu lalu saya mendengar sebuah kabar bahwa TPA Cipayung Depok mengalami longsor. Hal itu disebabkan curah hujan yang terjadi beberapa waktu lalu meningkat. Dalam 2 hari berturut-turut, hujan turun sepanjang hari. Alhasil, TPA Cipayung yang sudah overload itu pun longsor.
Sebenarnya itu tak begitu mengejutkan. Kabarnya, sejak 3 tahun terakhir, TPA Cipayung sudah nggak sanggup menampung limpahan sampah dari berbagai wilayah di Kota Depok. Tapi, tetap saja TPA Cipayung harus menerima kiriman sampah karena Kota Depok nggak punya lahan lagi untuk dijadikan TPA. Akhirnya bisa ditebak, overload.
Mengutip laman resmi, Pemkot Depok menjalin komunikasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan dan Pengolahan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut Nambo. Hal itu dilakukan untuk mengurangi tumpukan sampah yang terjadi di TPA Cipayung. Padahal, sependek pengetahuan saya, Kota Depok masih sangat banyak lahan terbuka yang bisa dijadikan TPA. Seperti di daerah Tapos.
Memang sih, Tapos lokasinya jauh. Bisa dibilang sudah masuk wilayah perbatasan dengan Kabupaten Bogor. Tapi, bukankah TPA memang seharusnya berlokasi di pinggiran kota, kan. Nggak seperti lokasi TPA Cipayung yang sekarang.
Daftar Isi
Mengenal TPA Cipayung yang sudah overload dari 2019
Mungkin jamaah mojokiyah banyak yang belum tahu lokasi TPA Cipayung, saya jelaskan sedikit. TPA Cipayung berlokasi di Jl. Pertanian Cipayungjaya, Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. TPA Cipayung berada dekat dengan perkampungan, seperti kampung di kelurahan Pasir Putih. Cerita dari beberapa teman saya yang tinggal di Pasir Putih, jika musim hujan atau kondisi angin sedang kencang, bau sampah yang aduhai dari TPA Cipayung bisa menemani keseharian warga Pasir Putih. Bahkan, teman saya pernah memilih untuk “pindah” sementara dari rumahnya dan memilih mengungsi ke rumah orang tuanya. “Kasihan anak dan istri cium bau sampah terus, soalnya mereka yang lebih banyak di rumah” begitu kata teman saya.
TPA Cipayung Depok sendiri memiliki luas kurang lebih 11 hektare dan sudah dinyatakan overload sejak tahun 2019. Namun, hingga sekarang belum juga ada jalan keluar dari Pemkot akan dibagaimanakan TPA Cipayung tersebut. Rencananya, TPA Cipayung akan di revitalisasi pertengahan tahun ini.
By the way, ini sudah pertengahan tahun lho, Pak.
Menurut saya, Pemkot Depok harus sering-sering baca Terminal Mojok. Di sana ada artikel berbagai permasalahn sampah dari daerah-daerah yang lain seperti Jogja.
Pemkot Depok harus meniru Banyumas dalam hal penglelolaan dan pengolahan sampah
Nah, saya rasa Pemkot Depok juga harus belajar dari Banyumas. Nggak ada kata terlambat, kok. Contohnya, walaupun terobosan Biskita Trans Depok bisa dibilang sangat terlambat, tapi warga tetap mendukung. Ya, mau bagaimana, wong bisanya baru sekarang. Tentu untuk penanganan masalah sampah pun akan didukung. Oh ya, untuk masalah sampah, Pemkot Depok juga merencanakan pembangunan fasilitas pengolahan sampah menjadi RDF (Refuse Derived Fuel). Menurut saya, sembari program itu dijalankan, alangkah baiknya Pemkot Depok mau sowan ke Banyumas. Banyumas punya sistem pengolahan sampah terbaik se-Asia tenggara, lho. Masa ya nggak mau meniru. Demi kebaikan, kan.
Depok krisis lahan TPA, tapi yang dibangun Margonda
Sekarang kita bergeser sedikit dari bahasan TPA Cipayung Depok. Ada hal yang unik menurut saya. Di tengah-tengah krisis lahan TPA, Pemkot Depok kabarnya akan membuat Margonda Jilid II. Kabar itu saya dapat setelah membaca postingan di media sosial. Margonda Jilid II kabarnya akan direalisasikan di wilayah Bojongsari.
Btw, kenapa selalu ada embel-embel Margonda, sih?
Menurut saya, pemeretaan wilayah bisnis seperti Margonda itu pasti punya tujuan baik. Biar daerah pinggiran nggak iri. Tapi, coba diprioritaskan hal-hal yang urgent. TPA Cipayung Depok ini kan sudah nggak perlu diragukan lagi urgensinya, masak ya nggak didahulukan?
Lagipula, permasalahan sampah di TPA Cipayung kalau nggak segera dibenahi akan berdampak buruk bagi warga sekitar TPA. Masak ya nunggu longsor jilid ke sekian?
Penulis: Jarot Sabarudin
Editor: Rizky Prasetya