Publik belakangan ini mendapat banyak kejutan dari pemerintahan Jokowi. Terutama para pegiat HAM dan para aktivis. Pernyataan Menag yang membela FPI dan “menjadi yang pertama” merekomendasikan perpanjangan izinnya, wacana pemilihan presiden melalui MPR, hingga sejumlah fraksi memunculkan isu soal perpanjangan periode jabatan presiden.
Sebelumnya, kontroversi sudah muncul sejak awal jabatan kedua Jokowi. Pemilihan kabinet yang memicu reaksi keras (utamanya soal menag yang membuat NU marah dan soal Prabowo yang jadi Menhan). Langkah yang bagi pendukung Jokowi disebut “langkah kuda” yang mendamaikan, karena mengakhiri perpecahan politik cebong-kampret. (Yang menurut saya langkah kuda mbelgedhes, karena pada dasarnya bukan karena ideologi. Tapi pada kepentingan politik saja).
Lalu, apa sebenarnya makna semua langkah tersebut?
Dalam pidato kenegaraan saat awal dilantik, Jokowi menyatakan bahwa “dia tidak punya beban lagi melaksanakan agendanya”. Karena dia sudah tak mungkin maju lagi.
Banyak pihak yang berharap bahwa ini berarti Jokowi akan melaksanakan agenda reformasi, sebagaimana harapan para pendukung-pendukung awalnya ketika karir politiknya mulai melejit dari wali kota Solo, lalu Gubernur Jakarta, hingga jadi presiden. Pun dalam pilpres 2019 lalu, meski berkurang banyak, sejumlah aktivis masih berharap padanya. Karena memang pilihan lainnya cuma satu, dan tak menarik pula dari perspektif agenda reformasi: Prabowo Subianto. (Termasuk saya juga hehe).
Tapi belakangan (sebenarnya bukan belakangan, karena saya yang terlambat melihatnya), prioritas utama Jokowi sebenarnya selalu pada pertumbuhan ekonomi. Bagai seorang Keynesian sejati, Jokowi melakukan sejumlah langkah yang sangat pro industri. Deregulasi, revisi UU tenaga kerja, hingga revisi UU minerba menunjukkan hal tersebut.
Baginya, yang dimaksud “tak ada beban menjalankan pemerintahannya” itu berarti dia tak ragu menjalankan kebijakan ekonomi tak populis. Seperti menaikkan iuran BPJS, tol, hingga menaikkan cukai rokok secara kontroversial hingga 23 persen.
Baginya, demokrasi hanya dibingkai dalam konteks pertumbuhan ekonomi. Demokrasi hanyalah salah satu alat utk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan kemudian voila, berharap tiba2 saja rakyat sejahtera. Agenda reformasi seperti kemerdekaan berekspresi, hak publik, atau anti korupsi bisa dikesampingkan atas nama pertumbuhan ekonomi.
Simak saja pernyataan Mendagri Tito Karnavian. Secara jelas, dia mencontohkan Tiongkok, Singapura, maupun Vietnam. Bahwa tanpa demokrasi, kesejahteraan bisa dicapai.
Ini memang tujuan yang mulia.
Tapi, pada prakteknya, keyakinan itu bisa menimbulkan bencana, jika dikaitkan dengan kondisi politik di Indonesia.
Dalam sebuah artikelnya, Burhanuddin Muhtadi menulis bahwa Jokowi setidaknya terjepit pada dua kepentingan: kartel politik dan tuntutan publik.
Berbeda dengan Jokowi, parpol masih butuh dukungan politik publik. Jika Jokowi sudah tak bertarung lagi di 2024, parpol-parpol masih. Mereka membawa agenda sendiri. Maka kebingungan publik soal perkembangan yang terjadi seperti yang disebut di atas tak lain dalam rangka konsolidasi parpol dan kekuatan politik yang ada menuju pertarungan elektoral selanjutnya.
Dan parpol (utamanya para pengurusnya) selalu memburu ekonomi. Baik untuk melumasi mesin politiknya untuk perang elektoral, maupun untuk memperkaya politisinya. Kemana para politisi ini mencari (sumber uangnya)?
Kemana lagi selain di McD, eh keliru…yang benar kemana lagi selain membentuk oligarkhi. Dengan para konglomerat. Bersama-sama, mereka menumpang dalam agenda pertumbuhan ekonomi jokowi. Mulai dari melemahkan agen anti-korupsi, mengeksploitasi sumber daya alam, hingga mengubah UU yang menguntungkan industri. Ini berarti, KPK akan makin lemah, hutan-hutan akan habis, masyatakat akan tersingkirkan.
Makanya, pernyataan Jokowi “bahwa harus ada industrialisasi setiap sumber daya alam” membuat saya ngeri. Mungkin yang dimaksud adalah petani tak lagi hanya menjual buah nangka, tapi jual lah kripik nangka biar ada nilai tambah. Tapi melihat kondisi yang ada, yang terbayang di saya adalah hutan-hutan yang berganti perkebunan sawit dan konflik agraria berkepanjangan.
Tujuan Jokowi mungkin baik dengan agenda pertumbuhan ekonominya, tapi problemnya adalah politik di Indonesia tidak ideal. Sederhana saja. Idealnya, masyarakat memilih politisi untuk memperjuangkan aspirasinya. Yang terjadi, publik memilih politisi, tapi politisi tidak memperjuangkan aspirasi masyarakat. Melainkan agenda politik parpolnya. Ada dua arah yang berbeda dari tujuan awal dan pada kenyataan di lapangan.
Yang terjadi adalah problem yang lebih berbahaya lagi. Kartel politik dan industri yang mungkin jumlahnya tak lebih dari tiga persen, menguasai lebih dari 90 persen sumber daya di Indonesia. Rakyat dapat apa? Hanya kebagian iuran BPJS yang naik, biaya hidup yang semakin naik, dan sulitnya dapat pekerjaan (karena eselon 3-4 PNS katanya mau diganti robot), juga semakin tergusur. Kalaupun ada pertumbuhan ekonomi yang terjadi, porsi terbesar kue ekonomi jatuh ke sebagian kecil oligarkhi saja. Bagaimana dengan rakyat miskin? Paling-paling ya dibully oleh kelas menengah dengan perkataan “ah, itu karena kemalasan dan kebodohan kalian, juga mental, yang membuat tetap miskin”.
Meski suram, tetap saya yakin, bakal ada yang bergerak untuk meluruskannya. Jika tidak, maka ujaran “ketika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah dipancing, dan tetes air terakhir telah diminum, mereka akan sadar bahwa uang tidak bisa dimakan” akan terjadi. Semoga tidak begitu…
BACA JUGA Sisi Lain Nadiem Makarim atau tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya. Follow Facebook Kardono Setyorakhmadi.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.