Rasa-rasanya baru kemarin malam kita bangun sahur untuk puasa hari pertama. Tahu-tahu, tanpa dinyana, lebaran tinggal hitungan jari saja. Seperti sudah menjadi tradisi menahun—turun-temurun—lebaran, bagaimana pun kondisinya tetaplah harus dirayakan dengan semarak. Begitulah yang ada di benak Misbah.
Pagi itu rencananya dia hendak pergi ke mal kabupaten untuk membeli beberapa helai baju lebaran. Tapi langkahnya terhenti untuk beberapa saat ketika kawan baiknya—Kang Salim—untuk yang ke sekian kali mengusik kesadaran nuraninya.
“Kalau saja keadaannya normal, nggak apa-apa, Mis, kalau situ mau ke mal. Tapi kita kan masih dalam masa PSBB, Mis. Dilarang berkerumun dalam keramaian,“ tegur Kang Salim ketika mendapati Misbah sudah bersiap berangkat.
“Eman gitu, Kang, ada diskon gede je. Lagian, di mana-mana orang juga udah mulai banyak yang keluar rumah. Banyak yang berjubel di bandara, kumpul-kumpul di restoran cepat saji, antre sembako yang ujung-ujungnya juga nggak jaga jarak aman,” sangkal Misbah setengah menggerutu.
“Pas kemarin nonton berita di tv, beberapa pusat perbelanjaan juga udah mulai ramai pengunjung buat berburu diskon pernak-pernik lebaran. Nggak ada salahnya tho, Kang, kalau saya juga ikut begituan. Kalau mereka bisa kayak gitu, kenapa saya nggak? Bosen juga, Kang, di rumah terus,” lanjutnya masih dengan wajah cemberut.
“Eh Mis, tapi kamu juga lihat tho berita tentang tenaga medis yang gugur satu per satu kan?” Kang Salim tenang menanggapi, sementara Misbah hanya mengangguk. “Ngeliat pengorbanan tenaga medis yang kayak gitu, gimana perasaanmu, Mis?”
“Jujur, sedih dan prihatin sih, Kang. Maksudnya, mereka rela mempertaruhkan nyawa sendiri buat nyelametin nyawa orang lain.”
“Nah, loh, kalau kamu udah sadar kayak gitu, mbok ya jangan malah nambahi beban tenaga medis yang masih terus berjuang sampai hari ini, Mis.”
“Maksudnya, Kang?”
“Mis, dengan kamu nekat keluar, berkerumun di tengah banyak orang, potensi tertular itu besar banget, loh. Tenaga medis mati-matian buat nyembuhin pasien-pasien yang terjangkit, eh kamunya malah nyari penyakit. Mbok ya dipikir, kita ini udah nggak bisa berkontribusi apa-apa buat menangani corona, tapi paling tidak kita nggak jadi beban tambahan gitu, Mis. Sudah terlalu banyak orang bebal di luar sana, kita jangan ikut-ikutan. Kita punya otak dan akal buat mikir, bukan buat pajangan thok.”
“Tapi, Kang, kurang afdal rasanya kalau lebaran tanpa baju baru. Toh Kanjeng Nabi kan menganjurkan buat berbusana yang elok untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. Masyhur itu, Kang.”
“Kalau masyhur emang iya, Mis. Tapi kalau dianjurkan, bagian mana yang menyebut Rasulullah menganjurkan agar kita beli baju baru buat lebaran? Hayo?”
Misbah tampak menggaruk-garuk kepala, mencoba mencari landasan dalil yang menyatakan anjuran membeli pakaian baru untuk menyambut hari raya. Tapi karena lama tak ada jawaban, akhirnya Kang Salim menjawab sendiri pertanyaannya.
“Mis, yang masyhur dari riwayat-riwayat tersebut itu Rasulullah cuma menganjurkan untuk berpakaian yang terbaik, bukan yang terbaru. Beda, loh. Jadi dari sekian lembar pakaian di dalam almari kita, sekalipun semuanya adalah baju-baju lama, pilih salah satu yang terbaik di antara yang lain. Sesederhana itu, Mis. Jadi nggak ada anjuran buat beli yang baru. Catat, hanya yang terbaik, bukan yang terbaru,” kali ini Kang Salim sedikit memberi penekanan di ujung kalimatnya.
“Oh begitu, tho, Kang. Tapi apa berarti nggak boleh beli baju baru kalau baju-baju lama dirasa nggak ada yang memenuhi kriteria terbaik?”
“Sebenernya itu soal cara pandang kamu saja, Mis. Kalau gengsimu tinggi, biarpun sudah ada yang terbaik, pasti kamu tetep nyari-nyari celah pembenaran biar bisa dapet yang baru. Itu catatan pertama. Kedua, nggak ada larangan buat beli baju baru, silakan. Tapi, jika merujuk riwayat dari Adullah bin Umar, pada prinsipnya Rasulullah nggak begitu berkenan jika terlalu bermewah-mewahan dalam urusan ini. Beliau bahkan berkata, yang kalau saya bahasakan sendiri kurang lebih maksudnya gini; orang-orang yang pakaiannya terlampau mewah di hari raya, maka dia nggak dapat jatah pakaian di hari kiamat.”
“Waduh, kok bisa begitu, Kang?”
“Iya, sebab kita sudah menghabiskan kelebihan uang kita buat memenuhi hasrat kita pribadi hari ini, mengabaikan orang-orang yang semestinya lebih butuh. Secara kan ada hak orang membutuhkan dalam setiap kekayaan yang ada pada kita. Kasarannya gini, deh, sekarang ini secara nggak langsung kita telah mengabaikan hak orang lain dalam kelebihan harta yang kita punya. Maka kelak di hari kiamat, yang seharusnya jadi jatah kita bakal gantian diambil oleh mereka-mereka ini.”
“Atau bisa dibilang, Kanjeng Nabi itu lebih menganjurkan mendahulukan membelikan baju baru buat saudara-saudara kita yang kurang mampu gitu ya, Kang?”
“Yoi, Mis. Ada satu lagi dasar penguatnya; kisah gadis yatim yang menangis di hari raya. Dikisahkan suatu pagi di hari raya Rasulullah melihat ada seorang anak yang menangis tersedu sedan karena merasa iri dengan teman-temannya yang mengenakan baju baru dan masih lengkap pula orang tuanya.
“Oleh Rasulullah, gadis yatim ini dihibur dengan ditawari untuk diangkat sebagai anak. Kemudian anak ini diajak pulang, dimandikan, disisiri, didandani dengan busana bagus, dan diberi THR sama Rasulullah. Bayangin betapa berbunga-bunga hati gadis yatim itu.”
“Haduuuhhh, ternyata selama ini kita salah sangka ya, Kang. Saya mikirnya beli baju lebaran buat diri sendiri, ternyata ada orang-orang kurang mampu dan anak yatim yang harus kita dahulukan.”
“Betul, Mis. Dengan catatan, ada kelebihan harta ya. Nanti malah riwayat ini terkesan memberatkan.”
Misbah manthuk-manthuk (mengangguk-angguk) tanda mengerti.
“Rasulullah bersabda; Barang siapa memakaikan seorang anak yatim pakaian yang indah dan mendandaninya di hari raya, maka Allah akan mendandani dan memakaikan pakaian kepada orang tersebut di akhirat.”
“Paham, Kang, kalau begitu saya mau ke mal kabupaten buat beliin beberapa baju buat anak yatim dan tetangga yang kurang mampu.”
“Hehhh!!! Kan sudah dibilangin harus patuh sama PSBB,” cegat Kang Salim geram. “Kamu ini, loh, kok ya kudet banget, tho. Sekarang beli apa-apa itu nggak usah repot-repot ke tokonya. Kan ada aplikasi belanja online yang gratis ongkir itu, Mis.”
Mendengar itu, Misbah tercenung beberapa saat. Dalam hati dia membatin, dibayar berapa yang nulis ini sampai harus ngendorse?
BACA JUGA Jangankan yang Cuma Berdosa, yang Nggak Beriman Saja Tetep Kebagian Welas Asih Tuhan, Kok dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.