Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

“Yaelah Gitu Doang!”: Teman Kesusahan, Kok Malah Dijadiin Kompetisi?

Indah Evania Putri oleh Indah Evania Putri
18 Oktober 2019
A A
kompetisi

kompetisi

Share on FacebookShare on Twitter

Sepertinya budaya kompetitif masyarakat Indonesia sudah mengakar dengan kuatnya, sampai-sampai keluh kesah teman kita itu malah kita bandingkan dengan penderitaan kita sendiri.

Situasi yang rumit seringkali membuat kita pusing. Pengen cerita ke orang lain, tapi kemudian mikir kalau mereka nggak akan mengerti perasaan kita. Dikubur dalam-dalam masalahnya, jadi makin pusing. Akan tetapi saat keadaan sudah membuat kita tak memiliki pilihan lagi, akhirnya kita akan mendatangi orang yang paling kita percaya untuk menumpahkan segala keluh kesah kita. Tentunya dengan harapan dia akan memberikan solusi atau setidaknya memberi penghiburan belaka.

Akan tetapi, sepertinya budaya kompetitif masyarakat Indonesia sudah mengakar dengan kuatnya, sampai-sampai keluh kesah teman kita itu malah kita bandingkan dengan penderitaan kita sendiri. Seakan-akan semuanya menjadi kompetisi. Seakan-akan pasti ada yang akan menang dan kalah dalam pertempuran penderitaan itu.

Sampai seringkali muncul kalimat-kalimat seperti:

“Ah lo masih mending!”

“Yaelah gitu doang. Gue pernah malah bla bla bla.”

Mungkin memang sudah dari sononya budaya kompetisi tersebut. Lihat saja bagaimana pendidikan saat ini semakin mengiming-imingkan pelajarnya untuk berkompetisi meraih peringkat terbaik di sekolahnya. Di satu sisi, tentunya hal itu bisa memotivasi mereka untuk semakin giat belajar dan berprestasi. Tapi di sisi lain, tahukah kalian kalau hal itu membuat motivasi belajar mereka hanya sekedar untuk meraih peringkat tinggi dan tidak sungguh-sungguh mencari ilmu?

Menurut KBBI, kompetisi/kom·pe·ti·si/ n 1 persaingan: di antara para siswa harus diciptakan suasana — yang sehat dalam belajar. Kalau memang artian kompetisi dalam kegiatan akademik sekarang secara harfiah diterapkan, saya sih setuju-setuju saja. Tapi kalau sampai ada transformasi motivasi belajar ke nilai dan peringkat tersebut, saya sangat tidak setuju.

Hanya sekedar demi prestise di depan teman-teman dan orang tua, sekarang banyak pelajar (termasuk saya saat masih sekolah) yang motivasi datang ke sekolahnya bukan hanya mencari ilmu, tapi untuk mendapat nilai bagus. Sedangkan mereka yang peringkatnya rendah, akan diejek dan dicap tidak pandai dalam masyarakat.

Kompetisi selanjutnya ialah konsumsi gawai ponsel canggih yang baru-baru ini diluncurkan. Sejak kemunculannya pertama kali, ponsel dengan harga fantastis itu langsung diserbu masayrakat. Masalah ini sangat ramai di media sosial, hingga menjadi berbagai guyonan yang berujung pada tindak pamer dari masyarakat yang sudah serta mampu membeli ponsel tersebut.

Tentunya hal itu memunculkan kompetisi di masyarakat. Kini masayrakat seperti berlomba-lomba memiliki ponsel teranyar itu demi memuaskan standar kehidupan sosialnya. Apabila tidak, maka mereka akan “kalah” dalam kompetisi ajang memamerkan kekayaan tersebut. Tentunya lingkaran persaingan ini akan terus berlanjut dan terus ditimpali oleh orang-orang lainnya dengan teknologi lebih canggih di luar sana.

Yah, begitulah memang lingkungan masyarakat kita, di mana sekarang semuanya sudah bak kompetisi. Tak ada yang ingin mengalah, seolah-olah titel “kekalahan” dalam sebuah kompetisi selalu dicap dengan keburukan. Padahal, kompetisi olahraga saja tidak begitu. Mereka yang kalah pasti akan tetap disemangati dengan kata-kata “Jangan patah semangat. Kekalahan bukan akhir dari segalanya”.

Karena semuanya sudah seperti kompetisi di masyarakat hari ini, kemudian banyak yang menjustifikasi kalau membanding-bandingkan masalah kita dengan orang lain itu benar. Padahal, tentunya itu perbuatan yang salah karena masalah setiap orang itu berbeda-beda. Kita mungkin atau tidak memiliki penderitaan yang lebih berat dari seseorang, tapi apakah perlu kita membandingkan hal tersebut layaknya hal itu dapat membuat orang tersebut merasa lebih baik?

Agaknya hal ini menjadi cambuk juga bagi saya. Dulu, saya seringkali mendengarkan keluh-kesah dari teman-teman saya. Ceritanya bisa tentang apa pun. Mulai dari cerita bahagia, masalah yang berhubungan dengan privasi, hingga keluh kesah keseharian mereka belaka. Untuk urusan yang terakhir itu, saya seringkali menyepelekannya.

Kadangkala saat teman saya menceritakan keluh kesahnya; saat sedang marah atau kesal atas sesuatu, saya tak jarang memilah apakah masalah yang mereka keluhkan itu lebih berat dari masalah saya. Dengan gampangnya, saya akan menganggap reaksi mereka berlebihan. Toh saya juga pernah mengalami hal yang lebih sulit dan itu tidak masalah.

Tapi saya sadar, egosime yang tertanam itu tak boleh lagi dan salah dilakukan. Setiap orang memiliki masalah yang berbeda-beda. Mungkin masalah mereka tidaklah seberat yang saya hadapi, namun apakah perasaan dan emosi yang mereka rasakan saat berhadapan dengan hal itu sama seperti apa yang pernah saya rasakan? Tentu berbeda.

Lagipula, apa sih untungnya kalau kita membanding-bandingkan kesusahan kita dengan teman kita? Apakah hal itu akan membuat mereka merasa lebih beruntung? Atau hal itu malah membuat mereka merasa lebih terbungkam dan tertekan?

Tidak semua orang mampu mengeskpresikan apa yang dirasakannya dengan gamblang pada orang lain. Beberapa dari kita mungkin kesulitan mengutarakan isi hati dan membuka diri pada orang lain. Bayangkan bagaimana rasanya apabila sudah susah-susah mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan hal tersebut dan malah dibanding-bandingkan. Yang ada sudah down duluan jadinya.

Membanding-bandingkan kedua hal tersebut layaknya kompetisi juga sangat tidak membantu kedua pihak. Mereka yang sedang kesusahan tersebut tentunya sangat tak terbantu dengan ucapan kompetitif tersebut. Alih-alih mendapat solusi, malah jalan pikirannya dibuat semakin rumit. Ia akan menelaah kembali apakah memang dirinya sedang bertindak berlebihan atau menjadi semakin kesal karena dibanding-bandingkan.

Hal itu juga tidak berfaedah bagi sang kompetitor. Jikalau penderitaannya lebih berat, apakah dengan membanding-bandingkan justru membuat temannya itu jadi merasa lebih beruntung? Lantas, apakah hal itu membuat dirinya menjadi semakin merasa superior atau justru malah kalut karena ternyata masalah hidupnya lebih berat dari orang lain? (*)

BACA JUGA Wejangan Hidup Ala Kirana Larasati yang Patut Ditiru Oleh Netizen atau tulisan Indah Evania Putri lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 18 Oktober 2019 oleh

Rekomendasi Aksesoris Motor Murah Spesial 10.10

  • Masker Sensi Duckbill Original Isi 50 PCS
  • Jas Hujan Ponco Kelelawar Jumbo Premium Pria Wanita (Tebal, Kuat, dan Anti Rembes)
  • Sarung/Cover Motor Waterproof (Tebal, Anti Panas/Hujan, UV Protection), Bonus Tas Simpan
  • Pengkilap dan Penghitam Body Motor, Tahan Lama untuk Semua Warna
  • Helm Bogo Retro Hijab Elegant Dewasa Kaca Pilot SNI Motorcycle
View this post on Instagram

A post shared by MOJOK (@mojokdotco)


Tags: CurhatKesehatan Mentalkompetisikompetitifpenderitaanpengen ceritaToleransi
Indah Evania Putri

Indah Evania Putri

ArtikelTerkait

curhat

Lomba-lombaan Jadi yang Paling Menderita Pas Lagi Curhat Itu Maksudnya Apa, ya?

21 September 2019
toraja

Toraja Yang Unik, Toraja Yang Indah, Toraja Yang Toleransi

25 Mei 2019
mas-mas kesal

Mas-Mas Kesal yang Menggugat Acara D’Star

27 Juni 2019
agama

Pengalaman Berpuasa dengan Teman Nasrani

11 Mei 2019
benci

Saya Benci Disebut Bucin!

3 September 2019
kak seto

Permasalahan Memiliki Nama Seto: Dari Candaan Si Komo, Sampai Dikira Kak Seto Mulyadi

12 September 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Saya Tidak Menyesal Masuk UIN Jakarta meski Dianggap Kampus Buangan

Saya Tidak Menyesal Masuk UIN Jakarta meski Dianggap Kampus Buangan

2 Oktober 2025
Penyesalan Mereka yang Kuliah 7 Tahun: Kehilangan Teman Seperjuangan, Karier Terhambat, hingga Merepotkan Orang Tua Mojok.co

Penyesalan Mereka yang Kuliah 7 Tahun: Kehilangan Teman Seperjuangan, Karier Terhambat, hingga Merepotkan Orang Tua

3 Oktober 2025
Lemper Bu Sri, dari Suguhan Hajatan Jadi Oleh-oleh Jogja Nggak Kalah dari Bakpia

Lemper Bu Sri, dari Suguhan Hajatan Jadi Oleh-oleh Jogja yang Nggak Kalah dari Bakpia

4 Oktober 2025
Taman Jalan Sultan Agung Bukti Betapa Jelek Selera Pemkot Batu, Seharusnya Bisa Lebih Bagus dari Itu Mojok.co

Taman Jalan Sultan Agung Bukti Betapa Jelek Selera Pemkot Batu, Seharusnya Bisa Lebih Bagus dari Itu

5 Oktober 2025
Melepas Penat dengan Berkemah ala Warlok Queensland Australia Mojok.co

Pengalaman Melepas Penat dengan Camping ala Warlok Queensland Australia

6 Oktober 2025
3 Dosa Penjual Ayam Geprek yang Membuat Saya Malas Beli Lagi

3 Dosa Penjual Ayam Geprek yang Membuat Saya Malas Beli Lagi

7 Oktober 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=rGXblMB05TM

DARI MOJOK

  • Cara Bertahan Hidup Anak Kos di Malang dengan Gaji Rp2 Juta setelah Orang Tua Tiada, Tersiksa tapi “Kudu Legawa”
  • Bambang Paningron dan Jalan Sunyi Seni Pertunjukan Indonesia
  • Film Tukar Takdir Nggak Sekadar Adegan Mesra Nicholas Saputra dan Adhisty Zara!
  • 4 Alasan Warga Lokal Malas Berwisata ke Gunung Tidar Magelang
  • 4 Hal yang Bisa Kita Pakai buat Memaknai Ulang “Kesakralan” Kota Jogja
  • Pertama ke Barbershop untuk Gaya-gayaan: Jadi Goblok Perkara “Undercut”, Kelaparan Seharian karena Bayar Mahal demi Potong Rambut Tak Memuaskan

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.