Seiring semakin merebaknya Corona virus di tanah air, beberapa pihak harus berjibaku dalam melakukan penanganan. Katakanlah tenaga medis dan dinas-dinas kesehatan yang tampak sekali kewalahan menghadapi jumlah pasien yang terus saja bertambah. Sementara fasilitas kesehatan hanya sedikit saja yang memenuhi standar kelayakan. Ngenes banget og, memang.
Pemerintah dari pusat hingga daerah juga sedang kalang kabut menyusun kebijakan darurat untuk mengurangi resiko penularan di tengah masyarakat. Dari pengalihan sementara kegiatan belajar mengajar ke sistem daring, pembatasan akses publik, sampai yang paling remeh temeh seperti anjuran untuk selalu cuci tangan dan berdiam diri di rumah sampai keadaan di luar terdeteksi aman.
Yap, pemerintah kita sejauh ini hanya bisa memberi anjuran-anjuran. Nggak ada jalan lain kecuali mengikuti begitu saja protokol kesehatan yang mereka edarkan melalui surat-surat resmi, portal berita seperti koran, dan yang mereka siarkan melalui saluran-saluran televisi. Kita bisa apa selain itu? Berharap lebih dari pemerintah juga bukan opsi. Alih-alih mendapat solusi, kita justru disuguhkan dengan wajah-wajah petinggi negara kita yang tampak sekali gagap dan kebingungan.
Lha sekarang coba pikirkan saja, masa iya BIN (Badan Intelijen Negara) yang dikerahkan untuk mengatasi kasus Corona. Dikira Corona ini aktivis atau demonstran yang menyerukan reformasi apa? Eh, de javu kan jadinya, hmmm.
Pemerintah sebagaimana kita, masih awam betul tetek-bengek yang bersangkutan dengan dunia pervirusan. Kecuali kalau urusan lakon drama lima tahunan. Mereka sudah pakar betul yang kaitannya sama rebutan atau bagi-bagi kekuasaan. Tapi nggak apa-apa, seenggaknya pemerintah sudah kelihatan ada usahanya. Sehat-sehat ya kalian. Tetap kuat dan bantu kami keluar dari masalah ini (menyitir doa dari Iwan Fals lewat akun Twitter-nya).
Pada titik ini, ketika segala upaya seolah menemui jalan buntu, ketika kita sudah berada pada fase paling putus asa, dan ketika kita nggak bisa berharap lagi kepada siapapun bahkan diri sendiri, beberapa tokoh agama sedang gencar-gencarnya mengampanyekan agar kita nggak lupa buat tawakal. Memohon perlindungan pada yang sejatinya memiliki Corona (Tuhan).
Mengiringi kampanye keagamaan tersebut, beberapa kiai memberi kita ijazah (amalan) seperti merutinkan baca salawat, baca doa qunut nazilah, menjaga wudu, dan amalan-amalan yang lain. Amalan-amalan tersebut sih katanya bisa menangkal masuknya Corona ke tubuh kita. Atas izin Allah tentunya heuheuheu~
Saya sendiri cenderung menggunakan wudu sebagai alternatif lain selain melakukan beberapa anjuran medis seperti sedia masker dan hand sanitizer. Sampai salah seorang kawan saya sesama mahasiswa mengolong-olok saya dengan quote fenomenal Karl Max: “Wah kamu sekarang jadi korban agama itu candu, ya? Hahaha.” Singkatnya, saya dicap sebagai kaum fatalis karena taklid buta dengan anjuran berbau ideologis dari para kiai.
Mangkel sih nggak. Saya justru tergelitik untuk membeberkan panjang kali lebar alasan kenapa saya mengimani bahwa wudu bisa sangat berpengaruh kaitannya dengan mencegah resiko penularan Corona. Meski sebenarnya teori saya tentang wudu dan Corona ini merupakan hasil ijtihad saya sendiri ketika berteduh dari hujan di sebuah toko kelontong pinggir jalanan Rembang. Sambil nunggu hujan reda, iseng-iseng mikirin bangsa dan negara solusi paling nggak buat diri sendiri lah.
Teori kasar saya begini, wudu itu kan membasuh beberapa titik di bagian tubuh dengan air yang secara fikih saja sudah diatur harus suci-mensucikan. Dengan sering berwudu itu artinya sama dengan membersihkan tubuh kita setiap saat, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maka, berwudu sangat layak disebut sebagai aktivitas yang menyehatkan.
Kemudian, dalam hukum fikih, seorang yang habis berwudu nggak boleh bersentuhan dengan orang lain kalau nggak pengin wudunya batal dan harus mengulanginya lagi. Ini sangat sesuai dengan protokol: sosial distance yang menganjurkan seseorang untuk melakukan pembatasan dalam melakukan kontak sosial. Seperti misalnya larangan untuk tidak saling bersalaman satu sama lain, berpelukan, atau bersentuhan fisik dalam bentuk apapun. Pada tingkat yang lebih ekstrem, beberapa negara bahkan mengkarantina warganya sampai pada batas waktu yang belum diketahui, Italia contohnya.
Nah, bagi kita yang memiliki tuntutan pekerjaan yang memungkinkan kita berada di luar ruangan, wudu saya kira jadi alternatif pilihan. Karena setelah berwudu, kita pasti akan lebih hati-hati agar sebisa mungkin nggak sentuhan dengan pihak lain. Semisal ada seseorang yang ingin berjabat tangan, kita bahkan bisa menolaknya dengan cara paling halus dan sopan. “Maaf mas/mbak, saya masih punya wudu,” dengan bilang begitu lawan bicara kita pasti akan mafhum karena dalam Islam demikianlah aturannya.
Tentu berbeda kondisinya kalau kita menolak bersalaman karena takut tertular. Ini kaitannya dengan psikologi orang yang berbeda-beda. Kalau kebetulan kita ketemu orang yang sama-sama faham dengan situasi hari ini, pasti mereka akan maklum. Sementara seandainya ada saja orang yang tidak begitu peduli, ya sudah barangtentu orang tersebut bakal tersinggung.
Stay safe kawan-kawan. Lakukan upaya apapun untuk menghindari potensi terjangkit virus berbahaya tersebut, sekecil apa pun itu. Ikhtiar tentu bagus, tapi tetap jangan lupakan tawakal. Begitupun tawakal juga boleh saja, tapi jangan luput untuk berusaha.
BACA JUGA Membela Pemerintah Soal Pentingnya Pariwisata di Tengah Pandemi Corona atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.