Selama ini melihat orang membeli mobil baru merupakan hal biasa dan lumrah terjadi. Namun, apa kalian pernah melihat jika satu desa, secara bersamaan membeli mobil? Jumlahnya pun nggak cuma satu, ada hampir 180-an mobil yang di beli. Kaget? Sama saya juga. Saat pertama mendengar kabar ini dari ibu saya, saya terkejut. Kok bisa sih satu desa ini, warganya bisa membeli mobil dalam jumlah yang fantastis? Menang togel berjamaah atau gimana?
Usut punya usut, rupanya warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban ini habis mendapat durian runtuh. Mereka mendapatkan uang hasil jual tanah dari grass root refinery kilang minyak Pertamina. Tanah yang dijual dihargai 600 hingga 800 ribu rupiah per meter. Alhasil jumlah yang didapatkan pun tidak main-main, satu orang bisa mendapatkan 3 miliar rupiah. Bahkan bagi yang memiliki tanah berhektar-hektar, ganti rugi yang diterima mencapai 26 hingga 28 miliar rupiah. Ini sih namanya bukan ganti rugi, ganti untung, dong.
Para warga yang telah mendapat ganti untung ini, tampaknya tidak mau menyia-nyiakan uang yang mereka dapat. Berbondong-bondong mereka membeli mobil dalam jumlah banyak. Bahkan kata ibu saya, ada satu keluarga yang beli 3 mobil sekaligus. Kata ibu saya juga, ada warga desa situ yang membeli Alphard dan Rubicon sekaligus. Ckckck, laris manis showroom mobil di borong warga desa ini.
Hal ini menimbulkan tanya di benak saya, jika mereka membeli 3 mobil sekaligus dengan uang hasil jual tanah tersebut, apakah mereka sudah memikirkan bagaimana pembayaran pajak progresif kendaraan tersebut tiap tahunnya? Anggaplah uang hasil jual tanah tersebut masih cukup untuk membayar pajaknya, tapi biaya perawatan mobil, biaya servis, dan biaya bensin juga perlu diperhitungkan, bukan?
Mobil merupakan aset yang harganya berkurang tiap tahun. Jika dijual kembali tentu harganya akan turun. Berbeda jika uang yang mereka dapatkan tadi, mereka belikan tanah atau properti. Tentu akan mendapatkan keuntungan dari aset yang naik tiap tahunnya.
Namun, dengan membeli mobil, dan jumlahnya langsung banyak, banyak biaya-biaya lain yang harus tetap dikeluarkan oleh si pemilik. Pajak untuk mobil Toyota Alphard tahun 2020 saja sudah berkisar 22 hingga 29 juta rupiah per tahun. Belum lagi jika mereka memiliki lebih dari satu mobil, tentu akan terkena pajak progresif. Bayangkan saja, pajak mobilnya sudah bisa buat beli mobil lagi.
Jika warga yang membeli mobil ini memiliki pendapatan tetap dan mampu membayar pajak tiap tahunnya, sih, nggak masalah. Akan tetapi, yang jadi masalah adalah jika mereka tidak mampu membayar pajak kendaraannya. Berujung mobilnya dijual dan mendapati harganya yang turun jauh. Apa nggak sayang? Saya saja yang nggak ikut punya uang, rasanya bakal mikir-mikir lagi kalau harus mengeluarkan pajak tahunan segitu besarnya.
Jika dibilang bahwa ini merupakan wujud syukur warga setelah mendapat rejeki, ya tidak masalah, sih, asalkan mereka paham bagaimana pengelolaan keuangan mereka ke depannya. Toh, itu memang uang milik mereka. Tapi, setidaknya pihak desa atau kecamatan memberikan edukasi kepada warganya tentang besaran pajak-pajak kendaraan yang harus mereka bayarkan sebagai bentuk kepemilikan mobil.
Jika mereka dibiarkan membeli begitu banyak mobil, tapi tidak diberitahu konsekuensi dari kepemilikan mobil-mobil tersebut, lalu berujung tidak membayar pajak, gimana? Maka dari itu, apabila suatu daerah mendapatkan ganti rugi lahan yang harganya fantastis, penting sekali untuk memberikan sosialisasi untuk pengelolaan uang yang mereka dapat. Demi kebaikan warga sendiri, bukan?
BACA JUGA 4 Cara Mudah Memiliki Rumah di Jogja dengan Gaji Mepet UMR atau tulisan Sri Pramiraswari Hayuning Ishtara lainnya.