“Kalau UMR Jogja emang serendah itu, kok situ masih kerja di Jogja?”
Pertanyaan itu sering kali muncul tiap kali saya berbicara tentang rendahnya upah di Jogja. Saya tak mau mengkritisi nalar si penanya, yang harusnya bisa saja mengambil kesimpulan kalau saya punya pendapat yang otoritatif, sebab saya kerja di Jogja. Tapi, saya juga nggak bisa menampik kenyataan tersebut.
Upah di Jogja memang rendah, tapi banyak juga orang yang masih bertahan di Jogja. Pertanyaannya adalah, mengapa? Lalu, apakah itu bisa menganulir pernyataan upah di Jogja itu rendah?
Pertanyaan pertama, akan saya jawab nanti. Tapi, untuk pertanyaan kedua, langsung dengan mudah saya jawab: tidak.
Upah rendah itu tak ada hubungannya dengan jumlah pekerja. Maksudnya adalah, meski banyak orang bekerja di Jogja, bukan berarti jumlah tersebut bisa menganulir fakta upah rendah. Kedua hal tersebut bahkan tak ada hubungannya.
Orang bekerja karena mereka butuh penghasilan. Full stop. Ini mudah dipahami. Bahkan ketika pertanyaannya diubah jadi kenapa orang tetap bekerja meski UMR rendah, itu juga karena mereka butuh penghasilan. Tapi jika kita bicara upah rendah, kita bicara apresiasi, kita bicara hal-hal kompleks yang berkaitan dengan kesejahteraan, dan yang jelas, kita berbicara tentang praktik-praktik culas yang dilakukan demi menekan upah.
Dan kita akan bahas pertanyaan pertama: kenapa orang masih banyak yang bertahan di Jogja meski upahnya rendah?
Yang jelas, jawaban tersebut bukan “suasana Jogja” atau “Jogja romantis”. Jawaban tersebut amat bodoh, selevel dengan twit romantisasi akun bayaran.
Terhimpit realitas
Saat ditanya kenapa saya tetap bekerja di Jogja, jawabnya satu, “Gajiku udah nggak UMR, je.”
Mungkin itulah yang bikin beberapa orang bertahan di Jogja. Mereka mendapat gaji yang saya kira sudah jauh dari UMR. Tak bisa dimungkiri juga, banyak perusahaan yang punya starting salary yang amat jauh dari UMR Jogja. Tetap tak sebesar gaji Jakarta sih, tapi, nggak UMR Jogja juga.
Mungkin, gaji di atas UMR itu sudah cukup bagi mereka. dengan menekan gaya hidup, mereka bisa hidup lumayan nyaman. Tapi masalahnya, isu upah rendah tak membicarakan mereka-mereka ini.
Nyatanya, upah Jogja memang rendah, untuk sekelas kota besar. Apalagi jika kita bicara harga tanah, yang jelas nggak akan bisa diraih dengan pendapatan yang sekarang. Saya nggak akan memberi banyak opini pendukung kenapa upah Jogja itu butuh dibicarakan secara mendalam, soalnya Prabu Yudianto sudah menulisnya berkali-kali. Coba baca saja, salah satunya ini.
Yang perlu diperhatikan adalah, orang tetap bisa saja bekerja di Jogja meski UMR Jogja itu rendah. Sebab, bisa jadi orang itu kayak saya, gajinya nggak UMR. Nah, yang sedang diperjuangkan itu adalah mengangkat orang-orang yang gajinya UMR, agar setidaknya, mereka bisa hidup lebih layak.
Fokus dari tuntutan agar UMR Jogja naik itu adalah kesejahteraan. Kalau bisa memahami ini saja, akan amat mudah memahami kenapa orang masih melawan keputusan tentang pengupahan.
Baca halaman selanjutnya
Tuh ada yang dapat gaji di atas UMR, kenapa masih protes?
Nyatanya banyak yang dapat upah tinggi, banyak yang bergaji lebih dari UMR Jogja, kenapa masih protes?
Ini juga kerap ditanyakan ke saya, kalau gaji saya sudah bukan UMR Jogja, lantas kenapa saya masih mengkritik?
Pertama, dan yang paling utama, kritikan saya itu ya karena agar pemerintah concern kepada kesejahteraan rakyatnya. Apa salahnya memang dari menyuarakan agar pemerintah peduli rakyatnya?
Kedua, meski tidak lagi jadi pejuang UMR, bukan berarti saya haram untuk peduli dengan kawan-kawan yang sedang berjuang. Efek UMR naik kan artinya banyak orang bisa meningkatkan daya beli mereka, ya nggak salah dong berharap tentang itu.
Benar bahwa banyak yang dapat upah tinggi di Jogja, tapi bukan berarti hal tersebut jadi poin yang bisa menganulir isu upah rendah. Kalau bicara upah rendah, ya fokusnya di situ. Ngapain juga bawa-bawa orang yang berupah tinggi? Jelas nggak masuk lah.
Seharusnya, artikel ini sudah menjelaskan sikap saya, dan kenapa isu upah rendah ini harus tetap dikawal. Saya tidak bermimpi minta UMR Jogja tiba-tiba jadi 4.5 juta rupiah atau setara UMR Karawang, itu nggak mungkin. Yang saya selalu dengungkan adalah, setidaknya, upah tak serendah ini.
Sebagai penutup, isu upah rendah ini bukanlah sebuah usaha membuat orang-orang bisa jadi hedon. Tidak, jauh dari itu. ini adalah sebuah usaha agar pemerintah mengusahakan manusia-manusia di Jogja bisa lebih sejahtera, dan tak perlu dirundung nestapa melihat nominal gaji mereka yang… ah sudahlah.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Upah Minimum Yogyakarta Itu ya Harus Minimum, Nggak Usah Berharap Naik Signifikan, Halu!