Di hari ke-7 dan seterusnya di bulan Syawal, semua masyarakat Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara akan menyelenggarakan hari besar yang dinamakan Hari Raya Ketupat. Sebuah tradisi yang sudah lama di laksanakan oleh seluruh masyarakat Kota Bitung. Kalau ditanya, kenapa dinamakan Hari Raya Ketupat? Jelas, karena di hari itu ketupat menjadi makanan pokok yang sering kali disajikan. Kalaupun ada yang merayakan dan tidak menyajikan ketupat, mereka akan mengatakan “Apalah arti sebuah nama yang penting tujuannya.”
Berbeda dengan daerah yang lain, di Kota Bitung, Pemerintah mengambil kebijakan untuk menjadwalkan pelaksanaan Hari Raya Ketupat. Contohnya di hari pertama pelaksanaan diperuntukkan untuk Kelurahan A, B, C dan D, begitu seterusnya sampai berakhirnya bulan Syawal.
Hari Raya Ketupat adalah sebuah tradisi yang baik. Meskipun melelahkan, kami tetap merasa Hari Raya Ketupat adalah hari yang menyenangkan. Kami dengan senang hati menyiapkan tenaga dan stamina yang prima untuk menyusuri lorong demi lorong suatu perkampungan yang telah dijadwalkan Pemerintah untuk melaksanakan Hari Raya Ketupat ini. Selain mendapatkan pelayanan berupa konsumsi makanan yang nikmat di setiap rumah yang kami kunjungi, hal menyenangkan lainnya adalah kami bisa bercanda lepas dengan orang-orang yang telah lama kami kenal, ataupun yang baru kami kenal.
Hanya saja kami harus bersedia untuk mengontrol porsi makanan yang harus diambil. Karena setiap rumah akan menyodorkan konsumsi makanan dan akan terkesan sangat tidak sopan apabila kita hanya menganggurkan makanan yang telah disediakan oleh pemilik rumah. Konsekuensi lainnya, sebagaimana jadwal yang telah ditentukan oleh Pemerintah, maka kita juga harus mempersiapkan segalah macam hidangan yang relatif sama dengan kampung-kampung yang telah melaksanakan sebelumnya.
Mungkin inilah People Power yang sebenarnya. Di mana, kita melihat bagaimana kekuatan orang dari mayoritas kelurahan yang ada di Kota Bitung menyerang rumah-rumah yang ada di maksimal tiga atau empat kelurahan yang telah dijadwalkan.
Jika ada hal yang buruk yang bisa kita temui adalah kebiasaan sebagian masyarakat Kota Bitung yang mengkonsumsi minuman keras pada saat hari suci itu dilaksanakan. Ya sudahlah, itu memang kebiasaan mereka. Bukan karena perayaan ini kemudian mereka mengkonsumsi minuman keras. Setiap hari atau minimal setiap minggu mereka juga biasanya mengkonsumsi minuman keras.
Meskipun demikian, tidak ada sejarahnya orang yang mabuk itu menyebabkan kekacauan pada saat mereka mengkonsumsinya pada Hari Raya Ketupat—berbeda dengan hari-hari lainnya.
Solusi Mempersatukan Masyarakat
Kalau kita lihat tradisi Hari Raya Ketupat ini, merupakan budaya yang baiknya kita rawat. Meskipun ada sedikit kelompok Islam Salafi yang mengatakan bahwa tradisi ini bid’ah. Namun rasanya tidak akan seimbang jika sebuah tradisi yang berdampak baik ini di katakan sebagai bid’ah yang bisa menjerumuskan ke neraka.
Setidaknya orang seperti saya tidak goblok-goblok amat untuk memperdebatkan hal yang demikian. Setahu saya di dalam hukum syariat, ada yang dinamakan Al-Urf sebuah hukum Islam yang terbentuk berdasarkan budaya setempat. Sebagaimana kaidah muamalah, Al-Urf juga pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Jangan hanya karena tidak ada di zaman Rasulullah Muhammad SAW, terus kita main bid’ah mem-bid’ah-kan, haram mengharamkan, kafir mengkafirkan.
Tanpa di sadari, ketika terjadi Hari Raya Ketupat kita bisa mempersatukan kembali ukhuwah masyarakat, tidak peduli agamanya apa. Bahkan kami yang ada di daerah minoritas agama Islam bisa seleluasa ini melaksanakan Hari Raya Ketupat. Dan tamu yang berdatangan juga tidak sedikit yang non Muslim.
Rasanya fenomena semacam tarkam pun bisa diminimalisir dengan adanya Hari Raya Ketupat ini. Sederhananya orang-orang yang dulu berkonflik antar kampung akan berdamai dengan sendirinya, ketika melihat anak-anaknya pergi ke kampung-kampung bekas penjajahan orang tuanya, atau yang menjajah kampung orang tuanya. Sangat berfaedah, bukan?
Tradisi ini kiranya harus terus dirawat oleh masyarakat kota Bitung. Kalau tidak lancang—saya juga ingin merekomendasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mencontohi tradisi yang ada di kota Bitung ini. Atau mMungkin, Cebong dan Kampret bisa menurunkan tradisi ini—bergantian menyajikan konsumsi makanan. Misalnya jadwal pertama Cebong dan seluruh Kampret bertamu dan sebaliknya. Kalau itu terjadi, insyaAllah Indonesia damai, aman, dan tentram.