Penerbangan panjang saya dengan AirAsia waktu itu menggunakan pesawat Airbus A330-300 dengan jumlah penumpang lebih dari 100 orang. Saya kebetulan mendapatkan posisi kursi di bagian tengah, dekat sayap pesawat, dan memilih window seat dengan tambahan biaya. Menyadari kalau penerbangan Bali ke Jepang akan membutuhkan waktu yang lama, saya juga memesan pre-book meal.
Kabin pesawat AirAsia yang kursinya berwarna gelap, nggak begitu empuk, hanya dilengkapi sabuk pengaman dan tombol recline tanpa memiliki headrest yang sebelumnya nggak pernah saya keluhkan justru menjadi momok dalam penerbangan jarak jauh. Kepala yang bersandar pada kursi tanpa headrest membuat leher mudah capek dan rasanya kemeng. Setiap kali ketiduran, saya hanya memiliki dua kemungkinan: terbentur dengan jendela kalau kepala miring ke kiri atau terbentur bahu penumpang lain ketika miring ke kanan.
Jarak antarkursi AirAsia yang nggak begitu lebar membuat saya nggak bisa leluasa mendorong kursinya ke belakang. Otomatis saya kesulitan mendapatkan posisi tidur yang enak. Ternyata kursi AirAsia yang nggak begitu tebal itu—ketika digunakan untuk penerbangan jarak jauh—bisa membuat punggung saya berdemonstrasi dan menuntut untuk segera dipijat. Menyiksa sekali.
Makanan yang terlambat
Ketika melakukan penerbangan domestik jarak sedang (empat jam di pesawat) dari Surabaya ke Ternate, saya sering memesan pre-book meal. Biasanya, makanan tersebut akan diberikan di tengah-tengah perjalanan.
Berbekal pengalaman tersebut, saya berasumsi kalau AirAsia juga akan membagikan makan tepat di tengah-tengah perjalanan. Ternyata saya keliru, makanan saya diberikan sekitar satu jam sebelum pesawat landing. Benar-benar lama sampai saya bertanya ke awak kabinnya, apakah saya boleh meminta makanannya terlebih dahulu karena sangat lapar.
Menu yang saya pesan adalah uncle chin (nasi pulen yang gurih disajikan dengan ayam bakar disertai saus sambal dan kecap jahe). Ini adalah menu favorit saya setiap kali menggunakan AirAsia, sebab rasanya enak. Makanan yang enak ini lumayan mengobati kejengkelan saya. Andai makanannya nggak enak, pasti saya makin darah tinggi.
Turbulensi berulang
Sebanarnya ini bukan salah AirAsia, sih, namun turbulensi memperburuk pengalaman terbang saya bersama AirAsia dari Bali ke Jepang. Beberapa kali terdengar bunyi dan lampu kenakan sabuk pengaman membuat saya ingin segera turun dari pesawat.
Biasanya kalau ada turbulensi ringan (saya masih melihat awak kabin berjalan di area kabin) situasi tersebut nggak begitu membuat khawatir. Namun, kala itu awak kabinnya benar-benar duduk di kursi masing-masing dan pesawatnya terasa seperti diguncang. Saya merapal doa apa saja yang terlintas di kepala dan istighfar tanpa berhenti. Dosa-dosa yang pernah saya lakukan langsung muncul diingatkan dan membuat batin ini menderita.
Semua siksaan tersebut rasanya sedikit mereda ketika pilot mengumumkan kalau sebentar lagi pesawat akan landing. Sayangnya, proses landing-nya pun terasa agak kasar. Saya tetap berusaha positive thinking, barangkali efek cuaca yang kurang baik di Tokyo.
Pada akhirnya, sebaik-baiknya maskapai AirAsia dengan segala prestasinya, melakukan penerbangan di kelas ekonomi dengan maskapai LCC terbaik di dunia tetap bukan pilihan yang menarik untuk dicoba. Kecuali, Anda memang masih muda dan tahan banting.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA AirAsia yang Ikut Memeriahkan Suasana dengan Kontes Foto di Dalam Pesawat.