Waktu kecil, kakak saya punya cita-cita jadi kenek bis. Saat itu, ia beranggapan kenek itu duitnya banyak bisa narikin bayaran dari penumpang. Yah namanya juga anak kecil, dia nggak tahu kalau sopir duitnya lebih banyak—apalagi yang punya bis. Saya sendiri punya cita-cita jadi petani seperti kakek saya. Gimana nggak tergoda, kakek kerjanya santai dirumah dan main di kebun, eh tahu-tahu ada orang yang ngasih duit, katanya hasil panen udah laku. Setelah dewasa, tidak seorangpun dari kami yang mencapai cita-cita masa kecil. Perjalanan hidup yang panjang dan mendebarkan, mengubah keinginan dan cita-cita.
Saya yang memiliki masa kecil di tahun 1980-an memiliki cita-cita yang terbatas. Hal yang diinginkan biasanya yang bisa dilihat sehari-hari. Bahkan, punya keinginan juga harus realistis biar bisa kesampaian. Jarang anak petani berlahan sempit seperti kakek saya punya cita-cita jadi PNS, dokter, guru, atau bahkan jadi pamong desa. Saat itu, cita-cita biasanya diturunkan, anak PNS jadi PNS, anak dokter pingin jadi dokter, dan seterusnya. Orang yang punya tujuam lebih kreatif biasanya anak pegawai baik swasta atau negeri. Ada yang pingin jadi pilot, pengusaha, arsitek, bahkan jadi astronot, dan pekerjaan lain yang dibicarakan sama Ria Enes dan Susan dalam lagunya.
Setelah lebih dari 25 tahun, saya berfikir keadaan akan berubah. Anak-anak zaman ini akan memiliki cita-cita yang lebih spektakuler dari zaman saya kecil. Pada kenyataanya, nggak jauh-jauh amat bedanya. Keinginnnya cukup sederhana, menyelesaikan sekolah, terus nglamar kerja jadi buruh pabrik. Cita-cita anak yang lain nggak jauh dari jadi satpam, cleaning service, dan penjaga toko. Jenis pekerjaan macam itu, terkadang memang dianggap remeh. Tapi hal itu masih rasional dan masih mungkin untuk dicapai.
Dalam cita-cita yang dianggap “tidak terlalu tinggi” tersimpan harapan dan tekad. Kalau mereka berhasil mencapainya, mereka bisa menghidupi diri sendiri, dan tidak membebani orang tua. Sebagian dari mereka yang berhasil meraih cita-cita. Meski memiliki penghasilan pas-pasan, ada yang masih menyisihkan untuk membantu “orang rumah”. Sebagian lagi terlunta-lunta, gonta-ganti kerjaan.
Anak-anak biasa, tidak semua memiliki keinginan yang biasa saja. Terkadang ada yang ngotot pengennya tinggi. Akhirnya, ada yang berhasil, ada juga yang tidak. Kalau anak pegawai zaman ini memang cita-citanya lebih yes! Nggak sekedar pingin kayak orang tuanya saja. Mulai dari pingin jadi pencipta robot sampai ada juga yang pingin jadi YouTuber.
Sebagian orang, setelah dewasa, punya tujuan baru yang tidak terpikir sebelumnya. Ada yang mengacuhkan hal itu, ada juga yang mengejar dan mencoba mewujudkannya di sela kehidupan sehari-hari. Saya sendiri menyebutnya dengan istilah “cita-cita yang terlambat”. Tapi, seperti guru SD saya pernah bilang, lebih baik terlambat daripada tidak masuk sama sekali.
Sudah dewasa, terkadang masih juga punya cita-cita yang belum kesampaian. Yah, keinginan kita memang terkadang berkembang, terkadang datang tiba-tiba. Tapi jangan khawatir, hal ini bisa disambi dengan pekerjaan lain, loh!
Saya punya teman SMA yang cukup istimewa. Saat itu, kelas III, ketika teman yang lain sibuk daftar bimbel dan persiapan ujian akhir dan ujian masuk perguruan tinggi, eh, dia malah daftar beladiri dan mulai dari sabuk putih. Meskipun sabuk putih, tapi setiap kawan yang diajak “latih tanding” pasti pikir-pikir. Pasalnya, badannya terkenal keras bagai gabungan antara tukang nyangkul sama kuli panggul. Jangankan dia yang menyerang, meski cuma bertahan dan hanya menangkis serangan, dipastikan si penyerang akan pegel dan memar.
Saat ini teman saya kerja di sektor pajak, dan punya hobi bikin status di medsos. Gayanya ketika bikin status nyaingi pengamat politik dan sosial kawakan yang sering muncul di TV. Ketika ditanya, “kok kamu yang hobinya nyetatus kayak gitu, kerjanya di bidang pajak, mbok masuk parpol aja, ngapa?”. Dan jawabanya cukup mengharukan, “Pekerjaan kan masalah periuk, kalau buat keinginan dan hobi ya masalah lain lagi.” Pada akhirnya saya menyadari satu hal yang sangat krusial. Bila dilihat dari ukuran badannya: dulu kekar dan sekarang mekar, saat ini pasti dia punya ukuran periuk yang besar.
Selain itu, saya juga akhirnya mengerti kenapa dia dulu pindah haluan dari kuliah Ilmu Hukum ke Perpajakan. Ternyata Perpajakan lebih menjamin masa depan “ukuran periuk” dibanding Ilmu Hukum. Meskipun sekarang teman saya sudah mapan dalam pekerjaan, namun dia mulai bernostalgia dengan cita-citanya yang dulu tertunda. Kalau debat (di medsos) soal hukum, dari RUU sampai hukum acara, dia begitu “membara”.
Sepertinya, bagi dia nyetatus “begituan” emang punya makna tersendiri. Saya mbayangin, kalau keinginannya diampet (ditahan) mungkin dia bakal jadi orang sensi kaya kucing lagi birahi. Dicolek dikit pasti bakal ngamuk.
Jadi kalau kamu udah merasa dewasa, trus kepikiran hidupmu serasa “autopilot”, nggak ada gregetnya, mungkin kamu butuh cita-cita (tapi bukan yang penyanyi dangdut itu ya..hmm..krik..krik..krik???).
Dengan cita-cita mungkin hidup kamu bakal lebih fokus dan bergairah. Nggak perlu bikin cita-cita ketinggian atau kejauhan, mulai dari yang deket-deket aja dulu. Buat kamu yang masih kuliah, mungkin bisa punya cita-cita biar lulus dulu. Buat yang udah lulus, bisa punya cita-cita dapat kerjaan idaman.
Yang agak berat memang kalau kamu punya status jomblo, pasti bingung mau punya cita-cita apa. Mau punya pacar, kok kayaknya cita-cita yang unreachable. Tapi paling tidak, bisa punya cita-cita buat temenan dulu, kan! Siapa tahu akhirnya dia khilaf, bisa deket terus, jadian deh.
Nah, buat kamu yang pingin jadi penulis, coba aja dulu nulis status di medsos. Orang pinter yang saya lupa namanya pernah bilang, “nulis status jelek aja kamu nggak pernah, gimana mau bikin tulisan bagus.”
Jadi tetap semangat. Oke!