Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu bersama. Meraka akan melalu berjumpa dan dalam perjumpaan di sana ada perpisahan. Perpisahan selalu dramatis. Akan ada kata semoga kita berjumpa di lain kesempatan atau lain waktu. Untuk itu meraka selalu melihat dan memandang kelender dan tentu kadang secara sepontan menanyakan—hari apakah hari ini? Ini hanya untuk sebuah kerinduan agar dapat terjumpa kembali dengan teman lama atau mereka yang telah melakukan perjanjian, meski kalender hanyalah sebuah bentuk periodik.
Di antara hari-hari lalu, kita terlibat secara fisik maupun rohani dalam mencatat kertas-kertas kenangan. Ketika lembaran kenangan itu harus kita hanguskan di tengah malam untuk dapat menikmati hari baru dengan fajar baru. Manusia merasakan lakon sebuah drama. Kesedihan yang pernah membuka layarnya. Impian yang terkubur. Mungkin bahagia yang sejenak. Dan kita ingin mengucapkan selamat jalan, sebelum malam menelan kenangan itu.
Kemarin mungkin kita kelebihan waktu. Hari ini—tak ada waktu lagi. Tak ada waktu untuk benahi diri—kata Ebiet G. Ade—bahkan tak ada tempat lagi untuk kembali. Setiap kita mengalami waktu sebagai sungai yang mengalir sampai jauh. Ketika kita tiba-tiba sadar—ada uban nakal menyelip di antara hitam rambut dan segaris keriput menghiasi ujung alis. Kalender terkelupas dari dinding—waktu berjalan seperti tipuan maut yang membuat kita seolah lupa, bahwa kita telah menyia-nyiakan banyak hal. Satu detik mungkin tidak berharga—tapi simaklah catatan Joe Boot dari Ravi Zacharias International Ministries, “Setiap detik 4,5 mobil dibuat di dunia, ada 2000 meter persegi hutan lenyap, ada tiga bayi dilahirkan, ada 1,5 orang meninggal. Dalam satu detik juga ada 2,4 sel darah merah diproduksi di sum-sum tulang.”
Sungguh banyak hal terjadi dalam satu detik. Maka memulai sesuatu dari hitungan detik bisa menjadi ukuran kecepatan kita dalam mengatasi pekerjaan dan soal yang masih tersisa. Kita bisa saja berhenti korupsi karena satu detik waktu mengingatkan kita akan akibat buruk tindakan kita itu bagi rakyat miskin. Indonesian Corruption Watch menempatkan NTT di urutan keenam provinsi terkorup. Dan inilah komentar paling satire: “Paling enak korupsi di NTT karena hampir 100 persen dijamin lolos.”
Begitu menyoloknya angka merah sampai mata kita tak melihat hal baik yang mungkin pernah tercatat. Itulah penghakiman sang waktu bagi sebuah keteledoran. Ia sering disebut sebagai dimensi keempat dalam sains dan punya kedudukan penting untuk observasi ilmiah yang peristiwanya diukur dalam satu kerangka. Namun relativisme mengabaikan kerangka waktu standar atau absolut, karena definisi waktu tak bisa hanya melalui pengukuran. Ia terasa panjang bagi yang bosan. Tapi pendek bagi yang ingin berlama-lama dengan sang kekasih. Pun, di depan prestasi, satu jam cerita sukses tak akan menyolok mata bila diracuni dengan satu detik kegagalan. Nila yang meracuni itu tidak hanya setitik. Susu sebelanga tak hanya rusak melainkan juga bertukar menjadi racun.
Maka tak ada waktu lagi untuk benahi diri. Waktu akan menjadi sekat pertama yang membatasi kesempatan kita. Dan kita hanya membutuhkan sebuah resolusi untuk tidak takluk pada kegagalan kemarin. Ambil waktu. Sedikit merenung. Buat neraca. Ingin tahu apa yang terjadi esok. Bermimpilah. Sebab kita mungkin masih ada di sini esok, tapi impian kita tidak.
Berbagai kalangan telah coba untuk membangun impian tentang sebuah Flores yang damai dan makmur. Tambang dengan gigi kapitalisnya telah mencuatkan mimpi untuk mendadak kaya. Tapi perlawanan tak kunjung reda. Masyarakat lebih mengimpikan listrik, jalan dan air, ketimbang menghias gigi mereka dengan kilatan cahaya emas. Dan Awololong atau kolam renang terapung? Bukankah Pemda Lembata hendak memutihkan susu yang telah bertahun dirusakkan oleh nila represi?
Tak ada waktu lagi memperbaiki citra. Sekat-sekat waktu sengaja dibuat oleh akal budi untuk membuat hidup sedikit mempunyai arti. Dalam hidup yang singkat dan cepat menua ini, Pemda Lembata tentu ingin bangun dari tidur lelap. Membuka kolam renang terapung di tempat yang salah hanyalah menyentakkan tidur nyenyak menjadi igau yang panjang.
Perlawanan tak akan berhenti, sekeras watak baja orang Lembata, semirip puisi Wiji Thukul:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!