Suatu hari saat sedang asik berselancar di internet, saya melihat poster pengumuman lowongan pekerjaan. Sebuah perusahaan ternama membutuhkan seorang manager marketing, salah satu syaratnya “wanita berpenampilan menarik”. Ketika saya masuk ke situs tersebut, muncul banyak iklan pekerjaan. Beberapa posisi seperti sekretaris, front office, dan sales mensyaratkan hal yang sama: wanita berpenampilan menarik.
Tak perlu susah-susah menafsirkan makna “menarik” pada lowongan itu, kita tentu langsung tahu bahwa maksudnya “cantik”. Ya, kita paham pekerjaan-pekerjaan tertentu lazim diisi wanita muda dan berparas cantik.
Kecantikan dan keindahan fisik telah lama dilekatkan pada wanita. Oleh karena itu, wanita pun kerap menjadi objek. Dahulu, khususnya di Jawa, wanita “dibuat” indah demi menjadi properti yang layak bagi kaum laki-laki. Mereka disiapkan untuk bisa dinikahkan dengan pria pilihan orang tua. Sebuah bentuk eksploitasi perempuan yang terjadi sejak dulu.
Mari kita baca sedikit surat Kartini pada sahabat penanya yang menggambarkan nasib wanita saat itu:
‘Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah-saya mesti masuk “tutupan”; saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami.’
Bagi kalangan priyai, wanita menjadi simbol paripurna sebuah keutuhan hidup pria Jawa. Sementara dalam keluarga, mereka adalah konco wingking. Urusannya hanyalah dapur dan kasur. Para wanita dididik dan dibesarkan hanya supaya kelak bisa mengurusi pekerjaan domestik.
‘Tangan dan kaki kami masih terbelenggu; masih terikat pada hukum, adat istiadat dan kebiasaan negeri kami” (Surat Kartini pada Estelle H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899).’
Dalam dunia modern, harkat wanita mulai terangkat. Mereka diberi kesetaraan dengan kaum pria dalam segala hal, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan. Namun, persepsi bahwa wanita adalah objek tak lantas hilang. Ia masih ada dalam wujud lain. Wanita dan kecantikan sekarang menjadi sebuah komoditas, sebuah bentuk eksploitasi pada perempuan.
Kini, wanita dan kecantikan seolah dikaitkan dengan make-up, perhiasan, glamor, dan menor. Ia juga menjadi suatu magnet penjualan. Kita melihat wanita selalu jadi garda terdepan untuk mengeruk laba. Di TV saja kita bisa melihat para wanita menjadi model segala produk mulai dari kosmetik, perhiasan, sabun, rokok, makanan, elektronik bahkan pompa air.
Di pameran para wanita dihadirkan bersama mobil atau motor keluaran terbaru, biasa disebut usher, dan kita tahu para usher tidak bertugas menjual produk seperti sales. Mereka hanya harus berdiri sambil senyam-senyum. Tugasnya cukup memikat pembeli saja.
Selain kecantikan sebagai komoditas dagang, masyarakat kerap mengasosiasikan kecantikan penampilan dengan status sosial. Semakin terlihat cantik penampilan seseorang, semakin orang mafhum bahwa ia memiliki status sosial tinggi. Atau sebaliknya, semakin tinggi status sosial seseorang, semakin ia harus mempercantik diri dengan make-up, aksesori atau perhiasan. Yah mirip-mirip Bu Tejo, istri pak lurah itu.
Di jagad maya, kita kerap melihat bentuk lain dari kecantikan yang menjadi komoditas. Berkali-kali kita mendapati berita viral tentang pedagang berparas cantik. Misalnya yang sempat heboh: Dewi dan Daniella si penjual angkringan di Solo. Sebelumnya ada Utari, penjaja cilok di Boyolali. Atau Sarah, asisten rumah tangga yang viral karena berparas cantik hingga membuat majikannya minder.
Mereka menarik perhatian publik: cantik tapi kok jualan gituan, jualan gituan tapi kok cantik, pembantu tapi kok cantik, dll. Padahal angkringan, cilok, gorengan, dan asisten rumah tangga identik dengan kelas bawah. Dan biasanya paras penjualnya pun biasa saja. Maka, ketika wanita-wanita itu “ketahuan” publik, orang mencari-cari infonya, berita pun tersebar dan viral. Bahkan kabarnya, dagangan Mbak Dewi, Daniella, dan Utari ludes dalam waktu setengah hari saja!
Kita juga sering mendapati wanita yang sengaja mengunggah foto “cantiknya”. Menurut saya sih itu namanya jualan juga, imbalannya adalah like, follow atau subscribe. Kita menyukai, viral dan ia menjadi tenar. Jadi deh selebriti dunia maya.
Dulu, wanita dan kecantikannya hanya menjadi objek, khususnya bagi pria yang akan dijodohkan dengannya. Kita pun sepakat menolak itu. Setiap bulan November kita turut memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, kita berkampanye menolak eksploitasi perempuan.
Namun sungguh ironi, kecantikan justru dieksploitasi habis-habisan di jagad maya. Dan kita justru merayakannya bersama-sama.
BACA JUGA Inilah 3 Suluk Agar Anda Terhindar dari Sikap Diskriminatif dan tulisan Pandu Wijaya Saputra lainnya.