Mendapatkan sebuah pekerjaan merupakan sebuah keistimewaan dalam hidup jika dibandingkan hanya berguling-guling, rebahan diatas kasur yang malah menjadi beban keluarga. Terutama bagi mereka yang telah lulus menempuh suatu pendidikan. Tapi ada yang mengherankan dalam urusan syarat kerja “ganjil” yang akan saya bahas.
Saya sendiri meskipun belum lulus kuliah, sering banget mencari lowongan pekerjaan yang mungkin dapat saya lakukan ketika menjalani aktivitas kuliah. Tentunya sebuah pekerjaan yang nggak mengganggu perkuliahan. Biasanya saya sering fokus pada pekerjaan yang menawarkan kerja part time, atau setidaknya memiliki jam kerja lebih fleksibel.
Info pekerjaannya sendiri saya dapatkan kalau nggak dari teman, ya dari hasil scrolling beberapa akun sosial media yang menginfokan berbagai lowongan pekerjaan. Nah, ketika scrolling tersebut, saya menemukan beberapa pihak yang membuka lowongan pekerjaan dengan mencantumkan persyaratan “rajin salat lima waktu” kepada calon pegawainya.
Terdapat sedikit keganjilan menurut saya pada pihak pembuka lowongan pekerjaan yang mencantumkan syarat kerja “rajin salat lima waktu”. Keganjilan saya disini yakni bagaimana seorang penerima calon pegawai, HRD, atau apa pun namanya itu, dapat menilai atau mengetahui bahwa calon pegawainya rajin salat lima waktu?
Sebelum ada pihak yang tersinggung, menganggap saya menyudutkan agama tertentu, atau mungkin menganggap saya antiagama, saya perlu menekankan terlebih dahulu bahwa tidak ada maksud, tujuan, maupun tendensi dari tulisan ini untuk mengarah ke sana. Justru tulisan ini mutlak didasari atas keresahan saya bahkan mempertanyakan sesuatu yang saya rasa terdapat keganjilan di dalamnya.
Baiklah, lanjut ke topik utama. Saya amat menyayangkan pihak penerima calon pegawai baru yang mengukur rajin atau nggaknya seseorang dalam melakukan salat lima waktu. Lah bagaimana dia dapat mengetahui bahwa seseorang rajin salat lima waktu? Yang notabene kelima waktu tersebut terbagi dalam 24 jam sehari.
Apa mungkin pihak penerima calon pegawai menilai atau mengetahui seseorang rajin salat atau nggaknya dari kehitaman jidat? Tentunya bagi saya itu sebuah tindakan yang nggak tepat sama sekali, dong. Bisa saja hitamnya jidat seseorang bekas terbentur pintu rumah, ataupun kecelakaan lainnya.
Bahkan bisa jadi juga hitamnya jidat disebabkan tinta hitam yang muncrat ke jidatnya ketika sedang mengisi spidol. Tentunya saya nggak bisa memastikan sebab seseorang memiliki jidat hitam secara objektif, namun yang pasti adalah jidat hitam nggak dapat menjadi tolok ukur seseorang rajin salat atau nggak. Inilah yang bikin syarat kerja rajin salat lima waktu jadi tidak masuk akal.
Jika jidat nggak mampu menjadi tolok ukur, kita lihat cara lain seperti pengakuan seseorang. Jika pihak penerima kerja mengandalkan pengakuan bahwa rajin salat lima waktu oleh calon pegawainya ketika menjalani interview, tentunya berpotensi terjadi adanya tindak kebohongan yang dilakukan oleh calon pegawai itu sendiri. Namanya juga manusia, tempatnya khilaf dan dosa.
Lah, demi mengatasi terjadinya tindak kebohongan tersebut, pastinya ada yang mengandalkan identifikasi calon pegawai dengan cara ala psikolog. Bukannya saya nggak percaya pada teknik psikotes ketika interview dilakukan, hanya saja menurut saya identifikasi kepribadian oleh psikolog belum tentu akurat.
Sangat mungkin terjadi kekeliruan ketika identifikasi kepribadian. Bahkan bisa jadi seorang calon pegawai telah lihai mengibuli psikolog dengan drama yang dilakukan ketika interview hingga tidak dapat terdetektsi sama sekali oleh psikolog itu sendiri. Maklum, siapa tau saja calon pegawainya merupakan aktor film Hollywood.
Oke, berarti sampai sini belum ada yang dapat membuktikan secara akurat dan objektif untuk menilai seseorang rajin atau nggaknya salat. Sempat terceletuk dalam pikiran saya bahwa cara yang mungkin dapat mengetahui seseorang rajin atau nggaknya dalam salat yakni melalui pengujian kerja dalam kurun waktu tertentu.
Mungkin ini dilakukan bagi pekerjaan yang memiliki shift pagi, siang, dan malam, atau memiliki jam kerja full 24 jam. Sedangkan untuk pekerjaan yang hanya memiliki jam kerja satu shift saja, atau nggak 24 jam, solusi ini nggak bisa diterapkan.
Pasalnya sallat lima waktu itu berada di setiap ketiga shift tersebut. Tentunya nggak mungkin, dong, ketika HRD bela-belain mengamati rajin nggaknya salat seseorang hingga mendatangi ke rumahnya.
Jadi, untuk pekerjaan yang memiliki jam kerja 24 jam, maka calon pegawainya dapat dipantau keaktifannya dalam salat lima waktu selama menjalani berbagai shiftnya di 24 jam tadi, namun itu jika memang perlu banget untuk dilakukan.
Namun, di sini justru saya merasa lebih ganjil lagi dibandingkan sebelumnya. Apakah memang harus kepo, mengamati, atau mungkin riset penelitian mengenai aktivitas ibadah seseorang? Apakah itu merupakan tindakan yang cukup etis untuk memantau keaktifan salat lima waktu seseorang hanya demi memenuhi syarat kerja?
Sampai sini saya belum menemukan jawaban yang akurat, objektif tanpa mencoret nilai-nilai etika yang ada dalam membuktikan seseorang rajin salat lima waktu. Bahkan semua ini guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh suatu pekerjaan. Di sisi lain memang tulisan ini berniat mempertanyakan, bukan untuk menjawab secara memuaskan. Sebab, syarat kerja demikian justru mengundang kebingungan dari banyak pihak alih-alih mengabaikan aspek religiusitas calon pekerja.
BACA JUGA Contoh Pertanyaan Interview Kerja yang Sering Muncul dan Tips Menjawabnya dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.