Surat Cinta untuk CakJi Surabaya: Kami Bukan Nyaman dengan Kendaraan Pribadi, tapi Nggak Punya Pilihan Lain!

Surat Cinta untuk CakJi Surabaya: Kami Bukan Nyaman dengan Kendaraan Pribadi, tapi Nggak Punya Pilihan Lain!

Surat Cinta untuk CakJi Surabaya: Kami Bukan Nyaman dengan Kendaraan Pribadi, tapi Nggak Punya Pilihan Lain! (Shutterstock.com)

Hallo, Wawali Surabaya. Piye kabare, Cak? semoga sehat dan selalu bahagia, njeh. Aamiin. Maaf, lho, saya menyapa dengan panggilan “cak” alih-alih “bapak”, ini bukan karena saya tidak menghormati njenengan. Melainkan karena saya tahu, tagline politik sampeyan sejak dulu adalah CakJi, cacak e arek-arek Suroboyo. Duh, saya memang perhatian orangnya.

Oh iya, Cak. Saya baru saja melihat podcast sampeyan yang berjudul “Macet e Suroboyo meh Koyok Jakarta, Pakar Transportasi Ngeyel Nak CakJi”. Waah, ternyata selain pintar berpolitik, CakJi juga kekinian dan mengikuti hal-hal yang sedang ramai di media sosial, salut lah pokoknya. Topik transportasi publik memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di Surabaya, utamanya oleh kaum milenial dan mereka yang peduli tentang isu lingkungan.

Sebagai rakyat jelata yang tinggal selama tujuh belas tahun di Surabaya, saya mengucapkan terima kasih kepada CakJi yang telah membuka ruang diskusi tentang transportasi di Kota Pahlawan. Yaaa, meskipun diskusinya eksklusif antara CakJi dan Pak Putu selaku pakar transportasi saja, tapi kami tetap berterima kasih. Setidaknya, CakJi tahu, kalau masalah transportasi publik di Surabaya sudah tidak bisa lagi dinomor duakan.

Langsung ke intinya ya, Cak. Setelah mendengarkan podcast njenengan yang berdurasi kurang lebih 46 menit tersebut, kok saya merasa sedih ya, Cak. Saya merasa kalau kita berdua seperti puisinya Soe Hok Gie, alias “berbeda dalam semua”. Saya sampai nggak bisa tidur dan overthinking memikirkan betapa jauhnya perbedaan kita.

Namun, dalam lubuk hati terdalam, saya sempat berharap kalau setidaknya cara kita memandang transportasi publik di Surabaya sama. Lha, ternyata berbeda juga. Duh, saya memang manusia yang kebanyakan bermimpi bisa samaan dengan sampeyan. Kadang saya ini memang suka nggak tahu diri.

Namun, meskipun saya ini ibaratnya hanya umbi-umbian yang tumbuh di sekitar Tugu Pahlawan. Boleh kan, Cak, saya menyampaikan pendapat setelah melihat podcast njenengan yang saking serunya, telah di-like oleh 27 orang. Luar biasa, mantap!

Podcast CakJi dibuka dengan membicarakan kemacetan di Kota Surabaya “mendingan” daripada Jakarta. Statement tersebut nggak sepenuhnya salah sih, Cak, toh pengalaman berkendara seseorang bisa berbeda-beda. Masalahnya hanya satu, membandingkan mana yang lebih crowded, apakah Surabaya atau Jakarta, sudah nggak penting lagi.

Bagi warga Surabaya, kita butuh solusi untuk mengatasi kemacetan tersebut. Ya masa, kita nunggu sampai jalanan di Surabaya tidak bisa dilewati kendaraan sama sekali, baru membuat transportasi publik yang rutenya lengkap, efisien, cepat, dan ekonomis. Nggak gitu, dong ya.

Lagipula, menurut saya nih, Cak, transportasi publik dibangun bukan semata-mata untuk mengatasi kemacetan. Melainkan untuk mewujudkan cita-cita Surabaya sebagai sustainable city atau kota berkelanjutan yang perencanaan pengembangannya mengacu pada keseimbangan tiga pilar (ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup) secara terintegrasi.

Artinya, parah atau tidak parahnya kemacetan di jalanan Surabaya seharusnya tidak mengurangi sedikit pun usaha pemerintah untuk membangun transportasi publik yang berkelanjutan. Sebab, sustainable city mengupayakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kota dan warganya tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang.

Tugas saya dan warga Surabaya adalah beradaptasi dengan kebiasaan baru yang lebih ramah lingkungan. Seperti, mengupayakan untuk tidak terus-terusan menambah emisi CO2 dari kendaraan pribadi. Tugas pemerintah adalah membangun infrastruktur untuk membuat kebiasaan baru tersebut bisa dilakukan.

Saya paham sih, Cak. Warga Surabaya memang kadang suka ngeselin tingkahnya. Di saat Pemkot sudah berusaha menyediakan Suroboyo Bus, Trans Semanggi, dan bikin Park and Ride di beberapa titik, eh, malah dianggurin. Suroboyo Bus dan Trans Semanggi yang busnya bagus, bersih dan warnanya merah ngejreng itu, malah sepi penumpang. Nggak heran sih, kalau CakJi kemudian menyimpulkan jika perilaku kita (baca: warga Surabaya) yang nyaman dengan kendaran pribadi adalah biang masalahnya.

Tapi, ngapunten njih, Cak. Warga Surabaya sebenarnya bukannya nyaman dengan kendaraan pribadi, kok. Kami selalu mengendarai mobil atau motor, lantaran hanya itu pilihan yang ada dan memungkinkan. Contohnya saya sendiri, Cak. Kantor saya di Jalan Kalibokor, dan tempat tinggal saya di Jalan Kebonsari. Tidak ada Suroboyo Bus dan Trans Semanggi yang menjangkau rute tersebut. Padahal saya tinggal di kawasan pemukiman yang padat penduduk dan cukup strategis, lho. Ada kampus besar di dekat area ini, yaitu kampus Universitas Negeri Surabaya. Strategis kan?

Nggak usah muluk-muluk dulu, deh. Surabaya nggak harus langsung membangun trem atau monorel yang memakan biaya besar kok, Cak. Wacana tersebut juga sudah pernah digembar-gemborkan wali kota sebelumnya, yang sayangnya, selama dua periode kepemimpinannya, itu semua hanya ada di draf kampanye politik.

Jika boleh usul nih, Cak. Alangkah baiknya, jika Pemkot Surabaya fokus pada hal-hal yang bisa dijangkau saja, tapi tetap memiliki efek jangka panjang. Saya mencatat ada empat hal yang bisa dilakukan untuk mendorong warga Surabaya tertarik beralih ke transportasi masal.

Pertama, tentu saja membuatkan jalur khusus untuk Suroboyo Bus (SB) dan Trans Semanggi (TS). Jalur khusus bukan berarti melebarkan jalan lagi, kok, manfaatkan saja ruas jalan Surabaya yang sudah lebar itu. Kenapa ini penting? soalnya agar waktu tempuh SB dan TS lebih cepat. Surabaya kan bukan kota wisata, ini kota industri. Kebutuhan warga berpindah lokasi lebih banyak urusan pekerjaan daripada jalan-jalan, sehingga efisiensi waktu menjadi poin penting.

Kedua, membuat semua mode transportasi yang sudah ada di Surabaya (Suroboyo Bus, Trans Semanggi, kereta dan angkutan) terhubung atau terintegrasi satu sama lain. Hal ini akan membuat jangkauan atau rute transportasi masal kita menjadi lebih luas, dan memungkinkan untuk menjangkau lebih banyak wilayah di Surabaya. Tentunya, hal ini tetap harus diiringi dengan terus menambah rute baru Suroboyo Bus dan Trans Semanggi secara bertahap.

Menurut saya, ini lebih penting ketimbang memberikan subsidi langsung berupa uang ataupun BBM kepada supir angkot. Menjadikan angkot sebagai feeder yang menjangkau kampung-kampung lebih efektif bagi keberlangsungan hidup supir angkutan.

Sudah waktunya para pemimpin di kota ini menyudahi anggapan kalau warga hanya mau uang. Maaf, Cak. Jangan menganggap rakyat seperti pengemis yang harus diberi uang secara langsung. Saya rasa, memberikan fasilitas dan ruang untuk bekerja dengan baik cum kondusif adalah kebijakan yang lebih bijaksana daripada memperlakukan warga seperti peminta-minta.

Ketiga, memanfaatkan Park and Ride yang sudah ada dengan menjadikannya rute atau jalur yang wajib dilewati oleh Suroboyo Bus dan Trans Semanggi. Kalau Park and Ride cuma jadi tempat parkir tok, kan yo eman-eman.

Keempat, konsisten melakukan ketiga hal tersebut. Sama dengan berjualan rujak cingur, menawarkan transportasi publik kepada warga dibutuhkan konsistensi agar pelanggan bersedia datang. Selama ini, kadang kits suka di-prank jadwal Surabaya Bus. Di aplikasi tertulis keberangkatannya jam tujuh, eh bus-nya datang jam 7.30. lha, kalau warga Surabaya menggunakan bus tersebut untuk berangkat kerja, nggak sampai satu bulan bisa dipecat, Cak, lantaran suka telat masuk kantornya.

Sementara hanya itu dulu yang ingin saya sampaikan kepada CakJi. Oia, kalau boleh saran nih, Cak. Sebaiknya panjenengan mboten usah promosi naik motor untuk menghindari kemacetan. Bukannya apa, takutnya nanti sales motor kehilangan lapangan pekerjaannya.

Akhir kata, semoga CakJi selalu diberi kesehatan oleh Gusti Allah, agar bisa melakukan banyak perubahan yang lebih baik untuk kota Surabaya yang kita cintai ini. Cemungud njeh, Cak!

Salam hormat dari saya, patung Suro dan Boyo di depan KBS.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 5 Kesengsaraan Orang Berkacamata, dari Kecolok sampai Dibilang Sombong

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version