Satu malam, kembali saya bercengkrama dengan eyang. Penuh harap agar eyang kembali menceritakan “dunia hitam” di Jogja tempo dulu. Namun, eyang memiliki cerita yang lebih menarik. Cerita yang sangat akrab dengan keluarga besar kami. Cerita itu adalah perjalanan keluarga kami sebagai keturunan ahli sunat.
Lebih dikenal sebagai bong supit, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang dirindu dan dibenci. Dirindu orang tua karena membawa putra mereka menuju kedewasaan. Dibenci para anak karena membuat mereka harus lockdown di rumah sampai luka kemaluannya mengering. Bong supit juga dipandang sebagai pekerjaan berkelas setingkat ahli bedah. Tapi tetap saja dibenci anak-anak yang harus merelakan sekerat kulit untuk menjadi penanda kedewasaan.
Bong supit juga mengikuti perputaran zaman. Sebagaimana pekerjaan lain, bong supit juga berevolusi. Di sinilah saya mulai tertarik dengan dunia perburungan ini. Apa yang kita kenal sebagai cara sunat selama ini sangat berbeda dengan cara sunat ketika Belanda masih bercokol di bumi Nusantara ini. Dan saya sangat bersyukur tidak buru-buru lahir.
Eyang saya berkisah, sunat masa itu tidak sesantai saat ini. Jika hari ini kita bisa menikmati klinik dengan AC sejuk, kamar nyaman, dan pelayanan yang ramah. Bahkan bisa sambil bermain PlayStation sembari menikmati prosesi pendewasaan ini. Tapi semua kemewahan ini tidak akan kamu temukan saat sunat di masa Soekarno masih sibuk minum kopi dengan rambut klimisnya. Masa itu, kamu harus camping untuk sunat. Kamu tidak salah baca.
Camping yang saya maksud bukanlah membangun tenda di gunung atau pantai. Tapi sama-sama menggunakan tenda. Sunat pada zaman baheula dilakukan di dalam tenda di tengah pelataran yang luas. Di Jogja, tenda ini disebut kerobong atau krobong. Sang anak akan dipangku bapaknya dengan posisi kaki mengangkang. Sang bong supit akan melakukan sunat dengan posisi jongkok di depan anak tadi. Dan jelas ini tidak nyaman. Sudah panas-panasan di tenda, masih harus menahan perihnya sunat. Memang, leluhur kita lebih dari sekadar tangguh.
Saya bertanya, mengapa harus dilakukan di lapangan. Bukankah sunat seperti ini bisa dilakukan di rumah? Beberapa catatan menjelaskan, darah sunat dipercaya mencemari kesucian rumah. Maka waktu itu segala yang berurusan darah harus dilakukan di luar rumah, dari menstruasi sampai sunat. Saya berpikir, jangan-jangan saya akan dicampakkan dari rumah hanya karena luka tergores senar layangan. Tapi pikiran saya terambil alih dengan kisah berikutnya.
Sudah saya sampaikan, sunat pada masa itu dilakukan dengan posisi duduk dipangku. Ternyata posisi ini menyimpan marabahaya bagi bong supit. Bong supit dalam posisi tidak terlindungi dari tendangan sang pasien. Eyang buyut saya juga menjadi korban tendangan ini. Sudah harus bersabar dan meyakinkan sang anak bahwa sunat itu seperti “digigit semut,” masih saja harus menerima tendangan. Ini membuat eyang buyut saya berinovasi.
Beliau bernama R. Soetadi Hadiwijoto. Namun beliau lebih dikenal dengan nama panggung Bong Tadi. Beliau mempelajari metode ini saat bekerja sebagai mantri di RS Petronella, saat ini dikenal sebagai RS Bethesda Yogyakarta. Selama menjadi bong supit, sudah puluhan kaki yang menendang beliau. Maka beliau mencoba metode sunat baru, yaitu sunat dalam posisi tidur. Posisi ini lebih menguntungkan bong supit karena lebih mudah memegangi pasien.
Inovasi ini mengantarkan kita pada era baru dunia persunatan. Metode ini masih dipakai di wilayah Yogyakarta. Dan karena dilakukan dengan posisi tidur, maka tenda krobong menjadi tidak relevan. Akhirnya eyang buyut saya membuka praktik sunat di rumah pribadi di daerah Wirobrajan. Beliau juga memiliki asisten yang kini membuka praktik sendiri. Praktik sunat asisten beliau dikenal sebagai Bong Supit Bogem yang ada di daerah Prambanan. Tentu dengan metode yang sama, tiduran di dalam klinik yang nyaman.
Tapi metode lama tidak lantas ditinggalkan. Metode sunat camping tetap dipilih oleh para bangsawan kala itu. tentu dengan alasan menjaga kebudayaan. Eyang buyut saya tetap melayani sunat camping ini dan tentunya dengan satu doa: jangan sampai ditendang lagi. Beberapa putra kraton juga tetap disunat di dalam krobong oleh eyang buyut saya.
Maka kita patut bersyukur, hari ini metodenya telah lebih manusiawi daripada masa eyang buyut saya. Hari ini kita tidak perlu camping di tengah pelataran hanya untuk disunat. Bayangkan ketika bapak kita membawa carrier berisi tenda lalu berkata, “Ayo nak, disunat dulu.”
BACA JUGA Sesakit-sakitnya Patah Hati Lebih Sakit Tidak Kebagian Sodoran Rokok dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.