Selain kapan menikah, pertanyaan kapan sunat itu juga meresahkan
Siapa bilang masalah terbesar bocil cuma PR matematika? Mereka juga kerap dilanda pertanyaan-pertanyaan meresahkan yang mengobrak-abrik mentalnya. Salah satunya adalah pertanyaan kapan sunat bagi bocah lanang yang belum disunat. Biasanya pertanyaan itu dilontarkan keluarga atau tetangga terdekat dengan maksud candaan semata.
Kenyataannya, pertanyaan itu terus-terusan meneror si bocil dan membuatnya bad mood seharian. Level kesalnya setara dengan jomblo yang ditanya kapan nikah atau pasangan muda ditanya kapan punya anak. Ya, benar-benar meresahkan! Patut dinobatkan sebagai salah satu FAQ basi yang sering muncul di berbagai acara kumpul keluarga, termasuk momen lebaran dalam waktu dekat.
Awalnya saya sering melihat anak laki-laki tetangga yang jadi bulan-bulanan orang terdekatnya. Sebut saja namanya Yanto (bukan nama sebenarnya). Mulai dari kakek, nenek, paman, bibi, dan bahkan guru mengajinya kompak mencerca Yanto dengan pertanyaan kapan sunat di berbagai kesempatan. Mulai dari basa-basi saat ia lewat atau menggodanya ketika baru pulang menghadiri acara hajatan temannya yang disunat.
Parahnya lagi, pertanyaan itu kadang juga disertai judgment yang meremehkan. Mulai dari meledek banci, nggak gentle, atau “Awas lho, kalau nggak sunat-sunat, nanti namamu diganti Yanti, nggak cocok jadi Yanto”. Dan orang-orang pun tertawa merundungnya. Yanto sempat menangkis dengan menjawab ala kadarnya. Tapi lama kelamaan dia cuma diam, tertunduk lesu, dan tidak menggubris lagi orang-orang yang kepo soal burungnya.
Pasti menyebalkan jika setiap hari ditanya pertanyaan yang sama berulang-ulang. Itu bukan lagi sebuah pertanyaan, tapi cuma olok-olokan. Apalagi pake dikatain banci, ejekan yang lucu saja belum. Alih-alih bercanda atau memotivasi, tapi sebenarnya melukai hati
Ini bukan asumsi saya pribadi. Suatu ketika, saya mengajak Yanto ngobrol empat mata. Saya tanya apakah dia kesal ditanya kapan sunat terus-terusan? Dia pun menjawab kalau dirinya kesal. Kenapa? Karena si penanya terlalu “nggupuhi”, seolah mendesaknya agar cepat-cepat sunat. Lagi pula, Yanto juga bilang kalau teman-temannya masih banyak yang belum sunat. Jadi, kenapa harus buru-buru?
“Tapi, kamu berani kalau disunat?” tanya saya.
Yanto cuma nyengir dan malu menjawabnya. Dia menceritakan kalau dirinya memang takut disunat. Bocah kelas 5 SD itu mengenang hari ketika dia mengantar sepupunya khitan ke seorang dokter. Yanto yang saat itu masih TK melihat sepupunya menjerit kesakitan ketika kulup di ujung kelaminnya dipotong oleh sang dokter. Sejak itu pun Yanto menganggap bahwa sunat adalah sesuatu yang menyakitkan.
Meski begitu, Yanto mengatakan kalau dirinya sudah tidak takut lagi. Malahan, dia bersemangat untuk segera dikhitan. Soalnya, biar bisa absen sekolah dan tak perlu memikirkan mata pelajaran. Dia juga tidak sabar ingin mendapatkan banyak hadiah dan uang saku dari keluarga besar yang datang di acara khitanannya nanti.
“Ya udah, kenapa nggak sunat sekarang aja?”
“Belum ada uangnya lah!” jawabnya singkat dan tegas.
Sontak, jawaban Yanto membuat saya terkesiap. Sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya. Saya baru sadar kalau khitan juga butuh duit yang nggak sedikit. Nggak cukup modal keberanian doang. Minimal butuh satu jutaan buat operasi sunatnya saja. Dan biaya sebesar itu tidak bisa ditanggung BPJS.
Belum lagi dengan segala bentuk hajatan khas orang Indonesia yang seolah-olah wajib atas nama menjaga tradisi. Mulai dari tumpengan dan mengundang orang sekampung untuk walimahan khitan. Hingga merayakan pesta hajatan yang mengundang teman-teman si bocah dan kerabat orang tua. Harus pesan terop, sound system, katering, dan masih banyak lagi. Total biayanya ditaksir hingga 10 juta lebih.
Saya tak menyangka, anak sekecil Yanto sudah ikut memikirkan biaya yang harus dikeluarkan orang tuanya ketika dia minta khitan kelak. Karena itulah, dia sabar menunggu waktu yang tepat untuk sunat menyesuaikan dompet orang tuanya. Lantas, mengapa orang-orang dewasa yang sama sekali tidak berkontribusi dalam hidupnya malah riweh mendesaknya cepat-cepat sunat?
Itulah ironinya. Banyak orang memaksa orang lain melakukan sesuatu atas dasar kepantasan, norma, dan “rasa malu” yang abstrak. Tapi, tak memikirkan dampak dari paksaannya. Katanya, demi kebaikan. Memangnya, kebaikan macam apa yang bikin orang tertekan?
Pesan moralnya sih, ya, jangan banyak omong, dan memaksa. Jangan banyak tanya, apalagi menyakiti hati. Selain bikin orang benci, juga berdosa. Mau catatan dosa kalian yang udah menggunung bertambah, nggak kan? Makanya, jaga mulut. Mending turu, ora risiko.
Penulis: Riris Aditia N
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jika Saya Jadi Gubernur DIY, Saya Siap Dimarah-marahi oleh Sultan