Warlok boleh bangga, tapi jangan buta
Bukan hanya soal upah, lapangan pekerjaan di Solo jadi rebutan. Bahkan, menurut saya lapangan pekerjaannya lebih sedikit daripada jumlah pencarinya. Asal tahu saja, Solo adalah kota idaman bagi orang-orang di sekitarnya seperti Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Boyolali, semuanya datang ke Solo buat cari penghidupan. Sayangnya, lapangan kerjanya nggak bertambah secepat pertumbuhan coffee shop-nya.
Bahkan, ada banyak kasus di mana lulusan S1 kerja di toko atau jadi admin dengan gaji di bawah UMR. Itu bukan sekedar urban legend, tapi realita yang sering dianggap “wajar” oleh pasar kerja lokal.
Harus diakui bahwa Solo memang punya atmosfer yang tenang. Nggak sepadat dan seruwet Jakarta. Tapi, itu bukan berarti kehidupan di sini otomatis mudah.
Saya nggak sedang bilang Solo jelek. Sama sekali bukan. Solo adalah kota dengan kekayaan budaya luar biasa, masyarakat yang ramah, dan sejarah yang hidup dalam keseharian. Tapi cinta itu nggak harus buta, apalagi romantisasi.
Kita boleh bangga sama Solo, tapi juga harus jujur ada masalah ketimpangan antara citra dan realita. Slow living di Solo memang nyata, tapi saat ini masih lebih realistis buat turis yang datang, bukan buat warga yang hidup sehari-hari di tengah tuntutan ekonomi.
Penulis: Arrauna Bening Aji Kus Indriani
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Pengalaman Saya sebagai “Anak Baik-baik” Tinggal di Kos LV Jogja yang Penuh Drama.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















