Kedua, syarat yang ditetapkan platform menulis online semakin nggak masuk akal. Kadang, untuk mendapatkan 400 ribu rupiah saja, kita harus rutin menulis hampir tiap hari dengan jumlah puluhan ribu kata per bulan. Intinya, dalam sehari minimal setor 1000 kata.
Beberapa waktu lalu, saya malah membaca bahwa yang bisa mendapatkan gaji di sebuah platform novel online, hanya mereka yang menulis ratusan ribu kata dengan tayangan sekian dan pembaca sekian. Kalau syarat ini nggak terpenuhi, wassalam, paling cuma dapat beberapa ribu rupiah tiap bulan. Coba deh bayangin, kamu menulis novel 80 ribu kata lalu cuma dapat 50 ribu rupiah.
Beberapa platform novel online juga sudah angkat tangan membiarkan penulisnya bersimbah keringat. Mereka nggak peduli, bahkan bila penulisnya sudah menghasilkan karya ratusan ribu kata. Padahal janjinya akan ada keuntungan sekian persen.
Yang saya lihat, platform novel online itu akhirnya berperilaku selayaknya start-up pada umumnya. Manis dinikmati di awal, tapi makin lama makin mencekik.
Mereka dulunya memang murah hati karena butuh penulis. Tapi setelah populer, akhirnya kesejahteraan penulis harus dikorbankan demi mempertahankan bisnis ini.
Sempat banting stir jadi ghost writer
Karena pernah sangat membutuhkan uang, akhirnya saya sempat banting stir jadi ghost writer untuk penulis lain. Tapi, menjadi ghost writer pun ternyata harus berjuang gila-gilaan.
Saya pernah menawarkan jasa saya pada seorang penulis dan langsung ditawar dengan upah 10 ribu rupiah per 1000 kata. Padahal menulis 1000 kata itu nggak mudah, lho. Apalagi saya harus menuliskan cerita yang bukan milik saya.
Saya menyepakati harga tersebut karena memang sedang sangat kepepet. Tapi saat ini, saya bertekad untuk menyudahi urusan saya dengan dunia novel online. Terlalu bikin miris hati kalau diteruskan.
Penulis: Nar Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Yang Bisa Dipelajari dari Penulis Novel.