Pernyataan Disnaker Sidoarjo beberapa waktu lalu itu sungguh menggelitik. Bahkan, jujur saja, sedikit menyebalkan. “Anak muda jangan terlalu pilih-pilih pekerjaan.”Â
Wahai Bapak/Ibu Disnaker Sidoarjo, seolah-olah kami ini barisan kaum rebahan yang cuma bisanya mager sambil ngarep rezeki nomplok. Seolah-olah kami ini picky dan cuma mau kerja di kantoran ber-AC dengan gaji setara gaji direktur BCA.Â
Padahal, realitanya tak sesederhana itu, lurd. Kalau cuma disuruh kerja apa saja asal halal, ya kami juga paham itu. Tapi, ada beberapa tapi yang perlu Bapak/Ibu ketahui, dan tapi ini bukan cuma soal kami, tapi juga soal kalian yang punya wewenang.
Data bicara, bukan sekadar curhatan anak muda yang manja di Sidoarjo
Mari kita bicara data biar tidak disangka kami ini cuma bisa mengeluh sambil menyeruput kopi sachet di angkringan. Jadi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) terbaru per Februari 2024.Â
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia memang turun, menjadi 4,82%. Turun sih turun, tapi apakah itu berarti masalah pengangguran sudah selesai? Eits, jangan senang dulu, Bapak/Ibu. Angka itu bisa mengecoh, seperti janji manis kampanye.
Lihat lebih dekat, TPT untuk lulusan pendidikan tinggi (diploma dan universitas) justru masih menjadi penyumbang terbesar. Tahukan Bapak dan Ibu Disnaker Sidoarjo, TPT lulusan universitas mencapai 6,94%, dan diploma 5,23%.Â
Bayangkan, kami sudah berdarah-darah kuliah, bayar UKT yang kadang bikin orang tua senam jantung, begadang ngerjain skripsi sampai mata panda dan wajah kusam, tapi ujung-ujungnya masih disuruh “jangan terlalu pilih-pilih”? Lah, kalau bukan kami yang sedikit “pilih-pilih” sesuai jurusan dan kompetensi, lantas gunanya kami kuliah itu apa?Â
Kemudian, terkait demografi, kelompok usia muda (15-24 tahun) alias generasi Z dan milenial awal memang memiliki TPT yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Ini bukan karena kami malas, juga bukan karena kami picky, tapi karena pasar kerja yang belum sepenuhnya siap menyerap gelombang bonus demografi.Â
Lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja baru yang setiap tahunnya “lulus” dari bangku pendidikan, baik dari SMK, Diploma, maupun Universitas. Ibaratnya, pendaftar lomba lari ada 1000 orang, tapi start line-nya cuma muat 10 orang. Jelas ada yang tertinggal.
Baca halaman selanjutnya: Benahi dulu kerjamu, baru mengkritik anak muda.




















