Siapa Bilang Mahasiswa FIB Masa Depannya Suram? Bener sih, Bener-bener Minta Digeplak Maksudnya

Siapa Bilang Mahasiswa FIB Masa Depannya Suram? Bener sih, Bener-bener Minta Digeplak Maksudnya (Pixabay.com)

Siapa Bilang Mahasiswa FIB Masa Depannya Suram? Bener sih, Bener-bener Minta Digeplak Maksudnya (Pixabay.com)

Kemarin, ketika saya tengah membuka Twitter, saya menemukan sebuah cuitan yang seketika menarik perhatian saya. Dalam cuitan yang dibuat oleh sebuah akun menfess tersebut, muncul sebuah pernyataan bernada menyindir mengenai para mahasiswa baru (maba) yang masuk ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB).

Mereka dianggap memilih fakultas tersebut karena cara masuknya yang dianggap gampang dan hanya melakukannya demi mendapatkan almamater pilihan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa mahasiswa FIB akan sulit mencari pekerjaan ketika sudah lulus kelak.

Sebagai mahasiswa FIB semester 7, sesungguhnya saya merasa cukup kesal ketika membaca tweet tersebut pertama kali. Pasalnya, saya melihat bahwa semua opini yang dilontarkan adalah sesuatu yang keliru. Oleh karena itu, melalui artikel ini, saya akan mengajak kalian untuk berhenti memiliki anggapan-anggapan buruk tersebut. Sebab, pada kenyataannya sama sekali tidak seperti itu.

Masuk FIB gampang?

Stigma pertama yang ingin saya bantah adalah anggapan bahwa masuk FIB itu gampang. Banyak yang berpikir bahwa FIB termasuk ke dalam golongan fakultas yang persaingannya tidak begitu ketat dan sedikit peminat. Oleh sebab itu, kemungkinan untuk dapat diterimanya pun menjadi tinggi.

Menurut saya, hal ini tidak sepenuhnya benar. Jika mengacu pada pengalaman saya, saya ingat bahwa saat saya mengikuti program SNMPTN 2020 lalu, saya ditolak oleh dua PTN. Tebak prodi apa yang saya pilih? Jawabannya: Sastra Inggris dan Sastra Indonesia—dua jurusan yang termasuk ke dalam lingkup FIB. Kemudian, karena saya masih tidak mau menyerah, saya lalu mengikuti program SBMPTN di tahun yang sama dan dengan memilih jurusan yang sama. Tebak apa hasilnya? Saya kembali ditolak. Barulah pada tes ujian masuk SIMAK UI, saya akhirnya mendapat lampu hijau dan diterima di jurusan Sastra Indonesia. Sebuah perjuangan yang cukup panjang, bukan?

Sebelum kalian berpikir bahwa saya adalah seorang pemuda yang otaknya nggak pinter-pinter amat (baca: goblog), izinkan saya mengatakan satu hal: yang merasakan pengalaman seperti itu bukan cuma saya seorang. Saya sempat berbincang-bincang dengan teman-teman lain yang menariknya, punya pengalaman serupa. Mereka bercerita bahwa meskipun telah mengikuti bimbel sejak SMA dan belajar dengan tekun demi bisa berkuliah di jurusan sastra, tetapi tetap saja mereka harus menempuh perjalanan yang banyak lika-likunya. Ditolak dulu di jalur undangan, lalu ditolak lagi di jalur SBMPTN, hingga akhirnya baru diterima di jalur mandiri.

Dari hal ini, kita dapat belajar bahwa untuk masuk ke FIB ternyata tidak semudah yang dibayangkan orang-orang. Memang, mungkin persaingannya tidak seketat Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum, ataupun fakultas-fakultas “bergengsi” lainnya, tetapi tetap saja, perjuangannya juga tidak semudah itu, Ferguso!

Baca halaman selanjutnya: Sulit mencari pekerjaan…

Sulit mencari pekerjaan

Anggapan kedua yang ingin saya tepis adalah pemikiran bahwa kami akan sulit mencari pekerjaan. Mungkin banyak orang di luar sana yang berpikir bahwa kami akan terus-terusan meminta uang dari orang tua dan yang dapat kami lakukan hanyalah menulis puisi-puisi romansa saja. Padahal, yang terjadi sebenarnya tidaklah seperti itu.

Selama menjadi mahasiswa Sastra, saya berkesempatan untuk merasakan pekerjaan-pekerjaan yang jujur, tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Sebagai contoh, pada semester lalu, saya sempat bekerja paruh waktu dengan menjadi pengajar Bahasa Indonesia di salah satu lembaga bimbel dan menjadi content writer di salah satu media online. Selain mendapatkan pengalaman, saya tentu juga mendapatkan tambahan uang jajan yang bagi saya jumlahnya lumayan.

Tidak hanya itu saja, saya juga pernah beberapa kali diberi kepercayaan untuk menjadi mitra tutur bagi orang-orang dari negara lain yang sedang mempelajari bahasa Indonesia. Lagi-lagi, saya tak cuma mendapatkan pengalaman berharga saja, tetapi juga pundi-pundi rupiah. Semua itu mustahil saya rasakan jika saya tidak menjadi “anak Sastra”. Saya tidak akan memperoleh pekerjaan-pekerjaan semacam itu tanpa ilmu yang didapatkan selama menjadi mahasiswa FIB.

Jadi, bagi kalian yang masih berpikir bahwa mahasiswa FIB sulit mencari pekerjaan, coba kalian pikir-pikir lagi, deh! Kerjaan kami bukan cuma nulis-nulis sajak buat gebetan doang, Bro!

Tidak berprospek

Masih cukup berkaitan dengan poin kedua, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa mahasiswa FIB tidak berprospek, alias tidak memiliki masa depan yang cerah dalam hal karier. Apa benar seperti itu?

Ya, tentu tidak, dong! Dosen saya pernah mengatakan bahwa tidak ada fakultas yang tidak berprospek. Semuanya memiliki prospek, asalkan mahasiswanya dapat menyerap semua ilmu dengan sebaik mungkin. Dengan kata lain, percuma jika kalian berkuliah di Hukum atau Kedokteran, tetapi kalian malah tidak mampu mencerna semua materi yang diberikan oleh pengajar. Sebab, pada akhirnya, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa.

Setelah lulus dari FIB, ada banyak sekali pekerjaan yang dapat kalian geluti dan masih berkaitan dengan apa yang dipelajari di perkuliahan. Beberapa di antaranya adalah menjadi peneliti linguistik, peneliti filologi, penerjemah bahasa asing, tenaga pengajar, content writer, copywriter, dan lain-lain. Atau, kalau mau yang betul-betul “sastra banget”, maka kalian dapat menekuni dunia tulis-menulis dan memilih profesi sebagai penyair, penulis novel, atau pencipta karya sastra jenis apa pun. Siapa tahu kalian dapat mengikuti jejak Aan Mansyur, Joko Pinurbo, dan sastrawan-sastrawan hebat lainnya, bukan?

Lalu, apabila berbicara perihal gaji, satu hal yang perlu diingat adalah kalian terlebih dahulu harus mampu melakukan pekerjaan tersebut dengan sebaik mungkin. Itulah yang paling penting. Jika sudah, yakinlah, honor yang diterima juga akan sama baiknya.

Lupakan stereotipe FIB

Pada intinya, saya hanya ingin mengatakan bahwa stereotipe-stereotipe semacam itu sejatinya sangatlah menyebalkan. Anggapan bahwa bahasa adalah suatu ilmu yang mudah dipelajari adalah hal yang sangat omong kosong bagi saya. Belum lagi pemikiran bahwa masuk FIB itu mudah, kemudian para mahasiswanya akan sulit mencari pekerjaan, tidak berprospek jelas, dan sebagainya. Setiap kali melihat ada orang yang berkata seperti itu, rasanya saya ingin menyumpal mulut mereka dengan buku-buku sastra. Makan tuh puisi!

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Betapa Tidak Enaknya Jadi Mahasiswa Sastra Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version