Pada hari Sabtu, (28/11) publik sepak bola Indonesia dibuat kecewa saat Bagus Kahfi gagal berkarier di FC Utrecht Belanda. Dilansir dari berbagai sumber, Barito Putra tidak memberikan restunya sampai detik-detik terakhir transfer pemain ditutup. Batalnya Bagus Kahfi berkarier di Eropa melengkapi wajah muram sepak Indonesia, setelah Liga 1 urung digelar karena aparat kepolisian tidak mengizinkan.
Kalau dilihat selama sepuluh tahun terakhir, tata kelola sepak bola kita selalu semrawut dan tidak jelas juntrungannya. Politisasi disinyalir menjadi penyebab utama dari mandeknya dunia sepak bola Indonesia. Ternyata kabut gelap sepak bola tidak hanya terjadi di level nasional, di level lokal setingkat desa kecamatan dan kabupaten pun sama gelapnya.
Saya mencoba mewawancarai teman yang profesi sampingannya adalah pesepak bola tarkam, sebut saja Okto Irwan (nama lapangan), pria 25 tahun itu sudah sejak SMP menekuni sepak bola. Sampai detik ini ia pun masih aktif menjadi pesepak bola tarkam. Di kampung saya, ia adalah salah satu sosok yang sukses menjadi pesepak bola dengan bayaran yang lumayan. Untuk tarif terendah saja satu kali main, ia bisa mengantongi Rp300.000 itu pun belum termasuk bonus kemenangan atau mencetak gol.
Namun, di balik manisnya bayaran itu ia menceritakan sulitnya menjadi pesepak bola profesional di Indonesia. Kendati sudah belasan tahun di dunia sepak bola dan sudah malang-melintang di banyak turnamen, tidak menjamin seseorang akan menjadi pesepak bola profesional yang bisa masuk Liga 1 atau Liga 2. Okto juga menyebutkan, dirinya sudah pernah mengikuti Liga 3 dan beberapa kali mengikuti seleksi tim-tim profesional tapi tetap saja tidak lolos.
“Seleksi masuk tim profesional itu kebanyakan harus punya orang dalam atau pelicin supaya lolos, tapi ada juga yang murni karena kemampuannya bisa lolos, cuma itu sedikit. Mungkin karena sudah rezekinya juga,” kata Okto.
Pernah sekali di sela-sela ngopi bareng, Okto pernah mengungkapkan kekecewaannya yang sangat mendalam. Misalnya saat liga pelajar yang dia ikuti, ketika itu ia pernah masuk nominasi pemain terbaik dan kabar itu sudah sampai ke telinganya. Namun, beberapa hari kemudian hasilnya berubah, tidak ada namanya di dalam catatan pemain terbaik itu. Mimpi untuk menjadi pemain profesional pun beberapa kali padam dan ia berusaha untuk menghidupkan kembali, sampai pada akhirnya Okto mengerti, bahwa sepak bola Indonesia memang sudah bermasalah sedari hulunya.
Setelah berkali-kali jatuh bangun meniti karier menjadi pesepak bola, tiba di mana Okto pun terkena hernia dan harus dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya. Inilah resiko berbahaya yang harus dihadapi oleh pemain bola tarkam. Tubuhnya tidak diberikan nutrisi secara serius, latihan-latihan yang benar, dan parahnya tidak ada yang menanggung biaya saat cedera seperti ini. Saya ingat betul malamnya Okto, saya, dan teman-teman lainnya sempat nongkrong bareng sebelum ia mendadak terkena hernia siang harinya.
Untuk melakukan operasi hernia, ia harus merogoh kocek pribadi sampai belasan juta. Setelah dioperasi ia pun harus beristirahat selama delapan bulan, sayangnya dia tidak menghitung berapa kali tarkaman yang dilewatkan selama masa istirahatnya. Setelah kembali ke lapangan hijau, tidak lantas mendapatkan ajakan main yang banyak, Okto harus recovery pelan-pelan sampai kondisi fisiknya benar-benar pulih dan itu semua dilakukannya secara mandiri.
Potret pesepak bola seperti Okto ini masih sangat banyak dan tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Walhasil, banyak talenta muda yang berada di desa-desa tidak terjaring dengan optimal. Persaingan yang tidak sehat dan sistem yang amburadul menjadi penyebab utamanya. Mimpi memajukan sepak bola Indonesia hanya didaur ulang terus menerus tanpa ada realisasi yang nyata, mirip dengan janji-janji politisi saat kampanye.
Paling banter bisa masuk piala Asia dan Piala Dunia karena jadi tuan rumah saja. Kalau ikut kualifikasi mungkin bisa lolos, tapi tidak tahu kapan. Apalagi mimpi pemain bola Indonesia bisa bersaing dengan pemain di Asia, itu mah kaya nyari jerami di tumpukan jarum. Eh, kebalik. Kaya nyari jarum di tumpukan jerami, susah banget. Bapak-bapak, ibu-ibu di PSSI jangan kebanyakan gimmick, mending langsung eksekusi, ingat PSSI bukan tempat obral janji.
Soal Bagus Kahfi, Okto mengungkapkan, “Kalau lihat story Instagram-nya miris sama manajeman Barito Putra, impian Bagus yang mau go international harus tertunda. Semoga ada hikmah dan rezeki yang besar ke depannya buat Bagus.”
Catatan: ketika artikel ini diturunkan, Bagus Kahfi akhirnya resmi berseragam FC Utrecht dengan durasi kontrak selama 18 bulan.
BACA JUGA 5 Tipe Orang yang Sering Ada Saat Gotong Royong dan tulisan Irvan Hidayat lainnya.