Dengan ini saya ingin memberi standing applause paling meriah se-Galaksi Andromeda kepada Bung Fiersa Besari, menyusul prestasi demi prestasi yang berhasil dia torehkan dalam beberapa waktu terakhir. Puncaknya adalah saat Bung Fiersa meraih penghargaan dalam ajang Billboard Indonesia Music Awards (BIMA) 2020. Acara yang digelar di Studio RCTI, kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (26/2/2020) malam tersebut mengeluarkan Fiersa Besari sebagai pemenang dari nominasi Top Male Singer of The Year. Jabat erat, Bung.
Saya merasa sangat perlu untuk mengacungkan empat jempol yang saya miliki sebagai bentuk apresiasi dan rasa salut saya kepada penyanyi yang juga menulis buku dan pendaki gunung itu. Pasalnya begini, saya termasuk satu dari beberapa orang yang tidak begitu menikmati karya-karya Bung Fiersa. Apapun itu, Boro-boro baca novelnya, tertarik buat megang pas kebetulan lagi di Togamas aja enggak. Perlakuan serupa juga saya terapkan terhadap karya-karyanya yang lain, katakanlah lagu-lagu yang dia ciptakan.
Entah kenapa di telinga saya, lagunya Bung Fiersa nggak ada estetis-estetisnya sama sekali. Yang ada malah terkesan aneh dan lebay. Dalam perkumpulan saya, nggak jarang kawan-kawan me-roasting siapapun yang kepergok dengerin “Celengan Rindu”, misalnya. “Celengan rindu apa bisa buat bayar UKT, ya?” Ya kayak gitu-gitu lah.
Atau ada juga yang secara ekspresif menutup telinga sambil kepanasan saat musik yang diputar di warung kopi tempat kami nongkrong terverifikasi berjudul “Waktu yang Salah”. Saya nggak tahu kenapa teman-teman saya bisa sebegitu alergi dengan lagu tersebut. Padahal lewat lagu itulah Bung Fiersa bisa berdiri di podium BIMA 2020, menghadap sorot kamera, mengangkat piala penghargaan sambil berujar, “Bu, saya masuk tivi, Bu.” Pada titik itu saya membayangkan, betapa haru dan bangganya ibunda Bang Fiersa saat menatap layar kaca.
Sejenak saya merenung, betapa sia-sianya waktu yang kami habiskan untuk mencerca Bung Fiersa. Betapa rutinitas tersebut amat sangat tidak produktif. Semakin sering kami menghujat Bung Fiersa toh nggak bikin kami jadi kaya raya setingkat Nia Ramadhani. Nggak bikin kami bisa ngangkat piala di hadapan jutaan pasang mata penonton RCTI. Seringnya kami me-roasting lagu atau quote-nya yang kami anggap sok bijak juga nggak serta merta bisa bantu kami nyelesaiin skripsi. Kami masih jalan di tempat, masih belum ngapai-ngapain, dan masih belum menghasilkan satu karyapun yang bisa bikin kami bilang “Bu, anakmu masuk tivi, Bu.”
Manakala kami masih sibuk mencari bahan roasting-an baru mengenai Bung Fiersa. Manakala kami masih sibuk melabeli bahwa, para pengagum senja adalah para fansnya yang laknat dan hina. Saat itulah Bung Fiersa sedang mempersiapkan banyak hal, bekerja lebih keras dari hari-hari sebelumnya, menempa diri, dan tidak berhenti untuk melangkah: tak pernah menyerah pada kata lelah.
Baik, sekarang mari kita bandingkan hasilnya. Apakah yang sudah kita dapat sajauh ini? Besar kemungkinan nihil belaka. Sisi lain, Bung Fiersa perlahan meninggalkan kita di belakang. Tren demi tren positif kemudian membawanya semakin jauh di depan. Agustus tahun lalu, nama Fiersa Besari didapuk mendampingi dua musisi besar sekelas Iwan Fals dan Once Mekel untuk mengisi original soundtrack film “Bumi Manusia” garapan Hanung Bramantyo. Berikutnya dia dipercaya Ernest Prakasa untuk melantuntan lagu “Pelukku untuk Pelikmu”, yang tidak lain adalah soundtrack film “Imperfect” yang rilis akhir tahun lalu.
Apakah cukup sampai di situ? Ternyata belum. Seminggu yang lalu, atau persisnya pada Rabu (19/02), Najwa Shihab selaku tuan rumah Mata Najwa mendaulat Bung Fiersa sebagai wakil anak muda untuk bicara dalam peringatan Satu Dekade Mata Najwa yang mengusung tema: “Indonesia Butuh Anak Muda.” Menyaksikan siaran itu, saya serasa digampar lima puluh lima kali gamparan tangan Deddy Corbuzier. Betapa tidak, sosok yang nggak pernah ada habisnya buat kami roasting, yang lagu-lagu dan quote-nya sering kami ketawain, malam itu dipercaya Mbak Nana buat bicara soal potensi anak muda. Parahnya, acara tersebut dihadiri oleh para pejabat dan tokoh-tokoh penting. Gilak!
Dalam dunia perbukuan, berapa banyak buku yang dia sumbangsihkan dalam pemajuan literasi kita? Banyak. Beberpa buku yang dia tulis antara lain: Catatan Juang, Garis Waktu, Konspirasi Alam Semesta, 11:11, Arah Langkah, Tapak Jejak, dan buku yang paling monumental: BUKU NIKAH. Sementara kami para komplotan yang bisanya cuma maki-maki, masih belum bisa nerbitin buku sebanyak itu, lebih-lebih buku yang terakhir. Haish ambyaaarrr.
Sekali lagi, saya ucapkan selamat kepada Bung Fiersa atas capaian-capaian prestisius sejauh ini. Bung Fiersa memang layak untuk mendapatkan semua itu. Oh ya, sebelum menulis ini, saya menyempatkan diri untuk mendengarkan dan meresapi beberapa lagu milik Bung Fiersa. Menuntaskan dari satu lagu ke lagu yang lain, utamanya yang paling digandrungi kawula muda. Oke, jujur, meski saya masih belum terlalu selera, tapi lagu-lagu Bung Fiersa sebenarnya nggak buruk-buruk amat. Nggak sehancur yang sering kawan-kawan omongkan. Atau malah jangan-jangan justru saya yang nggak ngerti soal musik? Sangat mungkin.
Kalau bicara soal selera, mungkin selera masing-masing orang berbeda, ya, satu sama lain. Tapi bukan berarti kalau nggak selara dengan lagu-lagu Bung Fiersa terus bikin kita sebegitu risihnya sama dia. Nggak gitu caranya. Bung Fiersa, dalam konteks ini saya rasa juga udah ngajarin kita sesuatu: bahwa cara menjawab cacian paling ampuh adalah dengan terus berkarya. Ars longa vita brevis. Karya seni itu abadi, hidup itu singkat. Sementara Bung Fiersa tengah mempersiapkan diri untuk menjadi abadi (berkarya), kita justru berkutat sama hal-hal cupu dan nggak penting (mencerca). Jenis kegiatan yang paling mungkin untuk bikin hidup dan mati kita sia-sia belaka.
BACA JUGA Anak Indie: Karib dengan Senja dan Kopi Sampai Promag dan Sarimi atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.