Sejarah Senggakan: Awalnya Pelengkap, Kini Jadi Menu Utama

Sejarah Senggakan: Awalnya Pelengkap, Kini Jadi Menu Utama

Sejarah Senggakan: Awalnya Pelengkap, Kini Jadi Menu Utama (Satab Ghana via Shutterstock)

Sejarah senggakan begitu panjang. Tak mengherankan jika ia begitu menyatu dengan masyarakat, dan mengalir dalam darah.

Berbicara ihwal senggakan, pandangan yang akan muncul selanjutnya ialah dangdut koplo. Barangkali masih terngiang lagu bertajuk “Pamer Bojo”. Dalam lagu ini terdapat senggakan “Cendol Dawet” yang begitu populer. Atau “ha’e ha’e ha’e ha’e” yang seringkali dijumpai di banyak lagu dangdut koplo. Lebih ke belakang lagi, misalnya “buka sitik jos!”. Senggakan ini juga karib digunakan dalam berbagai lagu dangdut koplo. Senggakan yang populer dewasa ini ialah “Tarik, Sis! Semongko!” serta “Tak sogok, tak sogok, Aaaaaa! Aaaaaa!”.

Konser NDX (Satab Ghana via Shutterstock.com)

Bagi masyarakat pecinta dangdut koplo, senggakan menjadi sebuah ornamen musikal yang sangat penting. Pasalnya, selain menambah keriangan sajian, juga menjadi sebuah “cambuk” untuk memantapkan goyangan. Misalnya “Buka sithik, Jos!”. Pada aksen “Jos!”, biduan akan menghentakkan pinggulnya dengan lihainya. Penonton pun akan bersorak mengikuti irama sembari berjoget. Ketika aksen “jos!” berbunyi, penonton akan turut menghentakkan bagian tubuhnya. Senggakan ini menjadi sebuah tampuk untuk memantapkan goyangan.

Sejarah senggakan

Kita akan mulai berbicara tentang sejarah senggakan. Senggakan dalam kultur musik Jawa kiranya sudah karib ditemui. Tidak hanya dalam dangdut koplo, sebelum itu, senggakan sudah menggema dalam karawitan. Misalnya, dalam karawitan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Senggakan sering tampak di berbagai gendhing, misalnya “Ha’e ha’e… Ooooo… Eeeeee!”. Selanjutnya, dalam Tari Gambyong Pareanom. Sembari bertepuk tangan, para gerong akan menyuarakan “Oeee… Oeeee… Ooooeeeeng!” di bagian-bagian tertentu.

Setelah itu, setiap kali gerong hendak melantunkan lagu bagiannya, senggakan “Sasolaheee!” akan terdendangkan. Dalam hal ini, senggakan menjadi sebuah ornamen gendhing yang mengisi ruang-ruang kosong. Juga, terkadang menjadi sebuah penanda terhadap akhir kalimat lagu. Dengan begitu, sajian gendhing menjadi rapat dan penuh; bahkan pada jembatan antarkalimat lagu.

Senggakan tak hanya milik karawitan saja, atau Surakarta dan Yogyakarta saja. Jika kita melihat sejarah senggakan, kita bisa menemui gaya tersebut di daerah lain. Dan kita akan bicara senggakan sejarah pada aliran musik lainnya.

Kemudian, senggakan pada kesenian Karawitan Banyumasan. Senggakan yang tampak pada Karawitan Banyumasan ialah, “Dowa lolo…Loiiiing!”. Senggakan ini menjadi yang paling umum digunakan dalam Karawitan Banyumasan. Dalam Kesenian Calung pun juga demikian. Menariknya, yang karib ditemui dalam dangdut koplo, yakni “Buka Sithik, Jos!” telah digunakan dalam kesenian ini. Penyajiannya juga sama laiknya pada dangdut koplo. Menurut Hastanto dalam Setiaji (2021: 116), “’Buka sithik, jos!’ sudah ada sejak tahun 70-an pada seni Calung Banyumasan”.

Senggakan dalam kultur musik Banyumasan sangatlah kaya. Pasalnya, masih terdapat banyak sekali senggakan. Misalnya, “ooo”, “eee”, “telululu”, “esod-esod”, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, periode penggunaan dalam sajian gendhingnya sangat pendek. Bahkan, dalam satu kalimat lagu dua hingga tiga kali dilantunkan. Kepadatan, keriangan, dan keenerjikan menjadi sebuah keunikan tersendir.

Kekayaan senggakan ini juga ditemui dalam kesenian jathilan. Apalagi, ketika sajian pertunjukannya berada dalam fase ndadi (kesurupan). Senggakan seperti “Ha’e… Ha’e…”, “Hokya…”, “Beh… Boh…Beh…”, “Slolololo…”, dan lain sebagainya. Pada fase ini, senggakan pada Kesenian Jathilan justru menjadi ornamen yang dominan. Tidak ada lagu, tidak ada nyanyian, yang ada hanyalah senggakan. Bermodalkan mengamati gerakan, mereka bisa menyesuaikan. Tentu, koridor musikalnya tetap dijunjung. Namun, dalam hal ini; agaknya senggakan melepas fungsi utamanya sebagai ornamen peramai. Justru mewujud menjadi sebuah sajian utama.

Jathilan (Faizal Afnan via Shutterstock.com)

Fenomena ini juga muncul pada campursari. Dalam berbagai karya campursari, senggakan yang digunakan tidak berbeda jauh dengan pada karawitan. Barangkali memang induk dari campursari memanglah gamelan, sehingga keidentikan juga ditemui. Namun, di sisi lain juga terdapat perbedaan dengan karawitan pada umumnya.

Pada campursari, seringkali terdapat senggakan yang menempel pada aksen kendhang laiknya senggakan Banyumasan. Dengan tempo yang tidak begitu cepat, dengan pilihan lagu yang sering kali sayu, dengan instrumentasi hybrid, serta aransemen yang tidak statis, campursari menghadirkan warna musikal baru. Ditambah, senggakan yang “malu-malu kucing” jika tidak boleh dikatakan nanggung. Campursari meleburkan senggakan karawitan yang dominan halus dengan Banyumasan yang terkesan energik.

Mutakhir, senggakan yang digunakan dalam musik dangdut, khususnya dangdut koplo. Perbedaannya, dalam dangdut koplo terdapat ketipung/kendang jaipong yang memberikan aksen-aksen di sepanjang lagu. Pada aksen-aksen tersebutlah, senggakan menempel. Selain itu, dalam dangdut koplo, begitu mendominasi di sepanjang lagu. Entah pada sela-sela kalimat lagu, di akhir kalimat lagu, bahkan ketika syair didendangkan.

Senggakan turut mempertebal kedudukannya. Alhasil, kesan padat dan penuh begitu terasa dalam sajian lagu. Dampaknya ialah melahirkan atmosfer riang (bahkan pada lagu yang berlirik melonkoli, patah hati, ataupun kehilangan) yang kemudian menuntun penonton untuk bergoyang. Terdapat nilai menarik dalam sisi kontekstualnya. Bahwa, senggakan turut memberikan sumbangsih dalam lagu. Keberadaannya turut menuntun penonton untuk merayakan kesedihan. Meskipun, dengan kemasan yang menentang aliran musik yang lebih populis di luar dangdut koplo.

Estetika

Senggakan menjadi sebuah ornamen musikal yang mewujudkan kesan ramai dari sebuah gendhing ataupun lagu. Lekas dari karawitan, kesenian tradisional, campursari, hingga dangdut koplo. Kehadirannya menjadi sebuah ornamen yang penting. Keberadaannya agaknya dibutuhkan. Jika diamati, senggakan sudah ada sejak lampau. Hingga kini, senggakan masih digunakan dalam berbagai lagu dengan kemasan yang selalu aktual.

Campursari (Ricky Kurniawan via Shutterstock.com)

Senggakan agaknya sudah menjadi habitus (kebiasaan melekat) masyarakat. Bahkan Michael (2013) menyebut bahwa hal tersebut menjadi sebuah identitas musikal hingga kultural. Hal ini dapat dirasakan senggakan tak muncul dalam karawitan, dangdut, dan campursari. Kiranya, terdapat “sesuatu” yang hilang dari sajian tersebut. Selain itu, dalam berbagai kesempatan saya sering melihat adanya respons penonton (entah itu karawitan ataupun campursari dan dangdut koplo) yang dengan refleks menyuarakan senggakan di bagian-bagian tertentu. Agaknya, senggakan sudah menubuh ke dalam diri masyarakat.

Menyatunya senggakan dan diri masyarakat tentu dipengaruhi oleh perjalanan historikal dari senggakan itu sendiri. Sering terdengarnya senggakan di berbagai gending dan lagu, membuat senggakan terekam ke dalam pikiran bawah sadar. Timbunan pengalaman musikal ini akan muncul ketika terpantik dengan sendirinya. Kiwari, senggakan tidak hanya menjadi ornament musikal saja. Melainkan mewujud menjadi sebuah estetika tersendiri. Senggakan menjadi sebuah cara menikmati sebuah musik. Hal ini membuat senggakan menjadi sebuah unsur musikal yang dinanti-nanti.

Melintas zaman

Sejarah senggakan yang panjang menunjukkan satu hal: bahwa ia sanggup dan sudah melintas zaman. Dari karawitan, lalu muncul di campursari, kini melengkapi dangdut koplo. Awalnya pelengkap, kini jadi menu utama. Kini, bisa dibilang, senggakan menyatu dengan masyarakat.

Senggakan menjadi sebuah bahasa musikal yang menyuratkan sebuah tempuhan. Dari para gerong yang duduk diam menuju ke penonton yang bergoyang. Kehadirannya menjajahi ingatan, jika tidak ada, akan dicari. Senggakan menjadi hal yang dibutuhkan. Pengukuhannya dapat dilacak dari gendhing dan lagu. Dari masa lampau hingga kiwari. Senggakan menjadi sebuah estetika yang menembus dan melintas zaman. Semoga abadi!

Penulis: Supriyadi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Dari ‘Buka Sitik Jos!’ hingga ‘Semongko’: Senggakan Adalah Unsur Penting Dangdut Koplo Jawa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version