Prabowo suka memaki dan ngomong kasar? Ya nggak papa, toh. Itu tandanya beliau orang yang cerdas, fleksibel, paham masalah, dan bisa jadi teman yang baik.
Saya sendiri suka ngomong kasar. Namun, dalam konteks dan situasi yang tepat. Makian, ketika digunakan dalam konteks dan situasi yang tepat, bisa jadi bumbu pertemanan yang asik. Obrolan menjadi cair dan pertemanan terasa semakin dekat.
Kalau makiannya masih menggunakan kata “jancok” atau “gundulmu” itu menggambarkan teman, dekat, tapi jarang ketemu. Kalau lebih akrab dan sering ketemu, misalnya ketika asik main PES atau FIFA, biasa terdengar makian, “Asu koe, Rul!” atau “Jingan koe, Rik!” atau “Babi koe, Mod!”. Makian itu untuk mengekspresikan kekesalan karena dicurangi ketika main game. Namun, konteksnya bercanda.
Terdengar kasar, tapi itu wujud rasa sayang kepada teman. Menunjukkan tidak ada sekat di antara kita. Oleh sebab itu, ketika Prabowo sering menggunakan kata atau istilah yang kasar, marah-marah di atas mimbar, saya sih malah suka.
Daftar Isi
Yang dilakukan Prabowo itu kan cuma ekspresi
Belum lama ini, setelah debat capres, Pak Prabowo marah-marah lagi. Dia menggunakan kata “goblok”. Saya tahu, kalau soal marah-marah sih biasa saja. Namun, kalau dibumbui dengan omongan kasar di depan ribuan massa, nah itu baru menarik.
Yang menarik bagi saya adalah diksi, pilihan kata yang digunakan oleh Prabowo. Beliau mencoba mengombinasikan antara intimidasi dan ice breaking. Kejadian kayak gini kan pernah terjadi dulu banget. Salah satunya adalah ketika menanggapi “kabar miring” soal kampanye akbar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
Jadi, banyak “elite” dan pemberitaan di luar sana yang menyebut kalau massa yang datang di kampanye akbar itu hanya 15 ribu orang saja. Nah, ketika kampanye di Pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang, Prabowo terbawa “suasana”.
Saking emosinya, bahkan beliau sampai menggunakan sebuah makian, yang bukannya menyeramkan, malah terdengar lucu. Jadi, Ketum Gerindra itu bilang begini: “Elite semua bohong, yang bilang di GBK 15 ribu orang matanya di dengkul!”
“Matanya di dengkul!” Sebuah makian yang justru terdengar lucu. Ini jenis makian yang satu cluster dengan “Mbahmu kiper!” dan “Dengkulmu mlocot!” yang kalau dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia menjadi jauh dari kata seram: “Nenekmu penjaga gawang!” dan “Lututmu terkelupas!”. Ini usaha yang perlu kamu hargai. Beliau tetap ingin terdengar tegas dan berani, tapi tetap gemoy. Ini sulit, lho.
Kreatif mencari makian yang pas dengan momennya
Untuk mengimbangi makian yang gemoy banget itu, Pak Prabowo menggunakan kata “bajingan”. Begini kalimatnya:
“Banyak antek-antek asing itu di Jakarta, bajingan itu. Eh, maaf, maaf, nggak boleh bicara kasar… Ini karena Wong Kito Galo ini. Tapi kalian mau dengar yang kasar apa yang benar? Kalau kalian mau dengar yang benar, memang bajingan mereka.”
Perhatikan, ini Pak Prabowo ingin menegaskan bahwa kebenaran itu memang pahit. Kalau memang bajingan, ya katakan bajingan. Nggak perlu ditutupi, nggak perlu pakai topeng. Lagian siapa sih para elite ini? Elite yang biasanya rapat, tapi bolos dan nggak menyelesaikan target RUU? BTW, Pak Prabowo termasuk elite nggak ya?
Ya nggak dong, Pak Prabs kan sedang memposisikan dirinya sebagai populist. Apa itu populist? Populist adalah orang, biasanya politikus, yang berusaha menarik simpati warga dengan menekankan keprihatinan karena sudah diabaikan oleh para elite yang sudah mapan.
Pak Prabowo mapan? Ya nggak, dong. Lha wong bayar gaji karyawan saja nggak bisa. Sudah begitu beliau cuma punya tanah 340 ribu hektar saja. Itu luasnya cuma kayak Provinsi Jogja. Kecil, kan, kayak UMR mereka yang melata jelata.
Ngomong kasar dan suka memaki itu bukan sesuatu yang buruk
Makian adalah indikator kecerdasan seseorang. Sebuah penelitian yang dilansir oleh washingtonpost.com menemukan bahwa orang yang suka memaki adalah orang yang cerdas. Kok bisa begitu?
Pertama, makian berkaitan dengan kayanya perbendaharaan kata seseorang. Kedua, paham betul dengan konteks lawan bicara. Ketiga, menunjukkan kepercayaan diri seseorang. Keempat, menunjukkan bahwa kamu orang yang fleksibel. Kelima, sadar dengan kondisi emosi diri sendiri. Keenam, lebih mudah menemukan solusi sebuah masalah.
Bagi politikus, makian menjadi sebuah kata yang tabu untuk diucapkan. Setidaknya itulah anggapan masyarakat luas. Sebagai tokoh masyarakat, citra diri menjadi terlalu penting. Yang sopan, yang santun, dianggap sebagai politikus yang lebih baik. Padahal di belakang korupsi berjamaah. Padahal katakan tidak, ternyata kok korupsi.
Oleh sebab itu, saya mau saja dimaki goblok dan dipimpin Prabowo. Dipimpin, lho, ya. Dipimpin kan nggak selalu harus jadi presiden. Ketua Kelas, Ketua RW, atau jadi Pak Dukuh kayaknya cocok juga buat Pak Prabs kalau kalah lagi dan lagi dan lagi di Pilpres.
Dipimpin Pak Dukuh yang tegas dan fleksibel kayaknya enak. Kalau ngobrol di warung kopi, sambil ngudud, kaki dinaikkan satu ke kursi, bisa sambil bertukar makian dengan manja.
“Wah Pak Dukuh, buajingan betul itu Si Irul. Disuruh ikut kerja bakti banyak alasan.”
“Ya sudah, biarin saja. Mungkin dengkulnya mlocot.”
Mesraaa~
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Memang Kenapa Kalau Prabowo Subianto Jadi Presiden Indonesia?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.