Saya datang dari planet bernama Bekasi. Lalu, saya mendarat di Semarang sebagai mahasiswa rantau. Perubahan sosial dan budaya menguji saya. Salah satunya adalah sarapan di Semarang dengan menu sate.
Awalnya saya pikir sarapan di Semarang dengan menu sate cuma lelucon anak kos. Maksud saya, siapa yang waras makan sate pukul 7 pagi?
Tapi beneran, di pojok kampus, pasar, atau gang pinggir jalan, penjual sate sudah buka sejak ayam baru melek. Aromanya menyapa lebih dulu ketimbang dosen di ruang kelas. Saya cuma bisa melongo sambil mikir, “Kok bisa, ya?”
Tiga pekan pertama saya tetap setia dengan roti sobek dan susu sapi murni. Tapi, godaan sarapan di Semarang dengan menu sate itu kayak mantan yang tiba-tiba rajin story: makin dihindari, makin terasa.
Akhirnya saya nyobain. Dan anehnya, saya suka. Lidah saya berkhianat. Sarapan di Semarang dengan menu sate ternyata nikmat juga. Dari situ saya sadar. Kadang, yang awalnya bikin bingung bisa berubah jadi candu asal mau mencoba dan sedang lapar.
Di Planet Bekasi, sate itu makanan malam. Titik
Sebagai warga Planet Bekasi, saya terbiasa melihat sate sebagai makanan yang hanya muncul setelah matahari tenggelam. Di sana, warung sate baru berasap ketika azan Magrib berkumandang.
Jadi, begitu melihat kultur sarapan di Semarang dengan menu sate, saya kaget bukan main. Rasanya kayak liat menyajikan Indomie di jamuan pernikahan. Nggak salah, tapi janggal.
Selain itu, budaya makan di Planet Bekasi punya semacam “aturan tak tertulis”. Pagi ya bubur, nasi uduk, atau lontong sayur. Siang baru agak fleksibel. Malam? Nah, baru deh saatnya sate, tongseng, atau segala yang dibakar dan berbumbu berat.
Logikanya sederhana: makanan berat = waktu istirahat. Sate bukan hanya soal rasa, tapi momen. Dan pagi hari bukanlah momen yang tepat menurut takdir perut Bekasi. Di sana, sarapan pakai sate itu selevel sama minum kopi panas sambil lari pagi. Bisa, tapi jelas tidak umum.
Butuh waktu untuk berdamai dengan kultur sarapan di Semarang dengan menu sate
Makanya, butuh waktu buat saya berdamai dengan kultur sarapan di Semarang dengan menu sate. Saya sempat mikir, jangan-jangan orang Semarang punya metabolisme berbeda.
Tapi, lama-lama saya paham. Ini bukan cuma soal perut, tapi (mungkin) soal budaya. Di Semarang, sate pagi adalah hal biasa. Seperti kedai kopi di Jakarta yang ketika pagi hari sudah buka. Ini semacam penanda bahwa setiap tempat punya “logika” kulinernya sendiri. Dan sebagai perantau, kita cuma punya dua pilihan, bertanya-tanya terus, atau mulai menikmati. Akhirnya saya sudah memilih yang kedua.
Dari bingung jadi rutin. Sate sekarang bagian dari pagi saya
Sekarang, untuk sarapan (tapi agak siangan) saya justru ngeburu-ngeburu tukang sate langganan. Bukan lagi untuk melongo, tapi untuk antre.
Kalau kesiangan dikit, ya siap-siap kecewa: habis. Saya jadi hafal ritme satenya di pasar. Mereka mulai bakar pukul 6, rame pukul 6:30, dan biasanya udah kelar sebelum pukul 8. Yang antre juga bukan cuma saya, tapi juga dosen, satpam, bahkan mbak-mbak fotokopi yang biasanya galak kalau pagi. Jadi, siapa bilang kultur sarapan di Semarang dengan menu sate itu aneh?
Yang paling lucu, saya pernah ditelepon ibu dari Bekasi dan dia nanya, “Kamu udah sarapan? Jangan cuma minum susu ya.” Dan saya jawab, “Tenang, Bu. Aku makan sate.”
Ibu saya langsung kaget. “Sate? Pagi-pagi?” Saya hanya bisa mengangguk pelan lewat suara, sambil nyengir di tengah warung.
Kadang saya membayangkan kalau kultur sarapan di Semarang dengan menu sate saya bawa ke grup WhatsApp keluarga. Mungkin bakal jadi polemik 2 hari 2 malam. Tapi, ya sudahlah, mereka belum paham.
Lama-lama saya sadar, culture shock itu kayak belajar bahasa baru. Awalnya aneh, lalu jadi biasa, kemudian jadi bagian dari diri.
Dan buat saya, sarapan di Semarang dengan menu sate adalah salah satu dialek yang sekarang sudah saya pahami. Rasanya bukan cuma soal daging dan sambal, tapi juga pelajaran penting bahwa sebagai perantau, kadang kita nggak harus ngotot bawa semua hal dari rumah.
Ada saatnya membuka diri, mencicipi, lalu jatuh cinta. Kadang cinta memang datang dari tusukan pertama.
Kalau bukan karena merantau, saya nggak akan tahu nikmat sarapan di Semarang dengan menu sate
Kadang saya mikir, kalau saya nggak merantau ke Semarang, mungkin hidup saya bakal tetap kaku dalam menu makan. Sate? Ya malam. Bubur? Ya pagi. Dunia terasa terkotak-kotak dan sudah diatur sejak orok.
Tapi ternyata, pindah kota bisa mengguncang segalanya, bahkan keyakinan soal jam makan. Dan anehnya, guncangan itu justru menyenangkan. Saya jadi belajar bahwa hidup itu bukan soal mempertahankan kebiasaan, tapi memberi ruang buat kemungkinan baru. Termasuk soal sate.
Nah, ini bukan cuma sarapan di Semarang dengan menu sate sebenarnya. Tapi, soal cara saya memandang dunia.
Dulu saya pikir, kalau sesuatu itu beda dari yang saya kenal, berarti aneh. Tapi ternyata, beda bukan berarti salah. Beda itu kadang cuma belum sempat kita kenali. Saya kira itulah pelajaran penting dari perantauan ini. Sarapan sate mungkin terdengar lucu di telinga orang Bekasi, tapi di Semarang, itu bagian dari denyut kehidupan.
Sekarang, sarapan di Semarang dengan menu sate bukan cuma mengunyah daging dan sambal. Saya juga menelan pelajaran tentang keterbukaan, kerendahan hati, dan kenikmatan yang datang dari hal-hal yang awalnya saya tolak mentah-mentah.
Siapa sangka, sebuah tusuk sate bisa jadi medium refleksi? Mungkin benar kata orang. Merantau itu bukan cuma soal pindah tempat, tapi soal memperluas perut, eh, perspektif.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Kuliner Asli Semarang yang Layak Dikenal Banyak Orang selain Lumpia
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















