Dunia internet tanah air (lagi-lagi) kalau nggak heboh nggak asik. Terbaru, heboh dengan kasus yang udah jadi makanan sehari-hari +62 people, yakni ribut-ribut masalah agama. Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) melayangkan protes kepada pemerintah untuk merevisi elemen desain logo HUT RI, terutama di bagian yang dianggap menyerupai salib.
Dilansir CNN Indonesia, Juru Bicara DSKS, Endro Sudarsono menegaskan bahwa seharusnya kemerdekaan itu tidak perlu mengedepankan simbol agama tertentu dan mempertentangkan SARA. Pihaknya juga tidak akan mempermasalahkan jika desain logo logo HUT RI digunakan masyarakat umum, tetapi karena menggunakan nama instansi pemerintah, pihaknya meminta direvisi. Ia juga telah mengirim surat kepada Pemerintah Kota Solo, Gubernur Jawa Tengah, Kementerian Sekretariat Negara, serta Presiden Joko Widodo.
Tanpa waktu lama, pihak istana langsung menanggapi protes ini. Menurut Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara, Setya Utama, logo HUT RI ini telah sesuai dengan pedoman visual penggunaan logo peringatan HUT ke-75. Ia menambahkan, pedoman ini menerangkan bahwa logo HUT RI merupakan “supergraphic” yang terdiri dari 10 elemen yang diambil dari dekonstruksi logo tersebut.
Yang menarik adalah ketika media-media mainstream memberitakan protes yang dilakukan oleh organisasi keagamaan ini. Seperti tipikal warganet Indonesia pada umumnya, kata-kata kasar banyak ditemukan di kolom komentar, entah di Facebook, Twitter, atau Instagram. Tidak sedikit kolom komentar dihujani oleh sindiran-sindiran terhadap agama orang yang melakukan protes, terlebih agama tersebut adalah agama mayoritas di negeri ini.
Titik perhatiannya justru adalah sindiran yang dilakukan warganet Indonesia terhadap agama dari yang bersangkutan, bukan dari perilaku pribadi orang/kelompok tersebut. Cacian terhadap agama yang bersangkutan menghujani kolom komentar. Hal ini serupa jika kita definisikan sebagai sebuah istilah, yakni generalisasi agama.
Tak berselang lama, saya menemukan berita baru ketika sedang berselancar di aplikasi Twitter saya. Posisinya persis hanya berdempetan sekitar lima twit dari twit berita perihal salib di logo HUT RI. Berita ini juga sedang hangat dibicarakan di dunia internet tanah airnya Oliver Kahn, yakni Jerman.
Seorang fans dari salah satu klub di liga Jerman, FC Koln, memutuskan untuk tidak memperpanjang kartu anggotanya. Alasannya, karena di jersey FC Koln ada siluet masjid. Dalam keterangan pemberhentiannya, ia menjelaskan bahwa FC Koln bukan lagi seperti klub sepak bola, tetapi sebuah organisasi keagamaan karena sudah memasang siluet masjid di jersey terbarunya.
Padahal, kalau dilihat-lihat, gambar siluet masjid di jersey tersebut sebenarnya nggak keliatan-keliatan amat. Selain siluetnya yang nggak gede-gede banget, warnanya juga nggak terang-terang amat. Saya pun harus nyari dengan waktu yang cukup lama di mana letak gambar siluet masjid yang ada di jersey tersebut. Itu pun ketemu karena di kolom komentar ada yang nge-spill. Selain itu, sebenarnya nggak cuma siluet masjid yang terpasang di jersey klub tersebut. Tetapi juga ada gambar markas dari FC Koln dan siluet gereja.
Hal tersebut pun ditanggapi dengan santai oleh manajemen FC Koln. Diposting melalui akun Twitter resmi mereka @fckoeln_en, manajemen klub menghargai dan berterima kasih atas saran yang diberikan oleh fansnya. Namun, mereka memilih bersikap bodo amat dengan kepergian fansnya tersebut. Sungguh jenaka.
Setelah selesai membaca berita per-jersey-an tersebut, pikiran saya kembali teringat oleh berita protes terhadap logo HUT RI. Kedua kasus ini sebenarnya serupa, yakni pihak yang merasa kecewa karena menduga kalau pihak lain yang dekat dengannya, memasang ornamen yang berseberangan dengan identitasnya. Yang menjadi perbedaan mungkin hanya identitasnya saja.
Sindiran terhadap agama dari pelaku—atau istilahnya tadi generalisasi agama—adalah hal yang saya sesali ada di masyarakat kita. Bagaimana lingkungan kolom komentar yang masih penuh dengan cacian dan makian yang objeknya adalah agama dari si pelaku, yang padahal, pernyataan mereka adalah murni sikap dari pribadi orang atau organisasi tersebut, bukan sebuah ajaran dari agamanya.
Saya—dan masyarakat kita—harusnya belajar bahwa generalisasi agama adalah sebuah hal yang keliru. Seperti kasus salib di logo HUT RI dan kasus siluet masjid di jersey klub Jerman. Kedua hal ini mengajarkan kita bahwa orang rewel sebenarnya ada di negara mana pun, dan dengan agama apa pun.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Pareidolia dan Dugaan Gambar Salib di Logo HUT RI atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.