Saatnya Kita Berhenti Glorifikasi Bandung dan Yogya secara Berlebihan

Saatnya Kita Berhenti Glorifikasi Bandung dan Yogya secara Berlebihan

Saatnya Kita Berhenti Glorifikasi Bandung dan Yogya secara Berlebihan (Edo Nugroho via Shutterstock.com)

Sebagai orang asli Bandung dan kuliah di Semarang, saya memiliki pandangan yang cukup kompleks mengenai dua kota yang sering kali diglorifikasi: Bandung dan Yogyakarta. Kedua kota tersebut memiliki catatan sejarah kebangsaan, makanya sampai hari ini masih menjadi salah dua primadona kota di Indonesia.

Selain itu, dari segi arsitektur, Bandung dan Yogya memiliki sejumlah bangunan yang bersejarah. Katakanlah Gedung Merdeka dan Jalan Asia Afrika di Bandung, dan Keraton di Yogya. Kalau di Bandung, bukan hanya bangunannya saja yang keren, cuacanya juga relatif dingin. Itu jadi nilai plus orang-orang terus mengunjungi Bandung. Untuk Yogya, agak berbeda. Tapi, masih bisa dimaklumi, lah.

Saya lahir dan besar di Bandung. Ketika kuliah, saya merantau ke Semarang. Perjalanan dari Semarang ke Yogya hanya dua sampai tiga jam menggunakan motor, dan saya cukup sering mengunjungi Yogya.

Jalan Layang Pasupati Bandung (Creativa Images/Shutterstock.com)

Bagi orang yang sudah lama di Bandung dan sering ke Yogya, saya kadang bertanya-tanya: kenapa sih kota ini sebegitunya diromantisisasi? Indonesia seperti kekurangan kota yang indah saja, Bandung dan Yogya terus-menerus diglorifikasi.

Saya tidak menampik kalau Bandung dan Yogya nyaman untuk dijadikan tempat tinggal, apalagi kalau dibandingkan dengan Jakarta. Tapi, meski begitu, dua kota yang sering kali dianggap menyuguhkan pengalaman romantisme itu banyak juga menyimpan busuk yang harus segera dibenahi.

Contoh konkret dari busuk itu adalah: di Bandung, ada geng motor yang meresahkan, sementara di Yogya tentu permasalahan klitih yang belum selesai.

Keindahan Bandung dan Yogya menjadi nihil apabila kota tersebut tidak bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Lebih dari itu, keamanan dan kenyamanan adalah hal paling fundamental yang harus dirasakan penduduk kota.

Memori kita masih hangat ketika beberapa pekan yang lalu ada seorang siswa SMA di Yogya harus meregang nyawa akibat serangan klitih. Ketika ada siswa SMA yang tewas, masa Sultan baru waswas? Pasalnya kasus klitih bukan hanya satu atau dua kali terjadi, itu sudah seperti catatan panjang kriminalitas di Yogya. Tapi, apa kabar tindak lanjut pemberantasannya?

Arit (Shutterstock.com)

Banyak teman saya kuliah di Yogya. Mereka mengabarkan bahwa keadaan sekitaran kampus menjadi cukup mencekam selepas kejadian anak SMA yang meninggal itu. Terjadi pemeriksaan di setiap sudut kota. Ketika mengetahui kenyataan tersebut, saya justru menjadi kesal, bagaimana mungkin penjagaan justru baru dilakukan ketika ada korban yang tewas?

Oke, itu baru Yogya. Sekarang Bandung. Kemarin, tanggal 22 April 2022, ada kasus sekumpulan anak muda mengeroyok pengguna jalan lain yang sedang melintas. Segerombolan anak muda itu menggunakan motor dan seenaknya memukuli pengendara motor lain tanpa sebab yang jelas.

Singkatnya, anak muda itu oleh netizen dikatakan sebagai: geng motor berkedok ormas. Video dan beritanya sudah tersebar. Bisa dilihat betapa mengerikannya anak muda yang pendek akal tersebut menyakiti seorang pengendara motor sampai terkapar di pinggir jalan.

Melihat video dan berita itu, saya jadi mengenang beberapa tahun yang lalu ketika geng motor sedang ramai-ramainya di Bandung. Sungguh menakutkan. Mereka bukan hanya bergerombol menggunakan motor yang knalpotnya bising, tapi juga tidak sungkan menikam atau menganiaya orang yang lewat yang tak bersalah.

Kasus klitih dan geng motor itu cukup menggambarkan bahwa keadaan kedua kota tersebut tidaklah seindah di media sosial. Bagi saya, karena dua kejahatan itu menyangkut nasib hidup individu dan keamanan masyarakat, maka tidak ada toleransi bagi pelakunya untuk ditangkap dan diadili.

Lebih dari itu, dua kasus itu cukup menjadi alasan untuk berhenti mengglorifikasi Bandung dan Yogya. Rasanya, meskipun keindahan yang ditawarkan begitu tinggi, ketika ada sejumlah tikus yang merusak pemandangan dan menjadi hama di sawah yang terhampar luas, keindahan itu menjadi tidak seberapa.

Bandung dan Yogya sama seperti kota lainnya, memiliki sinar yang terang pada satu sisi, dan memiliki ruang gelap di sisi lain. Walau begitu, Bandung dan Yogya sudah telanjur menjadi kota idaman banyak orang berkat pembangunan di berbagai sektor. Ukuran yang paling mudah adalah: dua kota tersebut merupakan kota pendidikan dan memiliki ekosistem seni-budaya yang cukup baik.

Jogja malam hari (Shutterstock.com)

Kalau Bandung dan Yogya terus-menerus diglorifikasi, khawatirnya permasalahan dan kejahatan yang timbul di permukaan justru tertutupi oleh tawaran romantisme yang semu. Sesekali, kita perlu galak terhadap realitas tersebut. Agar pemerintah dan penegak hukum sat-set-sat-set untuk mengusut tuntas, bukan malah menunggu adanya korban jiwa baru gerak cepat.

Oke, kalian pasti beropinin, kalau masih ada sisi baik, kenapa tidak fokus saja ke sisi baik itu? kenapa harus menggembar-gemborkan sisi buruknya? Akan saya coba jawab secara singkat.

Rasanya, tak lucu jika ada wisatawan yang (amit-amit, semoga tidak terjadi) terkena hal tidak menyenangkan, misal berurusan dengan geng atau klitih, padahal nggak salah apa-apa. Bayangkan jika itu terjadi, imbasnya tak main-main. Maka, keamanan dan rasa nyaman harus dijaga dengan MEMBERANTAS hal tersebut ke akarnya.

Glorifikasi berlebihan ini harus dihentikan. Sebab, orang jadi terbuai dan tak lagi melihat apa yang lebih penting ketimbang video drone yang menangkap indah lampu kota. Padahal, di kegelapan sana, bahaya yang mengancam nyawa mengintai.

Jika tak segera ditangani, efeknya ya orang jadi takut ke Bandung dan Yogya. Padahal, kota ini begitu indah. Harusnya, justru upaya menjaga keamanan dan kenyamanan makin kuat sebab kota-kota inilah yang selama ini dianggap ikon.

Semoga permasalahan geng dan klitih segera selesai. Nggak lucu juga kalau masalah ini nggak kelar-kelar hingga puluhan tahun ke depan. Dan, berhenti mengglorifikasi. Nggak capek apa?

Penulis: Akbar Malik Adi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jika Saya Jadi Gubernur DIY, Saya Siap Dimarah-marahi oleh Sultan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version