Dunia kesehatan negara kita kini tengah diramaikan RUU Kesehatan yang tergesa-gesa. Kemenkes telah sukses menggiring opini kedaruratan kekurangan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan kita menjadi upaya pembentukan RUU Kesehatan. Pokoknya, (katanya) demi transformasi kesehatan yang langgeng dan mumpuni.
Dilihat dari mana pun, kecepatan prosedur yang dilalui RUU Kesehatan ini sungguh mencurigakan. Mengapa begitu cepat? Apa alasannya?
Awal kegaduhan terjadi saat lima organisasi profesi kesehatan kompak menolak RUU ini pada 3 November 2022 lalu di aula Kantor IDI Kudus. Mulai dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia, PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), dan IBI (Ikatan Bidan Indonesia).
Begitu pula tanggapan dari Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris pada 28 November 2022 lalu ketika perwakilan organisasi kesehatan berdemo di depan gedung DPR, bahwa sampai hari tersebut, belum ada draf resmi dari RUU Kesehatan, beliau secara pribadi belum pernah membaca draft yang katanya telah beredar, dan memang tahapannya belum sampai sana. Saat itu, Wakil Ketua Baleg, M. Nurdin mengaku bahwa tahap yang berlangsung masih dalam penyusunan naskah akademik. Kelak, lewat naskah akademik, RUU akan disusun.
“Proses menuju draf RUU masih lama.” Terang Nurdin.
Daftar Isi
Komisi IX tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Kesehatan
Sebagai tambahan, pihak DPR Komisi IX dari Fraksi Demokrat, Lucy Kurniasari pada 19 Januari 2023 lalu telah menyatakan bahwa Komisi IX tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU Kesehatan, sebaliknya RUU tersebut hanya dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR saja. Bu Lucy juga menambahkan bahwa apa yang dilakukan Baleg ini persis seperti pembahasan RUU Cipta Kerja.
Simsalabim, tiba-tiba draf RUU ini begitu saja sudah ada di web DPR RI sejak 7 Februari 2023 lalu, Anda bisa melihatnya di sini. Siapa sebetulnya yang menyusun? Rapat dengar dengan siapa lagi? Lha jelas-jelas organisasi profesi menolak. Kesimpulan sementara, semua masih menjadi misteri.
Hal tersebut diamini oleh pengamat kebijakan publik, Chazali H. Situmorang pada 8 April 2023 kemarin. Katanya, dalam proses RDP (Rapat Dengar Pendapat), Baleg tidak punya draft atau konsep lengkap berupa naskah akademik, tetapi berupa pemberian pertanyaan dan mendiskusikannya. Bersamaan dengan itu, Pihak DPR tidak mengakui mengeluarkan draf tersebut, begitu pula dengan Kemenkes. Lah, terus siapa yang mengeluarkan draf itu?
Apakah draf itu berasal dari alien asal Mars yang mendukung kemajuan kesehatan Indonesia?
Mirip-mirip UU Cipta Kerja
Oke, kita reuni sejenak dengan RUU Cipta Kerja yang prosesnya juga secepat kilat di tahun 2020 lalu. Pada tanggal 20 Oktober 2019, istilah omnibus law pertama kali terdengar dari pidato pertama Presiden Jokowi. Desember 2019 Satgas RUU Cipta Kerja sudah dibentuk, dan Februari 2020, Presiden Jokowi mengirimkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR. April 2020, Baleg DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) dan menggelar rapat perdana. Simsalabim, pada Senin, 5 Oktober 2020, RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna DPR.
Yak, kalau UU Cipta Kerja sudah disahkan kurang dari satu tahun, bisa jadi RUU Kesehatan ini akan disahkan dalam enam bulan ke depan, mengingat publik sudah mendengar desas desus ini sejak November lalu. Konkret!
Mungkin, pihak Kemenkes melihat peluang dari penyusunan hingga pengesahan RUU Cipta Kerja yang sukses kemarin. Kalau RUU Cipta Kerja sukses, mengapa RUU Kesehatan tidak? Toh, mayoritas masyarakat rupanya setuju kalau upaya ini berkaitan dengan pengentasan dunia kesehatan kita yang serba kekurangan ini.
Apa itu asas keterbukaan dalam penyusunan undang-undang? Kalau terbuka malah bikin terhambat, buat apa?
Draf resmi diserahkan
Pada 10 Maret 2023 lalu, DPR secara resmi telah menyerahkan draf RUU Kesehatan kepada pemerintah, sebagai inisiatif DPR. Tahapan ini, secara resmi memulai proses partisipasi publik yang mana DPR dan pemerintah akan membuka masukan dan aspirasi seluas-luasnya kepada masyarakat melalui berbagai forum.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi menunjuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebagai koordinator wakil pemerintah untuk membahasnya bersama DPR, bersama menteri lainnya, yaitu Menristekdikti, Menpan-RB, Mendagri, Menkeu, dan Menkumham.
Saya coba cek di Instagram Kemenkes, terdapat beberapa konten yang mengarah pada pengumpulan Daftar Inventarisasi Masalah ini, pertama dengan judul Public Hearing RUU Kesehatan, yang terjadwal pada tanggal 16 dan 17 Maret 2023, kedua dengan judul Agenda Sosialisasi RUU Kesehatan pada tanggal 27 Maret sampai 31 Maret 2023. Ya, mungkin agenda sisanya memang sengaja Kemenkes tidak publikasikan.
Mantap, tanggal 5 April 2023 kemarin, Kemenkes menyerahkan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) kepada Komisi IX DPR, dengan 6.011 masukan, ditambah klaim bahwa 75% masukan masyarakat terakomodir. Kegiatan pengumpulan masukan yang digelar dari 13 Maret sampai 31 Maret 2023 lalu, terdiri atas 115 kegiatan partisipasi publik, dengan 1200 stakeholder diundang, dan 72 ribu peserta yang terdiri dari 5 ribu luring dan, 67 ribu daring.
Pada penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah kepada DPR tadi, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan bahwa Komisi IX DPR dan pemerintah telah menyepakati mekanisme rapat pembahasan tingkat 1 RUU Kesehatan, penyetujuan DIM, dan pembentukan Panja. Pembentukan Panja berasal dari pemerintah sebanyak 84 orang, dan dari Komisi IX DPR sebanyak 27 orang. Sekilas, jumlah dari pemerintah jauh lebih banyak.
Memangnya Undang-Undang sekarang nggak cukup?
Lewat semua yang serba cepat ini, Kemenkes menggadang-gadang bahwa enam transformasi kesehatan. Enam transformsi tersebut terdiri dari Transformasi Layanan Primer, Transformasi Layanan Rujukan, Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan, Transformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan, Transformasi SDM Kesehatan, dan Transformasi Teknologi Kesehatan, semua akan mulus dengan RUU ini.
Beragam tudingan-tudingan yang diarahkan ke Kemenkes seperti tidak adanya perlindungan terhadap dokter dan tenaga kesehatan dalam RUU Kesehatan, dan tudingan dokter asing yang membanjiri Indonesia akibat RUU Kesehatan, dengan lantang mereka labeli “hoax” lewat Instagramnya.
Kemenkes juga membuat konten-konten yang menjawab masalah kesehatan yang terjadi sekarang. Seperti solusi kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional, solusi terbatasnya akses kesehatan dasar, solusi inovasi teknologi kesehatan, sampai solusi peningkatan kapasitas rumah sakit.
Tidak lupa mereka kasih satu tagline di akhir postingan “Ayo Dukung RUU Kesehatan”.
Sebentar, memangnya Kemenkes perlu banget bikin RUU Kesehatan kalau solusinya cuma itu-itu saja? Emang Undang-Undang sekarang nggak cukup buat mengatasi semua masalah itu?
Tentu, saya sebagai penonton setia feed Instagram Kemenkes menjadi curiga. Agenda apa sih yang mau mereka lakukan sebenarnya?
Harusnya semua pihak digandeng
Sementara itu, pada minggu kedua April ini, media sosial saya tengah ramai dengan pembahasan mengenai RUU Kesehatan ini. Satu minggu ke belakang, saya sudah tergabung dalam beberapa grup WhatsApp. Penolakan yang ada terutama karena sembilan Undang-Undang terkait kesehatan yang sudah sah sebelumnya kelak akan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku jika RUU Kesehatan disahkan.
Pihak IDI juga menyoroti beberapa aturan yang berbahaya, menyangkut hak imunitas dokter, aturan mengenai dokter asing, surat rekomendasi, pemberlakuan STR seumur hidup, marginalisasi profesi, masalah anggaran kesehatan, sampai monopoli peran Kemenkes. Tentu hal tersebut didukung oleh penyusunan RUU Kesehatan yang tidak melibatkan organisasi profesi.
Saya sih heran, bukankah kalau mau melakukan Transformasi Kesehatan tadi, seharusnya pihak Kemenkes berusaha sebaik-baiknya menggandeng semua pihak? Tapi mengapa peran organisasi profesi yang sudah berpuluh-puluh tahun berkarya itu mereka coba singkirkan? Terbesit kemungkinan-kemungkinan perihal siapa yang diuntungkan mengenai pengesahan RUU ini.
Kini, mayoritas dokter tengah sigap dan kompak untuk menghentikan pembahasan RUU ini. Pokoknya jangan sampai naik ke pembahasan tingkat 1, apalagi ke pembahasan tingkat 2.
Kepentingan siapa yang diperjuangkan?
Saya sih, di tengah semua polemik ini, cuma ingat pernyataan Bambang Pacul, Pimpinan Komisi III DPR beberapa pekan lalu ketika membahas RUU Perampasan Aset yang disulut Mahfud MD.
“Republik di sini itu gampang Pak. Lobinya jangan di sini Pak. Korea-korea ini semua nurut sama Bosnya masing-masing.”
Nah, pekerjaan IDI adalah menemukan siapa bos sebenarnya dari polemik RUU Kesehatan ini. IDI harus lebih getol lagi mencari siapa pihak lain yang diuntungkan dari pengesahan RUU Kesehatan ini. Apakah murni rakyat Indonesia, atau ada lagi?
Memang, jawabannya harus sulit dan tidak bisa ditebak. Yah, namanya juga Negara Wakanda.
Penulis: Prima Ardiansah Surya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA A-Z Omnibus Law: Panduan Memahami Omnibus Law Secara Sederhana