Beberapa waktu lalu, seorang kulit hitam dari Amerika, bernama George Floyd membuka mata banyak orang bahwa rasisme itu masih ada. Hal tersebut berhembus ke seluruh dunia dan bahkan di Indonesia. Isu rasisme itu kemudian dihubungkan dengan persoalan rasisme terhadap orang Papua di Indonesia. Jika pertanyaan kenapa kemudian diajukan, jawaban paling umum yang paling sering ditemukan adalah kesamaan identitas kulit hitam dan diskriminasi dialami oleh orang Papualah yang muncul di depan muka.
Sebagai orang Flores yang juga berkulit hitam, saya ingin mengajukan suatu kenyataan yang saya alami untuk memperlihatkan bahwa persoalan rasisme terhadap orang Papua tidak bermain di persoalan kulit semata. Dia jauh lebih besar dari itu. Lebih dari itu, saya juga ingin memperlihatkan ketololan saya untuk menganggap diri saya sebagai orang yang katakanlah merasa berdiri paling depan untuk menolak rasisme itu sendiri.
“Anak, kau punya kulit tidak sehitam orang Papua”
Saya pernah mengalami rasisme. Entah itu di sekolah atau bahkan kehidupan sehari-hari. Serius. Waktu SD, saya pernah dipanggil Black Flores dan jujur kadang saya merasa itu bentuk superioritas karena disematkan pada orang yang jago kelahi—sebenarnya saya tak tahu kelahi, menang muka tua saja.
Panggilan itu—selain membawa rasa bangga bodok itu—juga membawa dampak lain. Itu beriringan dengan saya dianggap bodok dan kasar. Maka, jika ada perseteruan tertentu, jangan heran kami-kami orang ini yang dianggap mesti ditaruh di garda terdepan. Itu berkelindan dengan anggapan bahwa kami-kami orang ini dianggap bodok di kelas, jago di luar.
Setelah merefleksikan pengalaman-pengalaman itu, saya menjadi benci dengan kulit saya. Saya merasa saya ingin dihargai sebagai manusia dengan segala kapasitas saya. Bukan hanya dari kulit. Serius. Itu tidak enak ketika dari tampilan kulit, orang sudah bilang tahu bahwa kau punya sifat tertentu.
Untuk mengatasi itu, saya datang ke saya punya mama dan bertanya, “Mama ee, saya punya kulit hitam sekali ee?” Lalu saya punya mama menjawab, “Anak, kau punya kulit memang hitam, tapi kau tenang, kau tidak lebih hitam dari orang Papua. Kau punya rambut juga tidak sekeriting mereka.”
Saya punya mama punya jawaban itu saya dengar waktu saya SD. Ih, itu saya senang sekali dengarnya. Saya merasa lebih baik. Iya saya merasa lebih baik karena ada orang lebih buruk dari saya. BAYANGKAN! Bahkan sebagai sesama orang kulit hitam, saya merasa lebih baik. Dan, itu tidak terjadi sekali. Sumpah. Berikutnya, saya ceritakan lagi hal yang lebih buruk.
Saya teriak saya tidak rasis, tapi sebenarnya saya rasis
Seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar. Eh, saya punya mama punya perkataan tidak benar. Tidak boleh begitu. Sesama korban rasis, saya tidak boleh begitu. Makanya kemudian, saya dengan busung dada—karena su mulai sadar, biasa toh, bergaya dolo—bicara-bicara tentang rasisme. Itu tidak boleh lagi. Itu menyakitkan hati. Terus, saya mulai menyarankan ke teman-teman tidak boleh itu kamu orang bilang orang kasar atau jelek karena dia hitam. Kamu orang harus berteman dengan orang dengan warna kulit apa pun. Aduh Tuhan, pokoknya bangga sekali.
Lalu, tepat hari ini, saya baru saja mengikuti diskusi “Pandemi, Ketimpangan Kelas, dan Rasialisme”. Saya ikut ini diskusi karena saya punya kebanggaan sebagai orang yang tidak rasis. Lalu, ada satu pembahasan menarik dari diskusi ini. Sumpah, saya punya isi kepala terang benderang dengan satu pembahasan. Saya punya kepala macam ditoki untuk berpikir lagi. Pertanyaan ini kemudian saya ajukan ke diri saya sendiri.
Benar ke tidak ni saya ini tidak rasis? Cukupkah ke tidak ni saya punya tindakan selama ini?
Dari diskusi itu, ternyata saya tidak rasis, cuma saya gagal memahami rasisme yang ada. Lalu, ternyata saya punya tindakan selama ini—karena datang dari pemahaman yang tidak utuh—juga tidak cukup. Untuk perjelas ini pernyataan, saya mau kasih tahu dua konsep penting dalam diskusi tadi. Setelah itu, saya mau kasih tunjuk saya punya kebodohan sendiri. Lagi.
Tidak rasis dan anti-rasis
Salah satu konsep penting tadi itu adalah soal tidak rasis dan anti-rasis. Dua hal ini punya makna yang sangat berbeda. Tidak rasis itu merupakan pandang bahwa rasisme itu terjadi interpersonal. Atau, itu dari orang per orang. Sementara anti-rasis itu melihat rasisme itu terjadi secara struktural. Artinya, barang itu tereproduksi terus-terus, bahkan dalam candaan, dikonstruksi oleh pemerintah. Itu ju yang bikin dia jadi struktural. Jadi, di anti-rasis ini, rasisme dilihat sebagai fenomena struktural.
Terus, kalau begitu, dia punya masalah apa? Dia punya masalah ada di sikap tidak rasis ini. Sikap tidak rasis—yang menganggap persoalan rasis itu bermain di ranah interpersonal— ini menimbulkan sikap colorblindness atau tidak usah pandang kulit, pandang manusianya saja. Setiap orang berharga sebagai manusia. Ko itu bagus na, terus kenapa lai? Itu sudah dia punya masalah. Karena ini barang dilihat sebagai masalah antar-pribadi, kita orang sudah tidak bisa lihat ternyata rasisme itu juga sampai pada tataran diskriminasi sosial, ekonomi, bahkan budaya.
Serius. Aduh Tuhan, kadang saya tidak sadar, ternyata saya sering ketawa tentang koteka, sedangkan di satu sisi saya terima-terima atau ketawa-ketawa dengan teman Papua. Lalu, kadang, saya merasa teman-teman Papua itu miskin, makanya saya mesti ajak dia berteman. Kadang ju, saya merasa berteman dengan teman dari Papua, tapi tidak sadar ju saya bilang dalam hati, “Aduh, kenapa bau sekali ee.” Dan saya rasa, barang ini bukan hanya sikap personal saya. Ini saya tertawakan dengan teman-teman saya. Atau bahkan, teman-teman Flores saya.
Itu ju membuktikan, barang ini bukan soal masalah orang ke orang. Barang ini dikonstruksi dan diskriminasi ke orang Papua ni bukan hanya masalah personal atau masalah identitas kulit. Ini ju ada pada masalah EKONOMI, BUDAYA, dan SOSIAL.
Sumpah. Saya rasa bodok sekali ini. Saya memang tidak rasis. Tapi, tidak rasis itu tidak cukup. Saya mesti jadi anti-rasis, supaya saya tidak lihat ini barang persoalan personal. Apalagi merasa lebih baik sebagai orang Flores. Ini kemudian menjelaskan beberapa hal yang penting, Pertama, masalah Papua itu bukan hanya soal diskriminasi kulit ee. Kedua, sikap tidak rasis itu tidak pernah cukup. Kita mesti lihat ini sebagai barang struktural alias kita mesti jadi anti-rasis. Serius. Penting itu. Kadang ju kita tidak sadar dengan konstruksi begitu.
Sama itu lai. Kalau becanda yang ada rasisnya itu, kadang kita sering berkilah—ini ju saya dapat dari hasil diskusi tadi, “Eh, kan saya cuman becanda. Saya tidak ada maksud.” Mungkin kita su harus mulai berpikir begini. Jangan pikir intensinya ee. Kita harus pikir dampaknya ke orang itu. Karena mereka-mereka ju yang alami diskriminasi itu. Kita orang boleh ketawa, tapi mereka orang punya hati mungkin menangis di dalam sanubari.
BACA JUGA Papua Oh Papua dan tulisan Oktaviano N. G. lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.