Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Rasisme ke Orang Papua Terjadi Bukan karena Mereka Punya Kulit Hitam

Oktaviano N. G. oleh Oktaviano N. G.
15 Juni 2020
A A
orang papua

Rasisme ke Orang Papua Bukan Karena Mereka Punya Kulit Hitam

Share on FacebookShare on Twitter

Beberapa waktu lalu, seorang kulit hitam dari Amerika, bernama George Floyd membuka mata banyak orang bahwa rasisme itu masih ada. Hal tersebut berhembus ke seluruh dunia dan bahkan di Indonesia. Isu rasisme itu kemudian dihubungkan dengan persoalan rasisme terhadap orang Papua di Indonesia. Jika pertanyaan kenapa kemudian diajukan, jawaban paling umum yang paling sering ditemukan adalah kesamaan identitas kulit hitam dan diskriminasi dialami oleh orang Papualah yang muncul di depan muka.

Sebagai orang Flores yang juga berkulit hitam, saya ingin mengajukan suatu kenyataan yang saya alami untuk memperlihatkan bahwa persoalan rasisme terhadap orang Papua tidak bermain di persoalan kulit semata. Dia jauh lebih besar dari itu. Lebih dari itu, saya juga ingin memperlihatkan ketololan saya untuk menganggap diri saya sebagai orang yang katakanlah merasa berdiri paling depan untuk menolak rasisme itu sendiri.

“Anak, kau punya kulit tidak sehitam orang Papua”

Saya pernah mengalami rasisme. Entah itu di sekolah atau bahkan kehidupan sehari-hari. Serius. Waktu SD, saya pernah dipanggil Black Flores dan jujur kadang saya merasa itu bentuk superioritas karena disematkan pada orang yang jago kelahi—sebenarnya saya tak tahu kelahi, menang muka tua saja.

Panggilan itu—selain membawa rasa bangga bodok itu—juga membawa dampak lain. Itu beriringan dengan saya dianggap bodok dan kasar. Maka, jika ada perseteruan tertentu, jangan heran kami-kami orang ini yang dianggap mesti ditaruh di garda terdepan. Itu berkelindan dengan anggapan bahwa kami-kami orang ini dianggap bodok di kelas, jago di luar.

Setelah merefleksikan pengalaman-pengalaman itu, saya menjadi benci dengan kulit saya. Saya merasa saya ingin dihargai sebagai manusia dengan segala kapasitas saya. Bukan hanya dari kulit. Serius. Itu tidak enak ketika dari tampilan kulit, orang sudah bilang tahu bahwa kau punya sifat tertentu.

Untuk mengatasi itu, saya datang ke saya punya mama dan bertanya, “Mama ee, saya punya kulit hitam sekali ee?” Lalu saya punya mama menjawab, “Anak, kau punya kulit memang hitam, tapi kau tenang, kau tidak lebih hitam dari orang Papua. Kau punya rambut juga tidak sekeriting mereka.”

Saya punya mama punya jawaban itu saya dengar waktu saya SD. Ih, itu saya senang sekali dengarnya. Saya merasa lebih baik. Iya saya merasa lebih baik karena ada orang lebih buruk dari saya. BAYANGKAN! Bahkan sebagai sesama orang kulit hitam, saya merasa lebih baik. Dan, itu tidak terjadi sekali. Sumpah. Berikutnya, saya ceritakan lagi hal yang lebih buruk.

Saya teriak saya tidak rasis, tapi sebenarnya saya rasis

Seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar. Eh, saya punya mama punya perkataan tidak benar. Tidak boleh begitu. Sesama korban rasis, saya tidak boleh begitu. Makanya kemudian, saya dengan busung dada—karena su mulai sadar, biasa toh, bergaya dolo—bicara-bicara tentang rasisme. Itu tidak boleh lagi. Itu menyakitkan hati. Terus, saya mulai menyarankan ke teman-teman tidak boleh itu kamu orang bilang orang kasar atau jelek karena dia hitam. Kamu orang harus berteman dengan orang dengan warna kulit apa pun. Aduh Tuhan, pokoknya bangga sekali.

Baca Juga:

Sisi Gelap Kerja di Korea Selatan: Gaji Besar tapi Hak-hak Lain Tergadaikan  

Dosa Gubernur Jawa Timur pada Orang Madura: Rasisme Dibiarkan, Pendidikan Konsisten Rendah, Kemiskinan Tetap Tinggi!

Lalu, tepat hari ini, saya baru saja mengikuti diskusi “Pandemi, Ketimpangan Kelas, dan Rasialisme”. Saya ikut ini diskusi karena saya punya kebanggaan sebagai orang yang tidak rasis. Lalu, ada satu pembahasan menarik dari diskusi ini. Sumpah, saya punya isi kepala terang benderang dengan satu pembahasan. Saya punya kepala macam ditoki untuk berpikir lagi. Pertanyaan ini kemudian saya ajukan ke diri saya sendiri.

Benar ke tidak ni saya ini tidak rasis? Cukupkah ke tidak ni saya punya tindakan selama ini?

Dari diskusi itu, ternyata saya tidak rasis, cuma saya gagal memahami rasisme yang ada. Lalu, ternyata saya punya tindakan selama ini—karena datang dari pemahaman yang tidak utuh—juga tidak cukup. Untuk perjelas ini pernyataan, saya mau kasih tahu dua konsep penting dalam diskusi tadi. Setelah itu, saya mau kasih tunjuk saya punya kebodohan sendiri. Lagi.

Tidak rasis dan anti-rasis

Salah satu konsep penting tadi itu adalah soal tidak rasis dan anti-rasis. Dua hal ini punya makna yang sangat berbeda. Tidak rasis itu merupakan pandang bahwa rasisme itu terjadi interpersonal. Atau, itu dari orang per orang. Sementara anti-rasis itu melihat rasisme itu terjadi secara struktural. Artinya, barang itu tereproduksi terus-terus, bahkan dalam candaan, dikonstruksi oleh pemerintah. Itu ju yang bikin dia jadi struktural. Jadi, di anti-rasis ini, rasisme dilihat sebagai fenomena struktural.

Terus, kalau begitu, dia punya masalah apa? Dia punya masalah ada di sikap tidak rasis ini. Sikap tidak rasis—yang menganggap persoalan rasis itu bermain di ranah interpersonal— ini menimbulkan sikap colorblindness atau tidak usah pandang kulit, pandang manusianya saja. Setiap orang berharga sebagai manusia. Ko itu bagus na, terus kenapa lai? Itu sudah dia punya masalah. Karena ini barang dilihat sebagai masalah antar-pribadi, kita orang sudah tidak bisa lihat ternyata rasisme itu juga sampai pada tataran diskriminasi sosial, ekonomi, bahkan budaya.

Serius. Aduh Tuhan, kadang saya tidak sadar, ternyata saya sering ketawa tentang koteka, sedangkan di satu sisi saya terima-terima atau ketawa-ketawa dengan teman Papua. Lalu, kadang, saya merasa teman-teman Papua itu miskin, makanya saya mesti ajak dia berteman. Kadang ju, saya merasa berteman dengan teman dari Papua, tapi tidak sadar ju saya bilang dalam hati, “Aduh, kenapa bau sekali ee.” Dan saya rasa, barang ini bukan hanya sikap personal saya. Ini saya tertawakan dengan teman-teman saya. Atau bahkan, teman-teman Flores saya.

Itu ju membuktikan, barang ini bukan soal masalah orang ke orang. Barang ini dikonstruksi dan diskriminasi ke orang Papua ni bukan hanya masalah personal atau masalah identitas kulit. Ini ju ada pada masalah EKONOMI, BUDAYA, dan SOSIAL.

Sumpah. Saya rasa bodok sekali ini. Saya memang tidak rasis. Tapi, tidak rasis itu tidak cukup. Saya mesti jadi anti-rasis, supaya saya tidak lihat ini barang persoalan personal. Apalagi merasa lebih baik sebagai orang Flores. Ini kemudian menjelaskan beberapa hal yang penting, Pertama, masalah Papua itu bukan hanya soal diskriminasi kulit ee. Kedua, sikap tidak rasis itu tidak pernah cukup. Kita mesti lihat ini sebagai barang struktural alias kita mesti jadi anti-rasis. Serius. Penting itu. Kadang ju kita tidak sadar dengan konstruksi begitu.

Sama itu lai. Kalau becanda yang ada rasisnya itu, kadang kita sering berkilah—ini ju saya dapat dari hasil diskusi tadi, “Eh, kan saya cuman becanda. Saya tidak ada maksud.” Mungkin kita su harus mulai berpikir begini. Jangan pikir intensinya ee. Kita harus pikir dampaknya ke orang itu. Karena mereka-mereka ju yang alami diskriminasi itu. Kita orang boleh ketawa, tapi mereka orang punya hati mungkin menangis di dalam sanubari.

BACA JUGA Papua Oh Papua dan tulisan Oktaviano N. G. lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 16 Juni 2020 oleh

Tags: black live matterorang papuarasisme
Oktaviano N. G.

Oktaviano N. G.

Orang Manggarai diaspora yang tinggal di Makassar. Sekarang berkuliah di Universitas Hasanuddin, jurusan Hubungan Internasional. Menyukai fenomena HI yang muncul dalam kelokalan. Senang diajak berdiskusi filsafat maupun sastra.

ArtikelTerkait

Italia dan Ironinya: Marah Melihat Pizza Pakai Nanas, tapi Enteng Betul Bertindak Rasis

Italia dan Ironinya: Marah Melihat Pizza Pakai Nanas, tapi Enteng Betul Bertindak Rasis

22 Januari 2024
Percayalah, Hidup Kaum Minoritas Itu Sama Sekali Tidak Enak

Percayalah, Hidup Kaum Minoritas Itu Sama Sekali Tidak Enak

5 Januari 2023
Apa pun Kejahatan di Surabaya, Orang Madura Selalu Dijadikan Kambing Hitam jawa timur

Dosa Gubernur Jawa Timur pada Orang Madura: Rasisme Dibiarkan, Pendidikan Konsisten Rendah, Kemiskinan Tetap Tinggi!

25 September 2024
UEFA uang rasisme mojok

UEFA: Gercep Perkara Duit, Lambat Perkara Rasisme

22 April 2021
kronologi kematian tugu peringatan memorial kematian george floyd minneapolis mojok.co

8 Menit 46 Detik George Floyd Meregang Nyawa Adalah Sebuah Pengkhianatan

31 Mei 2020
TNI AU oknum rasis penganiayaan mojok

TNI AU Minta Maaf Pake Kata Oknum buat Anggotanya yang Rasis itu Udah Paling Bener

29 Juli 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

1 Desember 2025
Video Tukang Parkir Geledah Dasbor Motor di Parkiran Matos Malang Adalah Contoh Terbaik Betapa Problematik Profesi Ini parkir kampus tukang parkir resmi mawar preman pensiun tukang parkir kafe di malang surabaya, tukang parkir liar lahan parkir

Rebutan Lahan Parkir Itu Sama Tuanya dengan Umur Peradaban, dan Mungkin Akan Tetap Ada Hingga Kiamat

2 Desember 2025
Menambah Berat Badan Nyatanya Nggak Sesederhana Makan Banyak. Tantangannya Nggak Kalah Susah dengan Menurunkan Berat Badan

Menambah Berat Badan Nyatanya Nggak Sesederhana Makan Banyak. Tantangannya Nggak Kalah Susah dengan Menurunkan Berat Badan

29 November 2025
5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

2 Desember 2025
Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

2 Desember 2025
Angka Pengangguran di Karawang Tinggi dan Menjadi ironi Industri (Unsplash) Malang

Ketika Malang Sudah Menghadirkan TransJatim, Karawang Masih Santai-santai Saja, padahal Transum Adalah Hak Warga!

29 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.