Kata orang, cinta tak harus memiliki. Quote macam ini sering membuat saya senewen sebagai pejuang cinta. Ketika saya kadung cinta, pada akhirnya saya harus siap minggat. Ya, cinta saya pada kampung Tamansari harus bertepuk sebelah tangan. Tidak akan bisa memiliki, karena setiap saat pasti disuruh minggat.
Jika Anda mengenal Tamansari Jogja, pasti tidak kaget dengan kata minggat. Tamansari memang tidak bisa dimiliki kecuali oleh Sultan. Ya maklum, kompleks istana air ini memang bagian dari Sultan Ground. Tapi siapa sih yang tidak terpukau dengan keindahannya? Yang pernah mengunjungi pasti ingin menetap. Yah kalau belum melihat sisi lain kampung yang dijuluki Bohemian-nya Jogja sih.
Tamansari bukan kampung besar. Dan berada di salah satu kecamatan tersempit di Indonesia: Kecamatan Kraton. Tapi, kampung ini punya jutaan kisah. Kampung ini menjadi tanur para seniman. Juga menjadi area “hitam” dengan aktivitas liarnya. Dan semua disempurnakan dengan status Sultan Ground tadi.
Daftar Isi
Bohemian Rhapsody di Tanah Monarki
Kampung Tamansari memang kampung seniman. Bahkan sempat menjadi sentra batik di Jogja. Salah satu ciri khas batik Tamansari adalah batik lukis. Bukan batik bermotif menjemukan, tapi batik bagaikan lukisan yang dipajang di hotel mewah.
Tapi di balik nuansa nyeni itu, kampung Tamansari juga dikenal sebagai daerah hitam. Sudah jadi rahasia umum jika sering terjadi penangkapan bandar narkoba di Tamansari. Yah namanya juga bohemian. Banyak yang mengenal Tamansari dari aktivitas liar macam narkoba dan sebagainya. Bahkan saya sempat dilarang keluarga untuk main bersama tetangga. Takut saya terjebak dalam dunia itu.
Beruntungnya sih, hal hitam di Tamansari bukan semacam maling atau perampok. Tapi memang bagaikan konsep bohemian, di mana kebebasan yang berkuasa.
Sebenarnya tidak semua warga Tamansari itu “hitam”. Toh salah satu RW di Tamansari sempat menjadi Kampung Cyber dan didukung Mark Zuckerberg. Banyak pula cendekia dan pastinya seniman yang lahir atau tumbuh di sana. Tapi stigma daerah hitam ini sudah terlanjut tertanam. Stigma kenakalan yang tertanam pada wilayah Sultan Ground ini. Kampung yang tak pernah bisa dimiliki warganya.
Oh iya, tinggal di Tamansari berarti jadi “orang asing” di rumah sendiri. Kok bisa?
Baca halaman selanjutnya
Turis di halaman rumah sendiri
Kami bukanlah pemilik Tamansari
Kalian tahu siapa pemilik Tamansari selain Sultan? Betul, wisatawan. Warga sekitar sering (terpaksa) mengalah pada rombongan turis ini. Mereka bebas melenggang kangkung dan memenuhi jalan. Ya kami harus melipir atau ikut berdesakan demi sekadar masuk rumah.
Belum lagi perkara keusilan wisatawan. Jika Anda gemar menanam bunga indah, mending simpan di dalam kamar. Tidak perlu menunggu lama sampai bunga itu dipetik seenaknya demi foto selfie yang norak. Selama barang Anda tidak berada dalam rumah, semua jadi milik wisatawan. Kursi, meja, sampai jok motor menjadi buruan mereka. Apalagi kampung Tamansari adalah daerah padat penduduk. Tidak ada pagar yang bisa membatasi wisatawan dari properti warga.
Apalagi saat area Tamansari masih menjadi pasar hewan peliharaan, terutama merpati. Demi masuk rumah saja, Anda harus kebal menghadapi tatapan nanar para pengunjung. Sekarang sih lebih lengang. Tapi tetap saja kami mengalah pada wisatawan.
Sering kali warga bersitegang dengan para wisatawan. Saya pribadi termasuk langganan. Entah kenapa rumah eyang saya di Tamansari menarik untuk dilempari batu. Entah berapa puluh orang yang saya maki-maki, dan berapa yang sampai saya hajar. Akhirnya saya memutuskan tinggal di rumah pribadi karena muak.
Setiap saat bisa jadi perpisahan
Tapi konflik dengan wisatawan bukanlah hal paling nggak enak dari tinggal di Tamansari. Yang paling nyesek adalah kenyataan bahwa kami harus siap digusur kapan saja. Status Sultan Ground membuat kami tak lebih dari penumpang dan tidak punya hak banding ketika digusur. Anda bisa memahami tentang konflik ini di artikel saya yang lain.
Dan ini sangat menyedihkan. Semua ikatan emosional pada kampung tempat Anda tumbuh harus dihantui penggusuran. Bahkan sebelum itu terjadi, kami sudah waswas tiap hari. Karena penggusuran itu sudah makin pasti semenjak kabar renovasi kompleks Tamansari makin santer terdengar.
Kalau perkara jalan kampung yang ruwet, akses sempit, tetangga reseh, atau masalah “hitam” tadi, saya masih bisa menikmati. Tapi kalau masalah penggusuran ini, saya masih tidak rela. Saya pikir setiap anak yang lahir di Tamansari akan kuat ditinggal rabi. Karena sejak lahir kami sudah ditakdirkan patah hati, mencintai sesuatu yang tak akan pernah dimiliki. Membayangkan memiliki saja, tidak.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bolehkah Kami Hidup Tenang di Sultan Ground Jogja?