Pesantren Saya dan Keluarga Tak Kasat Mata yang Meneror tiap Malam Ganjil

Bahkan Deddy Corbuzier dan Romi Rafael pun Skeptis dengan Hal Gaib tidak percaya santet hipnotis gendam hantu penampakan horor terminal mojok.co

Bahkan Deddy Corbuzier dan Romi Rafael pun Skeptis dengan Hal Gaib tidak percaya santet hipnotis gendam hantu penampakan horor terminal mojok.co

Sudah menjadi rahasia umum kalau di balik nuansa pesantren yang agamis, terselip juga kisah-kisah mistis yang hampir semua penghuni pesantren pernah mengalaminya. Dalam hal ini, tentu saya bukan satu pengecualian. Cerita ini saya alami enam tahun yang lalu, menjelang memasuki tahun kedua di pesantren.

Sejak pertama kali mendaftar di pesantren, oleh pengurus saya ditempatkan di sebuah kamar yang letaknya paling pojok lantai dua. Untuk ukuran saya, ditambah tiga kawan lainnya, kamar tersebut rasa-rasanya terlalu luas. Dibanding dengan kamar-kamar lain yang tiga orang saja sudah berdesakan.

Dari semula saya menempati kamar tersebut, saya memang merasakan hawa-hawa yang nggak enak. Tapi saya mencoba menepis dengan berusaha berpikir positif, “Ah, paling-paling cuma aku aja yang parno,” begitu upaya saya menyugesti diri.

Desas-desus mengenai keangkeran kamar yang saya huni baru saya dengar beberapa minggu kemudian. Nggak secara gamblang, tapi saya mencoba mengait-ngaitkan sendiri kepingan puzzle dari beberapa alumni yang kebetulan singgah.

“Loh, ruang itu ada yang nempatin sekarang?” tanya salah seorang alumni kepada Kepala Pengurus yang tanpa sengaja saya curi dengar. “Iya, habis nggak ada kamar kosong layak huni lagi selain ruang itu. Lagi pula sejauh ini nggak ada hal-hal aneh, kok.” Mendengar jawaban Kepala Pengurus, mak tratap rasanya hati saya. Hal aneh apa yang Kepala Pengurus maksudkan?

Kali lain saya juga sempat mencuri dengar percakapan antara Kepala Pengurus dengan salah seorang pengajar di pesantren. “Kang, apa nggak sebaiknya dinetralisir dulu kamar pojokan itu?” desak si pengajar. Kamar pojokan yang dimaksud tidak lain adalah kamar yang selama ini saya tempati. “Hmmm, sudah kok, Kang. Sebelum dijadikan kamar, ruang itu sudah sempat saya ruqyah.” Seketika saya tercekat, tubuh saya mendadak panas dingin. Ya karena pada dasarnya saya emang cupu soal beginian.

Sampai tibalah masa liburan, dan kengerian itu untuk pertama kalinya saya sendiri yang mengalami.

Di masa-masa liburan, lebih dari separuh penghuni pesantren pasti lebih memilih pulang. Sementara sisanya, beberapa memilih tinggal dan beberapa lainnya biasanya bakal menghabiskan masa liburan mereka dengan melancong ke beberapa tempat.

Saya adalah satu dari sekian santri yang memilih bertahan di pesantren. Dari empat penghuni kamar, hanya saya saja yang tersisa. Dan itu artinya, selama masa liburan saya bakal mendiami kamar yang katanya “sudah di-ruqyah” itu seorang diri. Saya sebenarnya takut belaka. Tapi sebagai santri yang hampir setiap hari ngaji, masa iya sama lelembut aja takut? Harusnya si lelembut yang keder sama saya.

Malam pertama saya tidur di kamar sendirian berjalan biasa saja, nggak ada yang aneh. Begitu juga dengan malam kedua, ketiga, keempat, dan pada malam kelima inilah awal mula saya mendapat teror demi teror dari bangsa lelembut.

Pada malam kelima, saya tergeragap bangun oleh rintihan seorang perempuan. Saya sebisa mungkin mengusir jauh-jauh perasaan takut yang diam-diam sudah menyergap tubuh saya. Tubuh saya gemetar, keringat dingin mulai bercucuran.

Lantaran semakin ke sini rintihan itu semakin mengusik, saya pun akhirnya memberanikan diri untuk membuka mata. Lantas apa yang saya saksikan? Sumpah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ada seorang perempuan dengan rambut panjang terurai tanpa lengan sedang berdiri terpekur di depan pintu kamar.

Tubuh saya seketika mati rasa, saya nggak bisa ngapa-ngapain selain cuma memejamkan mata sambil terus membaca ayat-ayat suci dalam hati. Nggak lama berselang, perempuan itu hilang dari pandangan. Entah raib ke mana saya nggak mau tahu.

Tadinya saya mengira itu hanyalah mimpi buruk, karena di malam keenam pun nyatanya nggak ada apa pun yang terjadi lagi. Nggak ada drama susulan.

Barulah di malam ketujuh, saya kembali mendapat teror. Namun, kali ini lain lagi sosoknya, bukan perempuan tanpa lengan yang merintih-rintih sebelumnya.

Tengah malam saya terbangun oleh suara bising yang aneh, perpaduan antara tawa anak kecil, cericit hewan, dan suara hentakan kaki. Perlahan  saya membuka mata, samar-samar di atas blandar (balok ring) saya melihat ada bayangan tubuh melompat-lompat.

Menyadari ada yang ganjil, saya langsung mengucek-ucek mata saya dengan kasar supaya saya bisa melihat sedikit lebih jernih. Dan benar saja, di atas blandar ada dua anak laki-laki tanpa busana berlompatan ke sana kemari. Nggak hanya itu, saya juga melihat ada seekor monyet kurus sedang bergelayut di sudut lain. Mereka kemudian menghilang begitu saja setelah melambaikan tangan ke arah saya dengan seringai yang mengerikan.

Merasa nggak nyaman, esok harinya saya pun memberanikan diri melapor kepada Kepala Pengurus. “Nanti saya urus. Kamu yang penting baca doa sebelum tidur,” respon Kepala Pengurus setelah panjang lebar saya menceritakan teror demi teror yang saya alami. “Dan coba sebelum tidur ambil wudu dulu. Insya Allah nggak ada yang ganggu.”

Barangkali benar apa kata Kepala Pengurus, harus rajin baca doa dan ambil wudu dulu sebelum tidur biar nggak diganggu lagi. Saya memang sering kelupaan untuk hal satu ini. Saya kalau tidur nggak pernah ada aba-aba. Pokoknya tiba-tiba tidur gitu aja. Nampaknya kebiasaan ini harus saya ubah kalau nggak mau ngulangin kejadian malam-malam ganjil sebelumnya.

Saran dari Kepala Pengurus saya laksanakan, dan setidaknya cukup membuahkan hasil karena di malam ke delapan ternyata saya nggak mengalami gangguan apa pun.

Namun doa dan wudu itu nggak bereaksi sama sekali ketika menginjak malam kesembilan. Di malam kesembilan jauh lebih ngeri lagi ceritanya. Saya yang tertidur lelap tiba-tiba terbangun karena mencium aroma busuk menguar di dalam kamar. Nggak hanya itu, saya juga merasakan hawa dingin yang sangat menusuk. Saya juga menangkap suara eraman pria dewasa dari pojok ruangan.

Karena sudah nggak tahan, saya akhirnya berinisatif bangun dan sekuat tenaga berlari keluar meninggalkan kamar. Nggak ada pilihan lain, setan-setan di kamar ini sudah sangat keterlaluan.

Namun tinggal beberapa jengkal saja sampai di pintu, saya merasakan sebuah lengan besar mencekeram kaos saya dari belakang. Sesaat kemudian tubuh saya dihempaskan begitu saja. Saya terbaring tanpa daya, tubuh saya lagi-lagi hanya membatu.

Selanjutnya, saya merasakan sesak luar biasa persis di bagian ulu hati. Kalian tahu kenapa? Ada sesosok hitam tinggi besar menginjakkan kaki kanannya di ulu hati saya. Sesaat saya kesulitan bernafas dan hanya mampu melafalkan surah-surah pendek yang saya hafal dalam hati, termasuk ayat kursi yang saya dengungkan berulang-ulang,

Tak berselang lama makhluk itu menghilang. Dan saya terbangun kembali saat hari sudah beranjak pagi.

Setelah kejadian malam-malam ganjil itu tanpa pikir panjang saya memutuskan pindah kamar. Tentu setelah sebelumnya berdiskusi dengan Kepala Pengurus. Dari pengakuan Kepala Pengurus saya memperoleh informasi, bahwa kamar yang sekarang saya huni dulunya adalah gudang yang sudah lama nggak terpakai.

Sampai suatu hari, salah seorang santri (sudah alumni) mencium aroma amis menyengat ketika melintas di depan gudang tersebut. Karena penasaran, dia bersama Kepala Pengurus dan beberapa ustaz yang lain lantas bergegas membuka gembok yang menyegel pintu.

“Kami melihat ada seorang perempuan ditemani lelaki tinggi besar sedang menggendong sepasang bayi kembar,” ungkap Kepala Pengurus. “Bau amis menyengat itu ternyata berasal dari leleran darah yang memenuhi lantai ruangan. Ya, sepertinya perempuan itu baru saja melahirkan.” Kesimpulannya, jauh sebelum saya, gudang yang sekarang dijadikan kamar tersebut sudah lebih dulu ditempati oleh keluarga besar bangsa lelembut. Mereka mungkin sedikit terganggu dengan keberadaan saya di kamar bekas gudang tersebut.

“Lalu Kang, kalau monyet itu, sampeyan tahu dari mana asalnya?” tanya saya penasaran. Kepala Pengurus mengernyitkan dahi untuk selanjutnya berujar, “Kalau itu, sepertinya anggota keluarga baru.”

Begitulah kemudian saya memutuskan untuk pindah kamar. Sampai suatu hari—satu bulan pasca kejadian—salah satu kawan saya yang masih jadi penghuni kamar bekas gudang tersebut mendatangi saya dengan wajah pias. “Aku tahu kenapa sampeyan pindah, Kang,” ucapnya datar. “Dua malam yang lalu, ketika saya tidur, saya didatangi sesosok pocong.” Saya terkejut, dan dalam hati saya membatin: ternyata tambah satu anggota keluarga lagi.

BACA JUGA Kok Bisa Sih Takut Sama Pocong? Dia Kan Cuma Hantu yang Pengin Dibukain Talinya Doang dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version