Persoalan gender masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Hal ini disebabkan oleh pandangan umum masyarakat mengenai gender. Setiap perempuan dididik untuk berperilaku halus, sopan, elegan, ora cuwawakan, dan anggun mempesona. Sedangkan laki-laki diharapkan untuk menjadi sosok yang tegas, pemberani, tidak cengeng dan dominan.
Pandangan umum tentang gender inilah yang menyebabkan tuntutan-tuntutan yang dihadapi oleh masing-masing orang, entah itu laki-laki ataupun perempuan. Setidaknya, tema besar inilah yang menjadi keluh kesah salah satu penulis di Terminal Mojok dengan artikel berjudul “Jadi Perempuan Sulit? Maaf, Jadi Pria Juga Ada Kalanya Sulit, Nona” yang ditulis oleh mas Sigit Candra Lesmana tertanggal 02 Oktober 2020. Tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankanlah saya untuk menanggapi pandangan yang blio tawarkan.
Saya ingin memberikan pandangan sesuai dengan perspektif yang blio ambil, yaitu sisi maskulinitas pada laki-laki dan pandangan umum masyarakat yang melekat padanya. Gagasan tentang maskulinitas memuat nilai-nilai sosial yang dilekatkan atau diidentikkan dengan laki-laki, seperti bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku. Stigma yang dilekatkan pada identitas laki-laki ini menciptakan ekspektasi berlebihan mengenai bagaimana laki-laki harus menyesuaikan diri dengan pandangan umum masyarakat.
Dalam artikel tersebut bisa dirasakan sambatnya seorang laki-laki dalam menghadapi berbagai tuntutan dalam masyarakat yang mengharuskan bahwa laki-laki harus kuat, tegar, dominan dan tidak cengeng. Namun, sambatannya ini justru yang membuat gagasannya menjadi kontradiktif.
Bagaimana bisa? Dari narasi yang dia buat ini memuat unsur kekuatan di satu sisi, yakni pandangannya yang mengkritik pemaksaan maskulinitas pada laki-laki. Namun, di lain sisi memuat unsur kelemahan, yakni memilih untuk tunduk pada pandangan maskulinitas tersebut. Maka, sambatnya ini tidak bisa mengubah keadaan dirinya sendiri.
Mas Sigit ini sadar pada tidak sehatnya pandangan umum masyarakat mengenai maskulinitas, namun tetap tidak berpengaruh pada realisasinya sendiri. Blio tidak merealisasikannya namun justru beradaptasi dengan pandangan maskulinitas yang dikritiknya itu.
Di sini blio memosisikan laki-laki sebagai objek masyarakat, bukan sebagai subjek atas dirinya sendiri. Seolah-olah laki-laki tidak memiliki kehendak yang rasional untuk melakukan apa yang dia inginkan karena takut pada persepsi umum yang ada.
Lalu apa akibatnya jika kita tunduk pada persepsi umum mengenai maskulinitas tersebut? Kalau yang tidak kuat namun tetap memaksakan identitas laki-laki untuk tetap berada pada dirinya sendiri, jatuhnya toxic, Mas.
Jika sudah toxic, kita akan berusaha memaksakan atribut laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat patriarki. Jika kita tidak berhasil mewujudkannya, kita akan depresi karena merasa ditekan oleh tuntutan maskulinitas tersebut.
Kita harus melihat dari segi kausalnya di sini. Depresi disebabkan karena ketidakmampuan kita untuk memenuhi ekspektasi masyarakat mengenai maskulinitas. Bukankah kita memiliki hak untuk tidak memenuhi ekspektasi tersebut?
Mas Sigit ini menempatkan posisi laki-laki berada di bawah tekanan masyarakat dalam bentuk tingkah laku dan cara berpikir yang bukan ditentukan oleh keinginannya sendiri. Seperti dalam narasinya tentang patah hati.
Blio berpendapat bahwa perempuan bisa lebih bebas untuk mengekspresikan diri, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki dibatasi oleh pandangan maskulinitas bahwa laki-laki harus kuat.
Narasi tersebut terlalu mengkotak-kotakkan ekspresi yang bisa dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan, yang artinya blio sendiri larut dalam pandangan umum maskulinitas yang blio kritik sendiri. Padahal, laki-laki juga bebas mengekspresikan diri jika dia mau dan tidak memilih tunduk pada persepsi umum maskulinitas.
Kemudian narasinya tentang pilihan tempat curhat yang juga mengkotak-kotakkan antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, tempat curhat laki-laki sangat terbatas, sedangkan tempat curhat perempuan lebih luas. Padahal tidak begitu.
Laki-laki bisa curhat kepada siapa saja, tergantung pada dirinya yang mempercayai kerabat atau teman yang akan dicurhatinya atau tidak. Jika tidak ada kerabat atau teman yang bisa dipercayai sebagai tempat curhat, bisa kok kita download aplikasi Simsimi di Play Store.
Saya juga tidak setuju dengan pendapat yang blio kemukakan tentang tuntutan yang dihadapkan pada laki-laki perihal materi. Menurutnya, laki-laki yang masih dalam tahap berusaha namun belum mapan tidak akan dihargai.
Ini bukan tentang mencari seberapa berartinya usaha kita dari orang lain. Namun, lebih kepada seberapa berartinya usaha itu untuk diri kita sendiri.
Dari narasi “jadi pria itu tidak gampang, banyak tuntutan”, kita juga bisa menangkap nilai maskulinitas yang terkandung di dalamnya. Kata-kata itu juga cenderung bersifat penyerahan diri terhadap pemaksaan maskulinitas yang tidak diinginkannya sendiri.
Sekarang sudah bukan zaman mesolitikum, di mana masyarakat hidup berpindah-pindah dengan pembagian sistem kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dihadapkan pada kapak genggam dan panah untuk berburu, sedangkan perempuan mendekam dalam diam untuk tetap meramu.
Bukan pula jaman di awal abad ke-19, ketika para pemilik pabrik lebih suka merekrut dan mempekerjakan perempuan karena mereka lebih nrimo ing pandum. Dalam artian bahwa perempuan bisa bekerja secara maksimal dalam kurun waktu yang panjang, namun digaji dengan upah yang rendah.
Sekarang pria bisa bekerja di bidang apa saja, begitupun perempuan. Namun, yang kita persoalkan di sini adalah pandangan mengenai ekspektasi masyarakat mengenai identitas yang seharusnya ada pada diri laki-laki.
Jika dalam dikotomi kendali ala filsafat Stoa, kita bisa mengendalikan hal-hal yang berada di bawah kendali kita, seperti perilaku, pikiran maupun persepsi kita sendiri. Namun, kita tidak bisa mengendalikan perilaku dan persepsi orang lain.
Maka dari itu, kita bisa berperilaku bebas seperti apa yang kita inginkan tanpa harus tunduk terhadap pandangan maskulinitas ala masyarakat patriarki. Kita memang tidak bisa mengubah sikap dan perilaku orang lain, namun kita bisa mengubah sikap kita sendiri melalui proses realisasi tanpa harus tunduk pada prasangka kita mengenai pendapat orang lain.
BACA JUGA Kaderisasi dan Romantisme PMII lewat PBAK dan tulisan-tulisan lainnya dari Rizki Muhammad Iqbal.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.