Kalian pikir cari rumah yang terjangkau dan aksesnya bagus itu sulit? Tidak, Wahyudi, masih ada yang lebih rumit, yaitu cari rumah terjangkau, akses bagus, plus ketua RT yang beres.
Saya merasa harus membagi pengalaman ini, sebab, ketua RT adalah sebenar-benarnya kunci menghadapi hidup rumah tangga yang harmonis.
Beberapa waktu lalu, saya sudah membagi pengalaman cara tembus KPR yang ampuh. Dan dalam artikel ini, saya merasa berdosa dan malu karena saya tak menyertakan fakta tentang lingkungan saya. Izinkan saya minta maaf, biar merasa nggak salah-salah amat.
Sebenarnya, lingkungan rumah saya itu enak. Masih banyak pohon, nggak panas, sepi, dan nggak banyak gangguan. Warganya nggak rese dan ramah. Tapi ketika saya harus berurusan dengan ketua RT untuk minta izin pasang tiang IndiHome, baru saya merasakan neraka hidup di tempat saya.
Jadi begini. Rumah saya sebenarnya nggak jauh dari jalan raya. Masalahnya, kalau mau pasang IndiHome, kabelnya nggak nyampe. Mau nggak mau, harus pasang tiang. Dan yang namanya pasang tiang, nggak mungkin dong tanpa seizin warga. Oleh karena saya harus merantau ke Jogja, maka urusan tiang ini saya serahkan ke Bapak saya dan beberapa petugas IndiHome, biar mereka minta izin. Kebetulan, ketua RT ini kawan bapak saya dulu, jadi, aman lah ya.
Nah, ketika minta izin ini, pak RT berkata bahwa ada “retribusi” yang harus diberikan untuk kas desa. Itu sebenarnya nggak masalah, maksudnya ya, masih lumrah lah ya. Masalahnya, nominalnya nggak masuk akal, dan diitung per tiang. Matilah saya.
Pihak IndiHome keberatan kalau suruh bayar segitu mahal, apalagi saya. Logikanya, tiang IndiHome itu nanti kan bisa memudahkan rumah lain kalau mau pasang internet. Ya harusnya diizinin dong, tanpa harus pakai “retribusi” yang memberatkan. Mengakses internet kan memang hak segala warga negara kan?
Karena masalah izin jadi buntu, maka saya punya inisiatif untuk ketemu. Ya biar klir lah dari saya, kan saya warga baru di situ. Di sinilah titik di mana saya paham kalau ketua RT adalah kunci keseimbangan hidup.
Saya ketemu RT bukannya jadi jelas masalahnya, malah jadi ribut. Sampai ada kata-kata yang nggak pantas diucapkan dari blio. Masalah yang harusnya kelar 15 menit, berujung jadi hampir geger geden selama dua jam. Sampe-sampe dia pake banggain udah jadi ketua RT selama lebih dari satu dekade. Lah, maksud?
Untunglah masalah itu kelar malam itu juga. Penyelesaiannya, saya tetap harus bayar “retribusi”, karena itu kesepakatan warga, tapi dengan nominal yang jauh lebih kecil, bilangnya sih seikhlasnya. Awalnya, saya cocok dengan solusinya…
Hanya untuk kecewa karena keputusannya berubah lagi dan nominalnya tetap mencekik bagi saya.
Apakah masalah itu bikin saya ngecap bliau sebagai ketua RT yang buruk? Tentu saja tidak.
Setelah geger itu, saya mencoba mengorek penilaian warga lain. Ternyata ya, semua kira-kira sama pendapatnya: blio adalah wong angel. Saya susah mendeskripsikannya dalam bahasa Indonesia, pokoknya seperti ini: kalau bisa, jangan pernah berurusan sama blio. Ever.
I get it. Setiap daerah punya kesepakatan yang dihormati oleh tiap warganya, terlebih pendatang. Tapi, saya selalu berpikir bahwa aturan sosial sebaiknya bisa lentur sesuai kondisi. Misalnya begini. Ada aturan yang nggak bisa kerja bakti waktu weekend, harus didenda sekian puluh ribu. Oke, itu adil. Tapi apakah adil untuk yang harus tetap bekerja saat weekend karena memenuhi kebutuhan?
Akhir pekan saja, dia nggak istirahat agar dapat uang tambahan. Masak ya tega minta mereka bayar denda?
Atau misal, yang nggak dateng pertemuan harus didenda. Padahal, kamu kerjanya di luar kota. Ya kemungkinan kamu nggak dateng kan hampir 100 persen. Apa ya adil untuk didenda?
Saya justru punya pikiran seperti ini: alih-alih memaksa pendatang untuk menaati segala aturan, bukankah lebih baik pendatang tersebut ditanya, apa yang sebenarnya ia butuhkan di lingkungan ini, agar terjadi win-win solution?
Harus sadar juga, bahwa terkadang pendatang itu menempati suatu daerah bukan untuk gabung ke lingkungannya, tapi karena ya dapetnya rumah ya di situ. Nggak punya pilihan lain. Mempersulit mereka dengan aturan yang nggak bisa dibikin lentur rasanya aneh.
Jadi, ketika kamu sedang survei rumah, pastikan tanya lingkungannya gimana, ketua RT orangnya enak diajak rembugan atau tidak, aturan kampung seperti apa, agar kalian nggak perlu kena urusan yang nggak perlu. Bukannya kalian enjoy hidup, malah jadi tertekan karena pihak eksternal yang sebenarnya nggak punya kepentingan.
Terlebih untuk pasangan baru. Ketua RT yang angel hanya bikin beban pernikahan kalian jadi bertambah. Padahal ya nggak perlu begituan mah.
Kita terlalu sering mengglorifikasi “kesepakatan bersama” yang kadang justru melewati batas dan mempersulit hidup. Terkadang, hal-hal kayak gitu bikin orang yang sebenarnya supel, mau berbaur, jadi males dan memilih mengurung diri ketimbang urusan sama megalomaniak yang merasa memegang dunia.
Dan inilah yang perlu kalian pahami, wahai pemuja kata-kata srawung, yakin nih orang-orang yang kalian hakimi antisosial, nggak mau srawung, dan nggak mau berbaur dengan warga itu karena kemauan mereka, atau justru gara-gara kalian yang angel?
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Berurusan dengan Pak RT Overproud Jabatan dan Multipresence