Beberapa kali kita lihat banyak orang—dari kaum mayoritas—yang gagal paham apa susahnya jadi minoritas. Yang mereka tahu, minoritas justru terkesan “mengeksklusifkan” diri dan susah membaur. Pagar rumah mereka tinggi. Rata-rata yang mereka tahu, orang minoritas macam etnis Cina itu kaya, tapi jarang membaur. Jadi ketika ada orang bilang hidup jadi minoritas itu susah, mereka nggak paham.
Kenapa mereka nggak paham? Ya karena mereka mayoritas. Saya akan cerita bagaimana saya, seorang minoritas, menjalani hidup, agar mereka tahu, betapa tak mudahnya menjadi saya.
Saya keturunan Cina, bapak Cina ibu Jawa. Mata saya sipit, kulit putih, dan itu jelas “menegaskan” identitas saya. Saya lahir dan hidup di lingkungan yang hampir tidak ada keturunan Cina yang tinggal di situ. Keminoritasan saya sudah terhitung paket lengkap ini mah. Dan karena itulah, saya mengalami banyak kejadian bikin murka dalam hidup.
Waktu kecil, saya kerap dirundung. Ditendang, dilempar batu, semua karena saya Cina. Hanya karena itu. Itu semua membuat saya menjadi penyendiri, enggan bermain keluar rumah bersama tetangga, saya lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV dan bermain LEGO.
Sekolah yang mirip neraka
Saya tak hanya merasakan perundungan di lingkungan rumah. Saya pun merasakan perundungan di sekolah, tempat yang harusnya jadi sanctuary.
Ketika duduk di bangku SD swasta, saya merasakan perundungan dalam level yang lebih gila. Dijauhi teman, tak ada yang mau duduk dekat saya, terang-terangan merasa jijik di dekat saya, saya alami itu hampir tiap hari. Apakah hidup seperti ini mudah?
Tetapi, itu tidak membuat saya menjadi penyendiri di kelas. Saya mencoba tetap ikut bermain walau teman-teman merasa risih, berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan penerimaan, segala usaha saya lakukan. Tapi hasilnya nihil.
Ada sih yang mau bermain dengan saya, tapi itu kalau ada maunya. Seperti ditraktir atau dijadikan budak dalam mengerjakan sesuatu. Kalau di manga delinquent, saya ini jadi lackey.
Pada kelas 4 SD, saya memutuskan untuk pindah ke SD negeri. Itu semua karna saya tidak kuat menahan bullyan yang dihadapi di sekolah sebelumnya. I am done.
Awal masuk ke sekolahan baru rasanya takut dan sedih, mengingat sebelumnya saya nggak punya teman dan selalu di-bully. Apalagi ini sekolah negeri yang nggak ada sama sekali anak keturunan Cina, jadi saya beda sendiri pada saat itu.
Tetapi beruntungnya saya diterima, diajak berkenalan, dan bermain bersama. Bahkan teman sekolah menjadi teman main di luar sekolah. Apakah ada yang membully saya? Tentunya masih ada, tetapi hanya 1-2 orang saja, itu pun hanya berlangsung sebentar, karena saya bisa melawan bullyan itu. Hingga akhirnya selama 3 tahun bersekolah di SD negeri hampir tidak ada yang mem-bully saya.
Tapi tak ada yang abadi. Bahagia tak akan pernah bertahan lama.
Saat beranjak ke SMP saya mulai merasakan ketakutan itu lagi. Beberapa teman yang satu etnis dengan saya kena bully. Tapi, saya coba lawan. Jadi keturunan etnis Cina bukan berarti saya berhak diperlakukan seenaknya.
Saya punya teman di SMP, tapi bukan berarti hidup saya sebagai minoritas jadi lebih baik. Orang tua teman saya pun tak suka anaknya bermain dengan saya. Alasannya? Karena orang etnis Cina dianggap pelit dan tragedi 98.
Bukankah justru kami yang jadi korban? Bagaimana bisa kami dibenci karena itu?
Semenjak teman saya berkata seperti itu, saya sudah mulai jarang bermain dengan dia, hingga saat ini nggak tau kabarnya sama sekali.
Lama-lama kebal
Saat ini saya sudah SMA kelas 3, dari mulai SMP sampai saat ini, saya sudah kebal terhadap bullyan itu, dan menganggap itu sebuah candaan jika ada yang mengatakan saya “cina” dan lain-lain. Saya lebih santai, kuat dan tenang. Yang terpenting mereka tidak menyangkut kepada kekerasan fisik, menghina orang tua, atau orang terdekat saya. Kalau sampe mereka menyenggol itu, beda cerita. Geger!
Untungnya saya mempunyai teman yang tidak memandang ras, agama dan lainnya. Teman saya sedikit, tapi berkualitas. Meski begitu, saya lebih sering di rumah. Setidaknya, di rumah, saya tak akan dianggap berbeda.
Bagi kalian minoritas yang bernasib seperti saya, kuatkan hati kalian. Lawan jika perlu, dan memang sebaiknya dilawan. Rasisme dan orang rasis baiknya diberi tiket ke bulan, lalu ditinggal untuk membusuk di sana. Saya melawan, maka saya berani menceritakan ini semua.
Dan bagi kalian yang menganggap hidup minoritas itu nggak susah, lain kali, main-mainlah sama minoritas. Tanyakan apa yang mereka rasakan, tinggal penghakiman Anda di rumah, dan kalian akan melihat bahwa apa-apa yang kalian percayai, terkadang adalah sebuah kebodohan yang bikin kalian malu.
Penulis: Imanuel Joseph Phanata
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Berbahayanya Merasa Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam