Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Percayalah, Hidup Kaum Minoritas Itu Sama Sekali Tidak Enak

Imanuel Joseph Phanata oleh Imanuel Joseph Phanata
5 Januari 2023
A A
Percayalah, Hidup Kaum Minoritas Itu Sama Sekali Tidak Enak

Percayalah, Hidup Kaum Minoritas Itu Sama Sekali Tidak Enak (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Beberapa kali kita lihat banyak orang—dari kaum mayoritas—yang gagal paham apa susahnya jadi minoritas. Yang mereka tahu, minoritas justru terkesan “mengeksklusifkan” diri dan susah membaur. Pagar rumah mereka tinggi. Rata-rata yang mereka tahu, orang minoritas macam etnis Cina itu kaya, tapi jarang membaur. Jadi ketika ada orang bilang hidup jadi minoritas itu susah, mereka nggak paham.

Kenapa mereka nggak paham? Ya karena mereka mayoritas. Saya akan cerita bagaimana saya, seorang minoritas, menjalani hidup, agar mereka tahu, betapa tak mudahnya menjadi saya.

Saya keturunan Cina, bapak Cina ibu Jawa. Mata saya sipit, kulit putih, dan itu jelas “menegaskan” identitas saya. Saya lahir dan hidup di lingkungan yang hampir tidak ada keturunan Cina yang tinggal di situ. Keminoritasan saya sudah terhitung paket lengkap ini mah. Dan karena itulah, saya mengalami banyak kejadian bikin murka dalam hidup.

Waktu kecil, saya kerap dirundung. Ditendang, dilempar batu, semua karena saya Cina. Hanya karena itu. Itu semua membuat saya menjadi penyendiri, enggan bermain keluar rumah bersama tetangga, saya lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV dan bermain LEGO.

Sekolah yang mirip neraka

Saya tak hanya merasakan perundungan di lingkungan rumah. Saya pun merasakan perundungan di sekolah, tempat yang harusnya jadi sanctuary.

Ketika duduk di bangku SD swasta, saya merasakan perundungan dalam level yang lebih gila. Dijauhi teman, tak ada yang mau duduk dekat saya, terang-terangan merasa jijik di dekat saya, saya alami itu hampir tiap hari. Apakah hidup seperti ini mudah?

Tetapi, itu tidak membuat saya menjadi penyendiri di kelas. Saya mencoba tetap ikut bermain walau teman-teman merasa risih, berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan penerimaan, segala usaha saya lakukan. Tapi hasilnya nihil.

Ada sih yang mau bermain dengan saya, tapi itu kalau ada maunya. Seperti ditraktir atau dijadikan budak dalam mengerjakan sesuatu. Kalau di manga delinquent, saya ini jadi lackey.

Baca Juga:

Drama Cina: Ending Gitu-gitu Aja, tapi Saya Nggak Pernah Skip Menontonnya

Minyak Gosok sampai Obat Kuat, Ini 5 Obat Cina yang Wajib Ada di Rumah Saya

Pada kelas 4 SD, saya memutuskan untuk pindah ke SD negeri. Itu semua karna saya tidak kuat menahan bullyan yang dihadapi di sekolah sebelumnya. I am done.

Awal masuk ke sekolahan baru rasanya takut dan sedih, mengingat sebelumnya saya nggak punya teman dan selalu di-bully. Apalagi ini sekolah negeri yang nggak ada sama sekali anak keturunan Cina, jadi saya beda sendiri pada saat itu.

Tetapi beruntungnya saya diterima, diajak berkenalan, dan bermain bersama. Bahkan teman sekolah menjadi teman main di luar sekolah. Apakah ada yang membully saya? Tentunya masih ada, tetapi hanya 1-2 orang saja, itu pun hanya berlangsung sebentar, karena saya bisa melawan bullyan itu. Hingga akhirnya selama 3 tahun bersekolah di SD negeri hampir tidak ada yang mem-bully saya.

Tapi tak ada yang abadi. Bahagia tak akan pernah bertahan lama.

Saat beranjak ke SMP saya mulai merasakan ketakutan itu lagi. Beberapa teman yang satu etnis dengan saya kena bully. Tapi, saya coba lawan. Jadi keturunan etnis Cina bukan berarti saya berhak diperlakukan seenaknya.

Saya punya teman di SMP, tapi bukan berarti hidup saya sebagai minoritas jadi lebih baik. Orang tua teman saya pun tak suka anaknya bermain dengan saya. Alasannya? Karena orang etnis Cina dianggap pelit dan tragedi 98.

Bukankah justru kami yang jadi korban? Bagaimana bisa kami dibenci karena itu?

Semenjak teman saya berkata seperti itu, saya sudah mulai jarang bermain dengan dia, hingga saat ini nggak tau kabarnya sama sekali.

Lama-lama kebal

Saat ini saya sudah SMA kelas 3, dari mulai SMP sampai saat ini, saya sudah kebal terhadap bullyan itu, dan menganggap itu sebuah candaan jika ada yang mengatakan saya “cina” dan lain-lain. Saya lebih santai, kuat dan tenang. Yang terpenting mereka tidak menyangkut kepada kekerasan fisik, menghina orang tua, atau orang terdekat saya. Kalau sampe mereka menyenggol itu, beda cerita. Geger!

Untungnya saya mempunyai teman yang tidak memandang ras, agama dan lainnya. Teman saya sedikit, tapi berkualitas. Meski begitu, saya lebih sering di rumah. Setidaknya, di rumah, saya tak akan dianggap berbeda.

Bagi kalian minoritas yang bernasib seperti saya, kuatkan hati kalian. Lawan jika perlu, dan memang sebaiknya dilawan. Rasisme dan orang rasis baiknya diberi tiket ke bulan, lalu ditinggal untuk membusuk di sana. Saya melawan, maka saya berani menceritakan ini semua.

Dan bagi kalian yang menganggap hidup minoritas itu nggak susah, lain kali, main-mainlah sama minoritas. Tanyakan apa yang mereka rasakan, tinggal penghakiman Anda di rumah, dan kalian akan melihat bahwa apa-apa yang kalian percayai, terkadang adalah sebuah kebodohan yang bikin kalian malu.

Penulis: Imanuel Joseph Phanata
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Berbahayanya Merasa Jadi Minoritas Muslim di Negeri Mayoritas Islam

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.

Terakhir diperbarui pada 5 Januari 2023 oleh

Tags: BullycinaKehidupanminoritasrasisme
Imanuel Joseph Phanata

Imanuel Joseph Phanata

Mahasiswa semester 5 jurusan Bahasa Mandarin dan Kebudayaan Tiongkok yang hobi menulis di Mojok

ArtikelTerkait

ngapak

Gugatan Orang Ngapak yang Didiskriminasi Saat Bulan Puasa

1 Juni 2019
Magang di Pengadilan Agama Bikin Saya Lebih Realistis dalam Memandang Pernikahan broken home

Sulitnya Menjadi Anak Broken Home

18 Februari 2023
jadi musisi

Jadi Musisi Itu Lebih Menjanjikan Daripada Jadi Presiden

19 September 2019
diejek belum menikah itu

Menikah Itu Karena Memang Sudah Siap Diajak, Bukan Hanya Karena Sudah Bosan Diejek

5 Juli 2019
Prima Tossa, Motor Korea yang Awetnya sampai Akhir Zaman

Prima Tossa, Motor Korea yang Awetnya sampai Akhir Zaman

9 September 2023
korban bully badut terawan bismillah cinta sinetron dialog jahat mojok

Daripada Bantu Koruptor, Pemerintah Harusnya Bantu Korban Bully Lain yang Lebih Butuh Bantuan

25 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan

Perpustakaan di Indonesia Memang Nggak Bisa Buka Sampai Malam, apalagi Sampai 24 Jam

26 Desember 2025
Potensi Wisata Indramayu yang Belum Tergarap Maksimal (Wikimedia)

Potensi Wisata Indramayu yang Belum Tergarap Maksimal

21 Desember 2025
Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

26 Desember 2025
Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, tapi Layanan QRIS-nya Belum Merata Mojok.co

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, Sayang Layanan QRIS-nya Belum Merata 

24 Desember 2025
Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi (Unsplash)

Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi: Menolong Ribuan Perantau, tapi Menyengsarakan Warga Sendiri

22 Desember 2025
Eretan Wetan Indramayu, Venesia Jawa Barat yang Nggak Estetik Sama Sekali

Eretan Wetan Indramayu, Venesia Jawa Barat yang Nggak Estetik Sama Sekali

24 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu
  • Pantai Bama Baluran Situbondo: Indah tapi Waswas Gangguan Monyet Nakal, Itu karena Ulah Wisatawan Sendiri

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.