Di Surabaya, kita bisa menemukan jajanan apa saja mulai dari yang harganya jutaan di mall mewah hingga jajanan yang bisa dibeli hanya dengan uang recehan. Jenis jajanannya pun beraneka ragam, ada croissant ala Prancis, odeng ala Korea Selatan, ayam goreng Mail dalam serial Upin Ipin, hingga jajanan tradisional seperti jipang.
Jipang—ada juga yang menyebutnya gipang—adalah jajanan tradisional dari suku Baduy, Provinsi Banten. Jajanan ini terbuat dari beras ketan, gula, dan sedikit garam. Gula yang digunakan bisa gula merah atau gula pasir. Kalau di Surabaya, kebanyakan jipang yang dijual adalah yang menggunakan gula pasir kental yang diaduk seperti karamel.
Rasa jipang dominan manis dengan tekstur yang renyah. Di desa saya, daerah Bojonegoro, jipang biasanya dijadikan salah satu menu jajanan Lebaran. Posisinya berdampingan dengan rengginang dan madumongso (sejenis jenang yang terbuat dari beras ketan dan gula merah). Variasi lain dari jipang adalah jipang yang terbuat dari jagung dan dibalut dengan gula merah atau biasa disebut jipang jagung.
Meski berasal dari Banten, jipang adalah jajanan yang mudah ditemukan di Jawa Timur. Di Kota Surabaya, jajanan ini umumnya dijual oleh pedagang keliling dengan harga Rp15 ribuan per bungkus.
Daftar Isi
- Di Surabaya banyak penjual jipang keliling, salah satunya Pak Mulyadi
- Berjualan jipang di depan minimarket lebih laku ketimbang sekolah
- Ikhlas berbagi dengan penjual cobek
- Pak Mul berharap bisa bagi-bagi sandal jepit kepada pedagang keliling seperti dirinya
- Tetap keliling Surabaya berjualan jipang meskipun puasa
Di Surabaya banyak penjual jipang keliling, salah satunya Pak Mulyadi
Ada banyak penjual jipang keliling di Surabaya, Pak Mulyadi atau Pak Mul adalah salah satunya. Saya bertemu Pak Mul di depan Indomaret Kebonsari pada Selasa sore (5/3). Beliau tampak kelelahan sambil sesekali mengusap keringat di dahi dengan kaos lengan panjangnya.
Waktu itu saya berencana membeli jipang untuk dimakan di rumah sambil nonton film Netflix. Sewaktu kecil, saya dan almarhum bapak suka makan jipang bersama karena di dekat rumah kami ada pabrik jipang. Kalau sedang rindu bapak, saya biasanya akan makan jipang tersebut sambil mengingat kebersamaan dengan bapak.
Sore itu, saya berubah pikiran. Niat takeaway jipang saya urungkan dan memutuskan untuk makan jipang di tempat saja. Saya pun duduk di samping penjualnya. Alasannya sederhana, saya tersentuh dengan ucapan Pak Mul yang berkata, “Alhamdulillah Mbak, semoga njenengan sehat, banyak rezeki, dan bahagia.”
Saya ini hanya membeli jipang, harganya pun nggak mahal, tapi didoakan dengan tulus, doanya banyak lagi. Jujur saja, saya tersentuh. Aslinya saya mau minta tambah doanya “Pak, tolong doakan punya momongan tahun ini” tapi saya urungkan lantaran sadar diri, beli jipang satu bungkus saja kok ya banyak maunya saya ini.
Berjualan jipang di depan minimarket lebih laku ketimbang sekolah
Sambil menunggu pembeli, Pak Mul mulai bercerita awal mulanya jualan jipang. Beliau orang Lamongan, usianya yang akan menginjak kepala lima membuatnya susah mencari pekerjaan lain. Kemudian ada tetangganya yang menawarinya berjualan jipang, Pak Mul nggak perlu membuat jipang sendiri dan nggak perlu membeli jipang terlebih dahulu.
Akhirnya Pak Mul dibekali 100 bungkus jipang oleh tetangganya yang kebetulan memiliki pabrik jipang. Dari setiap bungkus yang terjual, Pak Mul akan mendapatkan untung tak sampai empat ribu rupiah. Sedikit memang, tapi pekerjaan tersebut tetap dilakukan Pak Mul dengan ikhlas dan telaten.
“Sing penting bisa makan wes alhamdulillah, Mbak,” begitu kata Pak Mul.
Di Surabaya, penjual jipang selain berkeliling di sepanjang jalan, biasanya juga berhenti di depan minimarket seperti Indomaret atau Alfamart. Hal tersebut mereka lakukan bukan karena capek, melainkan peluang orang untuk membeli jipang di minimarket lebih banyak ketimbang di tempat keramaian lainnya seperti sekolah.
“Anak sekarang kayakanya nggak suka jajan polosan, Mbak. Mereka sukanya jajan pentol sama jajanan yang ada hadiahnya. Kalau ngetem di sekolah malah sepi. Di sini (baca: Indomaret) malah lebih banyak yang beli karena yang datang kan orang tua atau ibu-ibu yang kecilnya juga makan jipang,” kata Pak Mul mencoba menganalisis pasar.
“Tapi ya nggak rame-rame banget, Mbak. Ini baru njenengan yang beli,” Pak Mul menambahkan.
Ikhlas berbagi dengan penjual cobek
Hari itu dagangan Pak Mul memang lagi sepi-sepinya. Beliau sudah berkeliling dari Wonokromo hingga Kebonsari Surabaya, tapi baru mengantongi uang Rp30 ribu, padahal hari sudah sore. Pak Mul juga belum makan seharian, hanya minum air putih dan sepotong pisang yang dia bawa dari rumah.
Sebenarnya Pak Mul membawa nasi bungkusan dari rumah untuk dimakan di jalan saat beliau lelah berkeliling. Akan tetapi saat melewati Jalan Ketintang di belakang kampus Unesa, Pak Mul bertemu dengan penjual cobek keliling yang jualan sambil tiduran di pinggir jalan.
Melihat penjual cobek kelelahan, Pak Mul memberikan makanannya kepada penjual cobek yang memang sedang nggak enak badan namun tetap memaksakan diri bekerja.
“Kalau kepepet dan lapar saya masih bisa makan jipang, Mbak. Kalau penjual cobek makan apa?” kata Pak Mul sambil tersenyum.
Mendengar cerita Pak Mul, saya langsung teringat dengan ceramah Gus Baha yang kurang lebih kalimatnya seperti ini, “Rasulullah itu mencintai orang miskin. Salah satu sebabnya karena orang miskin itu kalau bersedekah dramatis. Orang kaya sedekah Rp100 juta enteng saja, mereka masih bisa makan enak. Sementara orang miskin sedekah Rp10 ribu saja bisa berpotensi kelaparan atau mengorbankan nyawanya.”
Pak Mul berharap bisa bagi-bagi sandal jepit kepada pedagang keliling seperti dirinya
Saya sangat tersentuh dengan sikap Pak Mul. Di luar sana, ada banyak pejabat yang sudah bergelimang harta tapi masih serakah dan tega korupsi uang bansos. Sementara Pak Mul yang serba kekurangan ikhlas memberikan jatah makannya kepada orang lain yang juga membutuhkan.
Bahkan Pak Mul masih punya keinginan untuk tetap berbagi rezeki terutama saat bulan Ramadan. “Saya seneng Mbak kalau bisa ngasih ke orang lain masio cuma sego bungkus. Kalau ada rezeki ya pas Ramadan inginnya bagi-bagi sandal yang empuk ke pedagang keliling. Soale akeh yang sandalnya wes tipis, Mbak.”
Bagi Pak Mul, di bulan Ramadan ada banyak orang yang memberikan makanan gratis, termasuk ke pedagang keliling seperti dirinya. Namun, tak banyak orang yang kepikiran memberikan sandal jepit kepada mereka. Padahal sandal sangat penting bagi orang yang berjalan jauh.
Tetap keliling Surabaya berjualan jipang meskipun puasa
Pak Mul adalah seorang muslim. Sebagai seorang muslim, beliau juga melakukan kewajiban puasa sebulan penuh. Meskipun harus menahan haus dan lapar dengan udara panas Surabaya, beliau tetap berjualan keliling saat bulan Ramadan.
Berjualan jipang di bulan Ramadan boleh dibilang lebih berat bagi Pak Mul dibandingkan bulan biasanya. Masalahnya beliau nggak cuma harus berkeliling sambil puasa, tapi juga karena jipang bukan menu yang biasa dikonsumsi orang saat buka puasa.
“Orang buka biasanya nggak makan jipang, Mbak, mungkin wedi (takut) kesereten.” kata Pak Mul bercanda.
Saya tahu Pak Mul sebenarnya sedang menghibur diri sendiri. Surabaya yang keras dengan biaya hidupnya yang tinggi memang nggak bisa ditaklukkan dengan keluhan dan ratapan. Akan tetapi harus dihadapi dengan berjuang sambil sesekali menghibur diri sendiri agar nggak stres dan tetap bisa bekerja meskipun hasilnya jauh dari cukup.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.