Kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan adalah kasus yang unik. Sejak awal sebelum masuk ke persidangan, para penonton dipaksa untuk mengakui bahwa mengungkap kasus Novel tak semudah membalikkan telapak tangan. Maka, ketika dua orang pelaku tertangkap, orang-orang bersorak gembira.
Akan tetapi, di bagian persidangan kita diberi kejutan dramatis ala FTV yang seolah diangkat dari kisah nyata, bahwa kasus itu adalah kasus sederhana yang mudah ditebak alurnya. Kasus biasa dan membosankan: Para pelaku tidak sengaja dan mereka telah meminta maaf pada keluarga korban. Selesai.
Mengapa drama persidangan yang dilakonkan jaksa seolah mirip dengan FTV?
Begini. Jaksa pada dasarnya adalah seorang pengacara negara, mereka bertindak atas nama negara. Jaksa adalah representasi keberpihakan negara dalam wujud perlindungan terhadap warga negara. Tidak heran bila yang seharusnya beradu dalam persidangan ialah jaksa versus pengacara swasta. Jaksa tugasnya menuntut, pengacara bertugas sebagai pembela hak-hak terdakwa. Lalu, di mana letak kemiripannya?
Dalam FTV, salah satu cerita paling khas yang kita temukan ialah kekonyolan dan keganjilan cerita. Biasanya terjadi proses saling suka antar kelas. Misal salah satu tokoh digambarkan sebagai orang paling miskin di dunia, dan tokoh lainnya seolah-olah sebagai orang paling kaya di dunia. Singkat cerita, terjadilah saling suka di antara mereka, di mana hal ini amat mustahil terjadi.
FTV bekerja seolah-olah melawan segala kemustahilan yang ada di dunia nyata, dengan menghapuskan sekat-sekat kelas sosial-ekonomi di hadapan cinta. Begitu pula dengan jaksa yang diceritakan di atas. Mereka seolah-olah hendak melawan kenyataan profesi jaksa sebagai pelindung rakyat/korban yang mengatasnamakan negara dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Mereka justru menjadi pengacara swasta dengan melindungi pelaku kejahatan. Mereka hendak menghapus sekat-sekat pengacara negara dan swasta dengan bertingkah seolah juru bicara bagi kedua terdakwa dan mengetahui segala maksud dari tindak tutur pelaku.
Berdasarkan Pasal 355 ayat 1 KUHP, penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Akan tetapi, bagi jaksa, perbuatan kedua penyerang Novel Baswedan itu tidak terbukti melanggar Pasal 355 ayat 1 KUHP karena mereka percaya waktu itu ada kesalahan teknis sewaktu menyiram air keras, dari yang semula niatnya hanya bagian tubuh, eh malah terkena bagian wajah. Sehingga, mereka lari ke Pasal 353 ayat 2 yang berbunyi, “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun,” seolah-olah tidak ada mufakat jahat di balik penyerangan yang dilakukan dua terdakwa.
Pertanyaannya, untuk apa jaksa memosisikan diri percaya pada pelaku jika seharusnya posisi itu adalah posisi seorang pengacara sebagai pembela? Selain itu, untuk apa mereka takut menggunakan pasal dakwaan berat jika ada pengacara yang akan membela si terdakwa? Bahkan, lewat tuntutannya yang ciut, yakni hanya satu tahun penjara, apa yang harus dibela oleh si pengacara?
Dengan demikian, terbukti bahwa jaksa dalam melakukan persidangan lebih berpedoman pada FTV ketimbang pembagian kerja antara jaksa dan pengacara. Mereka hendak menghancurkan segala tatanan itu, dimulai dari kasus Novel Baswedan .
Sangat beralasan bila mengatakan bahwa kelakuan jaksa seperti ini dikarenakan kelewatan banyak menonton FTV. Menonton FTV tak ada salahnya, yang bermasalah adalah jika terlalu menghayatinya sehingga membuat profesi jaksa berjalan sewenang-wenang mengambil alih tugas pengacara. Bisa-bisa profesi pengacara tidak dibutuhkan lagi di masa depan. Di tengah membludaknya jumlah profesi pengacara, jaksa dengan tega merampas hak mereka, mengancam semakin banyaknya pengacara yang berakhir menganggur karena tidak kebagian perkara.
Selain itu, jaksa telah berdosa terhadap mahasiswa fakultas hukum. Sejak berita tuntutan satu tahun yang dituntut jaksa viral di mana-mana, mahasiswa fakultas hukum serasa dilecehkan seolah-olah mereka adalah akan seperti jaksa yang menangani kasus Novel Baswedan , padahal mahasiswa fakultas hukum kebanyakan nantinya bakal jadi pengangguran, karena profesi pengacara udah diambil alih sama para jaksa.
Satu hal yang perlu diperhatikan, protes tentang vonis penyerang Novel Baswedan mengalir di mana-mana, mengatakan bahwa hukum berpihak pada yang berkuasa, dan memelintir semua orang sama di hadapan hukum tapi tidak di samping dan di belakang hukum sebagaimana sindiran Sujiwo Tedjo.
Saya jawab ya biar tidak berlarut-larut menyalahkan hukum, dikit-dikit salahnya hukum. Kalau Sujiwo Tejo belajar hukum, Beliau akan tahu inilah yang namanya ketidakberdayaan hukum, atas hal-hal yang berkuasa atasnya. Oleh karena itu jangan sedikit-sedikit mengira hukum lah penyebab segala kebobrokan ini. Sebab, ada penyebab dibaliknya, yakni kekuatan yang lebih digdaya sehingga mampu memangkas kuasa hukum. Dan kekuatan itu adalah skenario FTV yang mau tidak mau harus dilakonkan oleh sang jaksa.
BACA JUGA Hal yang Menyebalkan dan Sering Bikin Bingung di Resep Masakan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.