Sebagai salah satu penyuka novel roman, saya sudah banyak mengenal bagaimana romantisnya tokoh yang dibuat oleh para penulis lihai di dalam cerita mereka. Ya, mungkin kalian banyak yang lebih khatam mengenai novel-novel cinta dibanding saya. Tapi, setidaknya saya cukup tahu bumbu-bumbu manis yang bikin gemas dari cerita-cerita itu.
Masih melekat nih, novel pertama yang saya baca tentang cowok SMA yang mati-matian berusaha buat bikin seorang cewek membalas cintanya dengan berbagai cara. Dimulai dengan cowok itu berubah jadi baik, memberi ini-itu ke si cewek, dan lainnya. Aih, membuat saya jadi kesemsem sendiri pokoknya. Saat itu, saya langsung membayangkan betapa bahagianya tokoh utama cewek yang ada pada cerita tersebut. Terlebih lagi tokoh cowok digambarkan dengan fisik sempurna. Cerita ini sebetulnya sering kali berlaku untuk banyak novel roman yang ada. Bagi para pembaca yang sebagian besarnya adalah perempuan, hal ini membuat kami semakin semangat melahap buku-buku tebal itu.
Sejak SMP, saya sudah sering membaca cerita roman. Hal ini membuat saya secara tidak sadar jadi memiliki muse, seorang lelaki sempurna yang diidam-idamkan untuk pasangan hidup kelak. Lelaki tampan, baik hati, kaya raya, dan tentu saja mau menerima saya apa adanya. Tapi ya mana ada “pangeran berkuda putih” yang mau menerima keadaan saya yang bentuknya bukan seperti putri jelita??!!!
Sampai masuk kuliah, muse lelaki sempurna masih terus melekat di pikiran saya yang membuat cowok-cowok di sekitar saya, jadi invisible alias tidak terlihat. Mereka semua terlihat biasa dan tidak menarik buat saya. Dengan begitu, membuat saya jadi berpikiran untuk apa saya cantik toh saya tidak tertarik dengan mereka. (Duh… padahal kan, cantik itu bukan untuk orang lain!)
Singkat cerita, ada seorang lelaki yang berani mendekati saya dan menjadi pasangan saya (akhirnya!). Drama romantisasi yang sudah melekat di kepala saya seketika bermunculan. Meminta saya untuk mengalami ke-uwu-an juga seperti yang dialami tokoh perempuan di novel roman yang saya baca. Saya mulai membanding-bandingkan, kenapa perlakuan dia tidak seistimewa tokoh cowok di novel ini. Sepertinya dia tidak menganggap saya se-berharga tokoh cewek di novel itu. Ketika saya berulang tahun, kenapa dia tidak memberi apa-apa untuk saya? Sedih rasanya, galau… Banyak sekali perbandingan yang muncul secara tiba-tiba di pikiran saya, secara spontan dan tidak sadar.
Ditambah lagi dengan adanya media sosial, di mana teman-teman saya memamerkan kebahagiaan mereka saat diberi kejutan oleh pasangan mereka. Saya semakin merasa cemburu. Kok, pasangan saya tidak begitu? Bahkan parahnya, saya pernah ngambek karena hal ini: Sikap pasangan tidak sesuai dengan ekspektasi saya seperti yang tergambarkan di cerita yang pernah saya baca.
Lalu, sampai suatu waktu saya menjabarkan keinginan saya secara tersirat via pesan singkat, “Kalau cowok lain tuh romantisnya sampai gini gini gini, deh… pasti seneng!”
Atau,
“Kemarin temenku kasih kejutan buat ceweknya, romantis deh!” (Terdengar manja dan memaksa? Percayalah, saya sudah mengkode si dia tapi selalu saja gagal). Kemudian, sebuah balasan pesan dari dia membuat saya tertampar.
“Saya nggak suka dibandingin. Saya bukan orang romantis seperti yang kamu mau.”
Saya jadi kepikiran lalu membayangkan, kalau dipaksa melakukan ini-itu untuk memenuhi ekspektasi orang lain tapi kita sendiri nggak mau dan nggak suka itu gimana rasanya. Ugh, nggak nyaman! Saya sepertinya banyak berekspektasi tinggi terhadap dia yang pada akhirnya kalau tidak sesuai, jadi sakit hati sendiri. Sisi tidak baik dari ekspektasi itu adalah kita memaksa mereka untuk berubah demi kita. Kalau ke arah baik, ya bagus dong. Tapi kalau seperti kasus ini, memaksa pasangan kita jadi romantis itu…apa sih, dampak paling baiknya???
Dari situ, mata saya mulai terbuka. Saya sadar, ternyata lelaki ini memang bukan tipe romantis yang bisa mengungkapkan perasaannya dengan mudah. Bukan lelaki kaya raya yang bisa memberikan sejuta keinginan saya. Dan tentu saja bukanlah lelaki sempurna keinginan saya. Tidak semua lelaki mau melakukan keromantisan sesuai keinginan perempuan. Ada beberapa yang mau berlaku romantis untuk menyenangkan perempuan-nya, tapi tidak sedikit juga yang menolak karena tidak terbiasa.
Semakin ke sini, saya jadi lebih memperhatikan bagaimana pasangan-pasangan lain di dunia riil. Ya, tidak ada lelaki sempurna super tampan, baik hati, dan kaya raya yang saya idam-idamkan selama bertahun-tahun itu. Tidak ada! Lelaki di dunia itu berbeda-beda, sifat, fisik, dan kemampuannya. Sama lah, seperti perempuan yang ingin diterima apa adanya. Jangan sampai lagi kita termakan keindahan novel roman yang sering kita baca.
Bukannya saya melarang untuk membaca buku novel roman. Atau melarang perempuan berharap lelaki idamannya datang ke hidup kalian, loh! Tapi, terkadang kita harus sadar, mengetahui batas, dan tidak terjebak di dalam bayang-bayang kita sendiri. Bagi kalian fans selebriti ternama, mungkin kalian paham apa yang saya rasakan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran, bahwa tak selamanya apa yang kita harapkan adalah hal yang baik untuk kita, ya!
BACA JUGA Memangnya Kenapa Kalau Orang Jelek Pilih-Pilih Pasangan? atau tulisan Alyaa Farah Qonitah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.