Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Hiburan Film

Pengepungan di Bukit Duri: Distopia Diskriminasi Rasial terhadap Etnis Tionghoa

Iman Septiaji oleh Iman Septiaji
20 April 2025
A A
Pengepungan di Bukit Duri Distopia Diskriminasi Rasial terhadap Etnis Tionghoa (Unsplash)

Pengepungan di Bukit Duri Distopia Diskriminasi Rasial terhadap Etnis Tionghoa (Unsplash)

Share on FacebookShare on Twitter

“Pengepungan di Bukit Duri” menunjukkan bahwa untuk belajar dari sejarah dan untuk menyembuhkan luka, kita perlu menghadapinya terlebih dahulu.

Spoiler Alert!

Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu bab tergelap dalam sejarah Indonesia. Tragedi itu tidak hanya merenggut ribuan nyawa dan merusak tatanan sosial, tetapi juga meninggalkan trauma kolektif yang hingga kini tak benar-benar pulih. 

Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah etnis Tionghoa. Mereka menjadi sasaran kekerasan sistemik maupun kultural selama puluhan tahun. Kekerasan tersebut adalah simbol dari kebencian sistemik, yang telah lama dibangun melalui narasi yang menyudutkan, pengucilan ekonomi dan budaya, serta representasi negatif dalam ruang-ruang sosial. 

Film “Pengepungan di Bukit Duri” berhasil menggambarkan tragedi tersebut. Film garapan Joko Anwar sebagai sutradara ini merupakan kolaborasi antara rumah produksi lokal Come and See Pictures dengan studio besar Hollywood, Amazon MGM Studios.

“Pengepungan di Bukit Duri” adalah distopia yang terlalu dekat dengan masa kini

“Pengepungan di Bukit Duri” bukan hanya sebuah karya fiksi spekulatif, tetapi juga sebuah pengingat yang kuat. Terutama bagaimana luka lama dapat terbuka kembali. 

Film ini menggambarkan dengan tajam jika sejarah kelam yang seharusnya dilupakan justru kembali menghantui kenyataan. Ini adalah refleksi tentang potensi kengerian yang bisa muncul jika sejarah yang tak tertangani itu terus dilupakan dan tidak dipelajari.

Film ini berlatar tahun 2027, masa depan fiktif namun sangat mungkin menjadi kenyataan. Di dunia ini, kekerasan rasial kembali merebak, dan etnis Tionghoa sekali lagi menjadi sasaran. 

Baca Juga:

Drama Cina: Ending Gitu-gitu Aja, tapi Saya Nggak Pernah Skip Menontonnya

Minyak Gosok sampai Obat Kuat, Ini 5 Obat Cina yang Wajib Ada di Rumah Saya

Cerita film “Pengepungan di Bukit Duri” mengikuti Edwin (Morgan Oey), seorang guru pengganti keturunan Tionghoa yang datang ke SMA Duri untuk mencari keponakannya. Namun, diaia terperangkap dalam pengepungan brutal dari geng murid-murid nakal yang dipimpin oleh Jefri (Omara Esteghlal). Dengan bantuan seorang guru bernama Diana (Hana Pitrashata Malasan), Edwin berusaha bertahan hidup di tengah kekacauan yang melanda sekolah dan kota.

Yang menarik, meskipun “Pengepungan di Bukit Duri” ini mengambil referensi kuat dari tragedi 1998, ia menyusun kronologi fiksionalnya sendiri. Kerusuhan dalam dunia film dimulai 2009, sebuah peristiwa baru yang melahirkan generasi baru dengan luka yang diwariskan. 

Tahun 2027 dipilih sebagai latar untuk menunjukkan bahwa trauma sejarah yang tidak ditangani dengan baik dapat melahirkan dunia baru yang rusak. Indonesia di masa depan dalam film ini telah berubah menjadi distopia yang penuh pengucilan, kebencian, dan kekerasan sistemik terhadap kelompok tertentu. Ini adalah masa depan yang sangat mungkin terjadi, jika bangsa ini terus mengabaikan luka-luka masa lalunya.

Kekerasan sosial yang melekat pada generasi muda

Sekolah, dalam “Pengepungan di Bukit Duri” ini, bukan lagi ruang yang aman untuk belajar atau berkembang. SMA Duri justru menjadi mikrokosmos dari kekerasan sosial yang lebih luas. Di sekolah ini, para siswa adalah anak-anak bermasalah atau yang biasa disebut sebagai “anak buangan,” dan ketegangan yang ada segera berubah menjadi kekerasan yang eksplosif. 

Edwin, yang datang dengan harapan mulia menjadi seorang guru, justru terperangkap dalam prasangka yang melekat pada dirinya karena asal-usul etnis Tionghoa. Kekerasan dalam film ini tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam cara siswa menatap Edwin, dalam ketidaksopanan seperti  penggunaan kata-kata kesar, gurauan beraroma rasis, dan komentar-komentar yang terus mengingatkan bahwa dia berbeda.

Salah satu hal yang menonjol dari “Pengepungan di Bukit Duri” adalah bagaimana ia menunjukkan bahwa trauma sejarah tidak berakhir begitu saja dengan berjalannya waktu. Trauma ini hidup dan bergerak, bahkan berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya, terpendam dalam narasi keluarga, budaya populer, dan bahkan dalam candaan sehari-hari. 

Inilah yang dikenal sebagai transgenerational trauma atau trauma yang diwariskan tanpa disadari dari satu generasi ke generasi lainnya. Para siswa SMA Duri, meski tidak mengalami langsung kerusuhan 2009, tetap menjadi pewaris kebencian yang sama. 

Siswa-siswa di SMA Duri membenci etnis Tionghoa bukan karena pengalaman pribadi, melainkan karena narasi kebencian yang mereka warisi tanpa pertanyaan. Rasisme tidak selalu tumbuh dari kebencian sadar, melainkan seringkali dari ketidaktahuan yang dibiarkan berkembang. 

Kekerasan sebagai ekspresi dari trauma di film “Pengepungan di Bukit Duri”

Bagi yang belum menyaksikan film “Pengepungan di Bukit Duri”, sebaiknya Anda melewatkan bagian ini agar pengalaman emosional yang dibangun oleh film tidak kehilangan dampaknya. Mohon maaf, bagian ini terdapat spoiler yang sangat penting. Mungkin akan lebih berkesan untuk kembali membaca bagian ini setelah menonton.

Di bagian ini, Jefri, pemimpin pengepungan dan seorang remaja dengan latar belakang traumatis, menjadi simbol tragis dari kekerasan yang ditujukannya. Jefri adalah anak dari perempuan Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan massal pada kerusuhan 2009. 

Tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya, dibesarkan dalam kekerasan domestik oleh orang tua angkat, dan dicap sebagai “produk gagal” oleh lingkungannya, Jefri menghidupi luka yang tidak pernah bisa diungkapkan. Dalam ketidakmampuan untuk menyuarakan penderitaannya, dia memilih kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan perhatian dan eksistensi. 

Menurut istilah psikoanalitik, ini adalah acting out atau perilaku destruktif yang dilakukan tanpa kesadaran penuh. Ini adalah manifestasi dari trauma yang tak terungkap.

Dalam “Pengepungan di Bukit Duri” ini, Jefri yang juga keturunan Tionghoa, justru menjadi sosok yang paling agresif terhadap orang-orang Tionghoa lainnya. Ini adalah bentuk internalized racism. Sebuah keadaan di mana seseorang membenci identitasnya sendiri karena merasa terasing atau merasa identitas itu sebagai sumber penderitaan. 

Jefri memandang etnis Tionghoa sebagai simbol kelemahan dan perbedaan. Sebuah kondisi yang ingin Jefri hancurkan Ini menjadi bentuk penolakan terhadap kenyataan yang tidak bisa dia terima.

Representasi diskriminasi horizontal

“Pengepungan di Bukit Duri” juga membuka ruang bagi pembahasan tentang diskriminasi horizontal. Misalnya, kekerasan antarkelompok marginal yang terjadi karena internalisasi struktur dominasi. 

Diskriminasi horizontal ini bisa juga disebut sebagai penindasan yang direproduksi oleh yang tertindas, sebagai efek dari kolonisasi jiwa. Maksudnya, ketika individu yang tertindas meniru perilaku penindas terhadap sesama yang lemah.

Film “Pengepungan di Bukit Duri” menunjukkan bagaimana kebencian bisa berjalan 2 arah. Hal ini digambarkan dalam adegan ketika Kristo (Endy Arfian), murid Edwin, dipersekusi oleh orang-orang Tionghoa. 

Selain itu, terdapat karakter Tionghoa lain yang melakukan hal serupa meskipun tidak secara fisik. Misalnya dalam adegan ketika Diana diperlakukan buruk oleh bartender di bar pecinaan. Kekerasan tidak lagi memiliki wajah tunggal. Ia menjadi virus yang menginfeksi siapa saja, termasuk mereka yang dulu menjadi korban.

Pembelajaran dari luka sejarah lewat “Pengepungan di Bukit Duri”

“Pengepungan di Bukit Duri” adalah cermin yang memantulkan kenyataan pahit dari masyarakat yang enggan berdamai dengan masa lalunya. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, yang masih terus berlangsung hingga hari ini, tidak hanya didorong oleh alasan rasional, tetapi oleh sikap masyarakat yang terus menerus menolak untuk belajar dari sejarah. Kita memilih untuk lupa, padahal luka tidak akan pernah hilang hanya dengan diam.

Dalam dunia yang penuh kebencian ini, pengetahuan adalah bentuk perlawanan. Edukasi bukan hanya soal hafalan, tetapi tentang mengenali luka bersama dan mencari cara untuk menyembuhkannya. Kita tidak dapat mengubah masa lalu, namun kita bisa memilih apakah luka tersebut akan diwariskan atau berhenti di generasi kita.

Bagi Anda yang tertarik untuk menyaksikan kisah yang menggugah ini, “Pengepungan di Bukit Duri” sudah tayang sejak 17 April 2025. Mungkin ada yang tidak berani menonton karena terdapat materi kekerasan, bullying, dan konflik rasial yang mungkin terlalu intens bagi sebagian penonton. 

Tapi, saran saya, jangan lewatkan kesempatan untuk menyelami kisah ini lebih dalam. Karena untuk belajar dari sejarah dan untuk menyembuhkan luka, kita perlu menghadapinya terlebih dahulu.

Penulis: Iman Septiaji

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Menolak Lupa 10 Pelanggaran HAM yang Diabaikan Pemerintah Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 20 April 2025 oleh

Tags: cinaFilm Indonesiafilm joko anwarfilm Pengepungan di Bukit Durijoko anwarkekerasan rasialkerusuhan mei 1998mei 1998Pengepungan di Bukit Duritionghoa
Iman Septiaji

Iman Septiaji

Pengamat yang bodo amat.

ArtikelTerkait

Drama Cina: Ending Gitu-gitu Aja, tapi Saya Nggak Pernah Skip Menontonnya Mojok.co

Drama Cina: Ending Gitu-gitu Aja, tapi Saya Nggak Pernah Skip Menontonnya

9 November 2025
perfilman

CGI di Perfilman Indonesia yang Semakin Baik dan Patut Diapresiasi

3 September 2019
7 Rekomendasi Film Indonesia 21+ buat Kalian yang Bermental Baja

7 Rekomendasi Film Indonesia 21+ buat Kalian yang Bermental Baja

15 April 2022
Buat Pengelola Bioskop: Stop Ambil Jatah Layar Film Indonesia untuk Film Blockbuster terminal mojok.co

Buat Pengelola Bioskop: Stop Ambil Jatah Layar Film Indonesia untuk Film Blockbuster

10 Desember 2021
5 Film Indonesia tentang Kekerasan Seksual terminal mojok.co

5 Film Indonesia tentang Kekerasan Seksual

10 Desember 2021
3 Rekomendasi Film Indonesia yang Relevan dengan Hiruk Pikuk Negara Saat Ini Mojok.co

3 Rekomendasi Film Indonesia yang Relevan dengan Hiruk Pikuk Negara Saat Ini

3 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

13 Desember 2025
Mio Soul GT Motor Yamaha yang Irit, Murah, dan Timeless (Unsplash) yamaha mx king, jupiter mx 135 yamaha vega zr yamaha byson yamaha soul

Yamaha Soul Karbu 113 cc: Harga Seken 3 Jutaan, tapi Konsumsi BBM Bikin Nyesek

17 Desember 2025
Yamaha Xeon: Si Paling Siap Tempur Lawan Honda Vario, eh Malah Tersingkir Sia-Sia Mojok.co

Yamaha Xeon: Si Paling Siap Tempur Lawan Honda Vario, eh Malah Tersingkir Sia-Sia

13 Desember 2025
KA Ijen Expres, Kereta Premium Malang-Banyuwangi, Penyelamat Mahasiswa asal Tapal Kuda

KA Ijen Expres, Kereta Premium Malang-Banyuwangi, Penyelamat Mahasiswa asal Tapal Kuda

18 Desember 2025
Bukan Mojokerto, tapi Lumajang yang Layak Menjadi Tempat Slow Living Terbaik di Jawa Timur

Bukan Mojokerto, tapi Lumajang yang Layak Menjadi Tempat Slow Living Terbaik di Jawa Timur

18 Desember 2025
3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

16 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”
  • Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah
  • Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia
  • Balada Berburu Si Elang Jawa, Predator Udara Terganas dan Terlangka
  • Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Menyiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran
  • UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.