Tulisan ini terinspirasi setelah membaca salah satu artikel di Terminal Mojok yang tentang Restoran Mahal yang menjual Makanan dengan Porsi Sedikit. Ada satu poin penting yang belum disebut sama penulis, yaitu supaya pelanggannya nggak kekenyangan karena makanan yang disajikan ada banyak. Hal ini saya ketahui berdasarkan pengalaman pribadi makan di restoran fine dining. Alhamdulillah, katrok-katrok begini saya juga pernah ngerasain makan di restoran mahal, berkat acara table manner yang diadakan dalam rangka praktikum mata kuliah kuliner.
Acaranya bertempat di restoran sebuah hotel bintang empat di Jogja. Di acara itu, kami diajari etika makan dalam perjamuan formal, atau istilahnya table manner, plus dikasih menu makanannya langsung untuk praktiknya. Asyik banget kaaannn.
Table manner yang diajarkan serta menu yang dihidangkan waktu itu mengacu pada gaya Western (Amerika dan Eropa), di mana satu set menu lengkap secara garis besar terdiri dari appetizer (hidangan pembuka), main course (hidangan utama), dan dessert (hidangan penutup). Nggak cuma etika waktu makan, kami benar-benar diajarkan mulai dari etika saat baru masuk restoran, mau duduk di kursi mesti dari arah mana, naruh tas bawaan harus di mana, sampai cara memasang napkin atau serbet.
Pertama-tama, pelayan bakal menyediakan air putih untuk tamu sambil menunggu makanan datang. Kami diajari cara minum pakai gelas berleher. Itu lho, yang suka buat wine. Cara yang benar adalah pegang bagian leher gelasnya, bukan bagian badan gelas. Dan itu nggak cuma berlaku buat minuman wine ya, hehehe.
Setelah menunggu beberapa saat, hidangan pembuka lalu datang. Saya nggak ingat waktu itu menunya apa, kalau nggak salah semacam roti kering yang dioles butter. Porsinya ya standar lah, dua lembar roti seukuran roti tawar pada umumnya. Butter-nya dikemas kayak sambal cocol yang suka ada di dalam bungkus ciki itu dan kita ngoles sendiri sesuai selera. Astaga, ngegadoin butter-nya aja udah enak banget. Pas rotinya udah habis tapi butter-nya masih sisa, jadilah butter itu dicamilin sambil nunggu hidangan berikutnya. Setelah menu pertama habis, piring dan seperangkat alat makannya bakal diberesin pelayan sambil menunggu hidangan berikutnya datang.
Hidangan berikutnya adalah sup (soup). Bukan sayur sop ya. Sebetulnya sup ini masih termasuk appetizer juga. Pada menu Western, sup itu ada yang jenis clear soup (kuah jernih) dan creamy soup (kuah kental). Saya juga lupa waktu itu menu supnya apa, pokoknya enak deh wkwkwk.
Sup ini dihidangkan dengan mangkuk yang ada pegangannya mirip bentuk cangkir. Bentuk sendoknya pun juga beda dengan sendok makan biasa, lebih cekung dan lebih bulat sehingga gagangnya terasa lebih panjang. Bentuk sendok yang kayak gitu agak bikin susah ditaruh di mangkuk kalau kita mau jeda dulu makannya, jadi ada cara tersendiri untuk naruh sendok di sisi mangkuk.
Posisi sendoknya pun juga mesti diperhatiin, karena itu menunjukkan apakah makanannya udah selesai dimakan atau masih mau dilanjut. Posisi ini jadi kode buat pelayan untuk mengetahui mana piring yang harus diberesin dan mana yang belum boleh diberesin. Sebab, pada fine dining, menunya dikasih satu-satu secara bergantian, nunggu menu sebelumnya selesai dimakan.
Mungkin memang kapasitas perut saya juga yang cenderung kecil, baru sampai menu kedua aja perut yang tadinya laper sampai perih udah berasa terisi. Tapi, tenang, masih muat kok. Belum juga sampai ke hidangan utama. Hidangan utamanya adalah steak dengan mashed potato dan sedikit sayur.
Tapi, sayangnya, hidangan ini justru jadi yang paling saya nggak suka. Selera makan saya yang masih pribumi ini jadi turun waktu lihat ada juice/cairan kemerahan pas daging steak-nya diiris. Memang waktu itu tingkat kematangan steak yang dibagikan ke kami semua beda-beda, dan saya dapat entah apa. Yang jelas bukan well-done karena masih kelihatan agak kemerahan dan basah gitu.
Ada juga mashed potato sebagai karbonya di menu itu, satu buah kentang ukuran sedang. Kentangnya hambar pula, padahal saya udah agak ogah makan dagingnya. Sebab saya nggak biasa makan kentang rebus, rasanya seret di tenggorokan dan pengin minum terus. Eh malah jadi kenyang kebanyakan minum wkwkwk. Udah keburu-buru (maklum restonya cuma dibooking sampai siang), saya akhirnya nggak ngabisin menu itu, masih sisa sedikit (tolong jangan dihujat, saya udah berusaha).
Eits, belum selesai. Masih ada satu menu lagi, yaitu hidangan penutup. Sambil nunggu, kami disediakan teh atau kopi, bebas pilih yang mana. Nggak lama kemudian, makanan pun datang (lagi).
Menu dessert yang disajikan adalah sejenis cake cokelat dengan garnish saus berry, es krim, dan karamel. Cantiiikkk banget. Dan seperti kue manis pada umumnya, menu ini enak banget. Sayangnya karena perut udah terlanjur begah, saya makannya jadi nggak lahap deh. Kurang menikmati, huhuhu.
Jadi kira-kira itulah salah satu alasan kenapa porsi pada menu di restoran mahal itu sedikit. Sebab, dalam satu kali acara makan, menu yang disajikan ada banyak. Dengan porsi yang kecil, pelanggan diharapkan bisa menikmati semua menu yang dihidangkan. Kan nggak lucu ya, kalau habis makan malah kembung dan kebelet buang hajat. Eman-eman makanan mahalnya, hahaha.
Tapi, sebagai catatan, ada juga yang bilang bahwa fine dining di Indonesia udah disesuaikan porsinya dengan orang Indonesia. Jadi agak banyak dan lebih mengenyangkan. Nggak tahu deh apakah resto tempat saya latihan table manner itu juga udah menerapkan cara tersebut atau belum. Yang jelas, fine dining itu memang hidangannya banyak, dan berpotensi bikin kenyang (tergantung kapasitas perut masing-masing).
Kalau soal harga yang selangit, bukan cuma kualitas bahan dan cita rasa aja yang jadi sebab. Keseluruhan pelayanan restoran itu juga pastinya jadi perhitungan dalam menentukan harga. Mulai dari printilan alat makan yang beda-beda fungsinya, taplak meja berbahan kain yang nge-laundry-nya juga perlu budget, sampai pelayan yang harus berjumlah cukup banyak karena mesti bolak-balik nganter dan ngeberesin hidangan di meja pelanggan. Dan jangan lupa sama tempat dan dekorasinya yang mevvah.
BACA JUGA Jangan Biarkan Pengguna Quora Makin Banyak dan Ramai, Nanti Toksik dan tulisan-tulisan Yusrina Kartika lainnya.