Sejauh ini musik bergenre dangdut sedang kembali mencoba naik daun. Dangdut yang sekarang bermetafora dari semula dikenal musik kampungan mulai merambah sebagai genre yang dapat dinikmati semua kalangan. Lahirnya musisi kaliber Via Vallen, Nella Kharisma, hingga Jihan Audy telah berhasil menunjukkan kalau dangdut bisa diterima di manapun.
Belum lagi, The Godfather Of Broken Heart: Pakde Didi Kempot yang ikut mengambyarkan seluruh anak muda lewat dendang patah hatinya. Namun jauh sebelum ketenaran penyanyi-penyanyi dangdut yang saat ini naik daun, ada satu orang maestro musik yang justru sering dilupakan, lebih khusus bagi sebagian anak muda. Beliau adalah Rhoma Irama.
Memang sekarang hampir tak ada satu orang pun yang nggak mengenal sang Raja Dangdut ini. Namun, coba tengok seberapa banyak anak muda yang mau mengakui sebagai fans berat Rhoma Irama? Mungkin hanya segelintir anak muda, atau hanya mereka yang berumur dua puluh tujuh ke atas. Sementara generasi di bawahnya?
Banyak lagu-lagu Rhoma Irama dikenal oleh mereka, tetapi yang ngefans beliau bisa dihitung jari. Saya adalah salah satu penggemar Rhoma. Dan karena itu, saya justru acap kali di-bully. Maklum lingkungan anak muda di tempat saya lebih menyukai lagu pop dan indie.
Bukan berarti saya juga nggak dengerin lagu-lagu tersebut. Apalagi saya memang penikmat musik, jadi hampir semua jenis musik asalkan menurut saya enak, ya saya dengarkan. Akan tetapi, setiap kali menyetel musik, terlebih di tempat ngumpul bareng teman-teman, saya selalu mendapat respons negatif, kayak “Ih, apaan sih, ndengerinnya Rhoma Irama.”
Saya tipikal orang yang hobi menyusun playlist musik dengan genre tak beraturan. Suatu siang, saat enak-enaknya istirahat di sebuah tempat, saya memainkan lagu keras-keras. Kala itu musiknya sedang memutar lagu Fiersa Besari, kemudian beranjak ke lagunya Tulus, selanjutnya beralih lagi memutar lagunya Barasuara. Nah, saat habis, musik di komputer saya alihkan buat memutar lagunya Rhoma dengan musiknya yang dulu, bukan cover. Langsung, mimik muka teman-teman berubah drastis, tampaknya mereka nggak suka dan kelihatan sinis gitu.
Satu lagi, pernah sekali waktu saya ngobrolin selera musik bareng teman. Dia cerita banyak hal, dari mulai lagu yang disukainya sampe musisi favorit. Semuanya keren-keren, saya ikut mengiyakan kalau musisi macam Ariana Grande, Bruno Mars, Agnezmo, sampe Iwan Fals memiliki kualitas bagus. Saya sering mendengarkan lagu yang mereka bawakan.
Namun ketika saya menyebut kalau Rhoma Irama juga menjadi penyanyi favorit, wajah teman saya langsung kecut gitu. Dia nggak nyangka, kok bisa-bisanya anak muda seperti saya ngefans sama Rhoma? Anehnya lagi, hampir semua teman saya suka musik dangdut, tapi nggak suka sama sekali dengan musiknya Rhoma.
Tanpa sedikit pun niat menggeneralisir bahwa penggemar musik dangdut harus ngefans juga sama Rhoma Irama, tapi stigma yang nggak bagus itulah selalu hampir saya terima. Dan barangkali itu juga menimpa orang lain seumuran saya yang ngefans sama musiknya Rhoma. Padahal beliau ini kan penyanyi top yang berhasil merevolusi musik dangdut.
Puluhan tahun sebelum Nella Kharisma membuat joget tanah air, Rhoma telah berhasil membuat kolaborasi dari Hindustan, Arab, dan Melayu menjadi satu. Akhirnya lahirlah dangdut yang sampai sekarang terkenal asli Indonesia. Saya nggak akan membandingkan dua penyanyi tersebut.
Yang ingin saya sesalkan adalah stigma buruk pada anak muda yang ngefans sama Rhoma Irama dan musiknya. Bahkan sering kali penggemar beliau dianggap selera musiknya rendah. Harus diakui polaritas selera musik masih terjadi di tanah air. Buntutnya musik Rhoma yang terlanjur identik dengan musiknya orang-orang tua seakan tidak boleh didengarkan anak muda.
Anak muda seperti saya tak masalah mau ndengerin musik dangdut. Asalkan jangan lagu yang dinyanyikan Rhoma Irama. Ibarat kata lebih baik musik dangdut koplo daripada musik dangdut Rhoma Irama. Padahal alunan musik Rhoma Irama dan koplo sangat-sangat jauh berbeda. Kalau didengarkan dengan telinga “waras” pasti bisa bedain mana yang enak mana yang tidak.
Saya sering dikatain begini: anak muda kok dengerin musiknya orang-orang tua. Seakan-akan musik Rhoma Irama cuma diperuntukkan orang yang sudah berumur atau setidaknya menginjak kepala tiga. Sedangkan, jika dicermati sejatinya lagu-lagu ciptaan Rhoma Irama banyak sekali yang relevan dengan kehidupan anak muda era milenial.
Mulai dari lagu Bimbang, Kerinduan, Menunggu, Darah Muda, Kawula Muda, sampe Nafsu Serakah. Coba dari lagu yang saya sebutkan itu mana yang nggak relatable sama kondisi sekarang? Nggak perlu berkilah, akui saja kalau sekarang banyak anak muda yang galau. Jauh sebelum muncul musisi indie, Rhoma sudah nyiptain lagu Bimbang.
Nggak cukup sampai di situ. Anak muda yang kebetulan ngefans sama Rhoma Irama riskan dianggap kuno, jadul, dan tertinggal. Jika dia adalah seorang cowok, cewek-cewek bisa enggan mendekat. Sementara jika dia fans cewek, hmm, tahu sendiri lah.
Label kuno nan jadul bagi penggemar Rhoma agaknya sudah sangat melekat pada diri penggemarnya, tak pantang usia. Mau bilang sekeras mungkin bahwa selera musik itu nggak perlu diperdebatkan, nyatanya kiwari fans Rhoma Irama sudah merasakan bagaimana dianggap terbelakang. Tunggu sebentar, jadi inget ketika Rhoma Irama tampil di Indonesian Idol.
Lewat media sosial Instagram Official dari Indonesian Idol saya mengamati banyak yang tidak suka kehadiran Rhoma Irama. Sebagian ada yang berkomentar sinis dan menganggap acara musik sekelas Indonesia Idol jadi turun kasta akibat kehadiran si Raja Dangdut.
Duh. Coba deh, lain kali baca dulu sejarah musik Indonesia. Lihatlah video-video di YouTube bagaimana musisi fenomenal pun menggemari Rhoma Irama. Musisi cum eks aktivis 212, Ahmad Dhani pun mengoleksi album-album Rhoma Irama.
Saya nggak ada maksud mengajak buat sama-sama ngefans Rhoma Irama. Tidak sama sekali. Yang saya ingin tarik benang merah adalah kita nggak bisa menganggap rendahan selera musik orang, apa pun itu. Musik nggak punya kelamin, nggak punya umur, bisa dinikmati siapa saja.
Musik yang diciptakan jauh sebelum era indie, memang tergolong musik klasik dan jadul, bukan berarti karena itu pula kita menganggap kalau fans musik tersebut adalah kaum terbelakang. Atau selera musiknya nggak berkelas sama sekali. Ini nggak hanya berlaku bagi fans Rhoma Irama, melainkan juga seluruh fans musisi jadul.
Sampai ada lagi yang menganggap sebelah mata penggemar musik kuno, hmmm. Terlalu~
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.