Kemarin, selama empat tahun menjadi mahasiswa, setidaknya ada 3 hal yang paling saya takuti selama perkuliahan: skripsi, wisuda, dan… KKN (Kuliah Kerja Nyata). Ketiga etape tersebut membuat hati saya ciut, bahkan jauh sebelum dimulai.
Cerita KKN senior yang terdengar horor
KKN menjadi horor bukan karena diadakan di desa penari, atau posko KKN yang lama tak berpenghuni. Bukan juga karena takut nggak cocok dengan teman baru, apalagi khawatir hubungan jadi kandas karena orang baru. Ini soal pengeluaran KKN yang nggak menentu.
Menurut cerita dari banyak senior, KKN adalah program kampus yang memakan biaya besar. Katanya, subsidi yang diberikan kampus tak ada apa-apanya. Itulah kenapa mahasiswa terpaksa harus iuran sekitar Rp1-2 juta, bahkan lebih. Bahkan nominal itu bisa membengkak tergantung proker yang disepakati.
“KKN itu butuh modal, Fan. Siapin aja minimal sejuta,” begitu wejangan para senior di kampus.
Biaya bikin saya resah
Sebagai mahasiswa “financial independent” (untuk tak menyebut mahasiswa kere), uang Rp1-2 juta bukan nominal kecil. Butuh waktu lama bagi saya untuk menyisihkan uang sebanyak itu.
Terlebih pekerjaan saya selama ini bisa dikatakan hanyalah buruh harian tanpa sistem cuti. Artinya, dua bulan KKN sama saja dengan dua bulan mogok kerja tanpa gaji. Pemasukan jelas jadi terhenti, sedangkan pengeluaran justru bertambah. Bagi saya itu sebuah nestapa.
Maka tak heran jika ketakutan dan keresahan itu lebih dulu hadir. Bahkan jauh sebelum KKN dimulai. Akibatnya, makan terasa hambar, tidur pun tak nyenyak. Persis kayak orang baru putus cinta. Segala perasaan tak nyaman ini menuntut saya untuk segera menemukan solusi.
Ikhtiar saya sebelum menjalani KKN
Begitu mendengar saran senior di awal, saya langsung banting setir cari job tambahan. Bak kerasukan setan, saya menyambar semua peluang yang bisa menghasilkan cuan.
Tak disangka rezeki terus menyambangi saya. Nominal yang saya peroleh dari job sampingan itu ternyata cukup banyak. Rp800 ribu. Bukan main. Nyaris menutupi biaya yang disarankan senior saya kala itu. Maka sisanya, ringan saja bagi saya untuk menggenapkannya.
Selain itu, jika ada jamaah Mojok yang kebetulan bernasib serupa dengan saya, ada baiknya mempertimbangkan aspek geografis dan sosial-ekonomi lokasi KKN. Kalau bisa, pilih lokasi yang nggak terlalu jauh dari domisili tapi dengan living cost yang lebih minim. Kedua hal ini sering luput dari pertimbangan mahasiswa. Padahal keduanya memengaruhi sedikit banyak pengeluaran.
Pengalaman saya bertahan hidup selama KKN dengan iuran 300 ribu
Jika kalian mahasiswa KKN yang pas-pasan seperti saya, berikut saya bagikan pengalaman serta tips yang bisa kalian pertimbangkan.
Pertama, pilihlah bendahara yang pelit nan amanah. Satu dari ketakutan saya adalah mendapat bendahara yang hedon saat KKN, apalagi sampai nggak amanah. Kombinasi dua sifat itu jelas bikin dompet boncos.
Lantaran saat itu yang saya percaya hanya diri sendiri, maka saya nggak ragu mencalonkan diri sebagai bendahara KKN saat pembentukan struktural. Terlalu pede, tapi setidaknya saya punya kewenangan dan kontrol lebih banyak dalam masa depan keuangan kas.
Kedua, rajin cari tambahan kas. Dulu, untuk mencari tambahan kas, kami membuat poster donasi yang berisi ajakan menyumbang pakaian bekas hingga bahan logistik. Pakaian yang terkumpul kemudian kami jual di pasar. Hasilnya lumayan. Selama 3 hari penjualan, kami mendapat uang nyaris Rp600 ribu. Percayalah, semakin rajin berjualan, semakin banyak pula kas tambahan yang didapat.
Ketiga, menerapkan frugal living. Selama KKN, tak perlu gengsi dengan menu makan sederhana seperti sayur dan tahu tempe. Saya termasuk beruntung karena ditakdirkan sekelompok dengan teman-teman yang mau diajak sederhana.
Dalam sehari, kami hanya mengeluarkan uang Rp30 ribu-Rp40 ribu untuk makan dua kali. Jumlah kami saat itu 11 orang. Dengan bujet minimalis, tak jarang beberapa dari kami masih kelaparan. Solusinya ya masak telur atau mie instan.
Kami juga sering mencari info acara yang diadakan warga. Mulai dari maulidan, nujuh bulanan, hingga tahlilan. Apa pun acaranya, intinya ada makan-makan di ujungnya. Lumayan perbaikan gizi selama KKN.
Nasib baik benar-benar berpihak pada saya. Di desa KKN saya, tuan rumah juga biasanya memberikan berkat mentah sembako kepada tamu acara yang hadir. Hasilnya logistik di posko kami melimpah.
Proposal proker bawa berkah
Terakhir, mempertimbangkan proposal dalam pembuatan proker. Meski sudah riset sana-sini terkait proker yang ramah kantong tapi tetap bermanfaat, pada akhirnya kami tetap saja butuh biaya besar. Kalau hanya mengandalkan pemasukan kas, jelas tak akan cukup. Di sinilah proposal jadi penyelamat kami.
Dulu, kami membuat beberapa proposal yang melibatkan kerja sama ke instansi desa maupun daerah. Ada juga yang kami kirim ke ritel atau minimarket yang ada di kecamatan.
Di momen itu, yang diuji bukan hanya tenaga, tapi juga keberanian dan kepercayaan diri. Kalau dipikir-pikir, posisi kami persis pengemis pinggir jalan. Bedanya, kami mengemis dengan gaya. Berkemeja rapi, bersepatu klimis, sambil menjual ide-ide program kerja dengan penuh percaya diri.
Tak jarang kami hanya disambut senyum basa-basi, atau langsung ditolak halus. Tapi banyak juga yang berbuah manis. Misalnya, kantor desa menyediakan anggaran Rp800 ribu (termasuk biaya pembicara hingga konsumsi acara sosialisasi kenakalan remaja).
Dari Dinas Perhutani memberi 500 bibit tanaman untuk program penghijauan lingkungan. Polres pun tak ketinggalan memberi bantuan uang sebesar Rp300 ribu untuk mobilisasi. Pun dengan minimarket terdekat yang memberi donasi Rp300 ribu untuk memeriahkan acara lomba 17-an bareng warga. Dan paling besar, tentu saja saat acara penutupan KKN berupa salawatan. Waktu itu kami memberanikan diri bikin proposal ke pengusaha lokal.
Bantuan tanpa proposal juga berdatangan dari masyarakat sebagai bentuk partisipasi, terutama menjelang acara penutup. Bahkan ada yang menyumbang 50 kg beras dan 25 kg buah. Jika ditotal, donasi untuk acara itu saja mencapai sekitar Rp2 juta.
Kalau dihitung secara keseluruhan dari berbagai proposal kegiatan, total bantuan yang terkumpul menyentuh angka Rp5 juta rupiah. Artinya, proposal menekan pengeluaran kas KKN kami.
Bisa dibayangkan, iuran Rp300 ribu hanya hanya cukup untuk satu program kerja. Tapi dengan proposal, banyak kebutuhan kami yang tertutup oleh bantuan sponsor. Jadi kalau ditanya “mengapa harus bikin proposal?” Jawabannya jelas: kami mahasiswa kantong pas-pasan.
Pemerintah butuh belajar dari KKN kami
Meski awalnya penuh ketakutan, ternyata setelah dijalani tak semenyeramkan itu. Lagi-lagi selalu ada jalan dari Tuhan untuk mahasiswa kere seperti saya.
Dan soal efisiensi anggaran, agaknya DPR perlu belajar dari kelompok KKN kami. Bayangkan saja kalau mereka mau irit dan sedikit rendah hati. Mungkin tak perlu mahal-mahal menyewa mahal hotel bintang lima hanya untuk rapat. Cukup menyewa balai desa dengan kudapan sekresek nasi berkat. Insyallah APBN kita nggak perlu defisit seperti sekarang.
Penulis: Ifana Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 11 Kelakuan Buruk Warga Desa kepada Mahasiswa KKN yang Jarang Dibicarakan, Bikin Kesal!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















