Saya memulai perjalanan merantau ke Pulau Jawa di hari yang walau oleh dukun desa dianggap sebagai hari baik, namun berjalan tidak sesuai dugaan. Pilihan-pilihan yang sepertinya memudahkan justru terlihat seperti tidak berpihak pada saya. Ada pilihan naik pesawat, eh saya malah takut tidak bisa sat set dan terlihat kampungan. Maklum saja, selama 19 tahun di kampung, melihat pesawat dari bandara perintis di kampung seberang saja sudah cukup bersyukur. Seringkali terlintas di doa-doa saya adalah hal mutlak, tapi kepikiran hal tersebut bakal kejadian di hidup saya, hanyalah utopia. Maka kapal laut adalah pilihan tersisa.
Saya berangkat menggunakan speedboat ke Wangi-Wangi (ibukota kabupaten). Tidak ada yang spesial. Toh saya sudah sering merasakan. Lalu ke Bau-Bau menggunakan kapal laut juga. Sudah biasa. Perjalanan yang semula bikin saya antusias, terlihat mulai membosankan.
Sampai di Bau-Bau, saya punya lagi pilihan lain. Jika naik pesawat bikin saya takut mabuk, kali ini ada pilihan naik kapal lebih besar (dan memang ini rencana sejak awal), Kapal Pelni. Namun, entah bagaimana ceritanya, saya keburu kehabisan tiket dan cita-cita naik kapal besar itu pun tertunda. Emang sepertinya terkutuk ini perjalanan.
Untungnya, ada sebuah kapal (barang) milik om saya yang searah perjalanan dengan saya. Sama-sama ke pulau Jawa. Eh, tapi tunggu dulu. “Itu beneran kapal barang, Fik?” Begitu celetukan teman kuliah ketika saya bercerita pengalaman pertama perjalanan jauh saya ke negeri antah berantah.
Ya, itu kapal kayu. Biasanya digunakan hanya untuk keperluan ngangkut barang. Manusia yang ada di situ hanya bisa diisi oleh kru kapal. Kalo ada manusia lain selain kru kapal, dan ketahuan Polisi Perairan atau TNI-AL yang sedang patroli, siapkan saja duitnya yang banyak sebagai “cap tangan”. Kalau Anda menganggap saya mengarang cerita perihal “cap tangan” ini,maaf, saya pernah mengalaminya, ditilang di tengah laut sekitar kepulauan Selayar bersama kapal yang dinahkodai abang saya sendiri.
Singkat cerita, perjalanan dengan kapal barang ini dimulai. Sehari, dua hari, rasanya seperti seminggu. Dengan kecepatan 10-15 knot per jam, setiap detik serasa penjara. Jika Anda kepikiran hal yang sama, untuk melakukan perjalanan sehari atau dua hari menggunakan kapal, saya sarankan bawalah buku. Satu atau dua sudah cukup untuk menghilangkan gelisah dan kesendirian.
Sampai di perbatasan Lombok dan Bali pada hari ketiga perjalanan. Terlihat tidak terlalu berat perjalanan perdana tersebut, sampai pada sebuah kejadian, mesin kapal tetiba saja mati. Perihal matinya masih jadi misteri. Katanya sih ada yang “mengirim sesuatu”. Semua kru kapal yang sedang asyik bersantai di pagi yang dingin itu seketika tegang. Hening, saling bertatapan. Udah macam film horor thriller psycho. Maka dimulailah drama terkatung-katung di perairan.
Hari pertama kapal mogok. Setelah ketegangan yang ditimbulkan akibat mesin mati tiba-tiba itu, kehidupan kembali normal. Kru kapal bagian koki, ya masak. Bagian mesin, ya berkutat dengan mesin agar bisa segera digunakan. Bagian nyantai, ya nyantai. Seperti tidak terjadi apa-apa. Saya berpikir, ternyata orang macam begini, di segala lini kehidupan selalu ada. Mereka yang selonya nauzubillah, padahal di balik keseloan yang ditampilkan itu, kita sedang berhadapan dengan maut.
Memperhatikan kondisi kapal yang sedang “sakit” ini, saya juga bisa memperhatikan tipe-tipe manusia (kru). Ada si pekerja, yang memang harus tetap bekerja walau dalam kondisi macam apapun. Koki adalah salah satu dari tipe ini. Mereka harus tetap bisa masak meski badai sebesar apa pun. Panci dan alat masak jatuh ke laut, ya sudah biarkan, ganti yang lain.
Ada tipe manusia yang selo, seperti yang saya sebutkan di atas, adalah manusia-manusia yang tetap terlihat santai. Ngajak main domino atau kartu remi teman-temannya, ngajakin main gunting-batu-kertas dengan disentil kupingnya untuk yang kalah. Bahkan mereka ini bisa dengan santainya tidur. Hellow, Bosquh, ini kita lagi sekarat nih, kok ente enak-enaknya tidur? Sellaw banget hidup ente?
Nah, tipe yang paling sangar menurut saya adalah nahkoda dan asistenya. Mereka adalah manusia yang sangat tegar. Banget. Mereka adalah role model mengapa kehidupan kapal menjadi normal kembali. Ketegangan sesaat yang terjadi saat kapal pertama kali mogok bisa segera cair karena si nahkoda memang mengisyaratkan agar semua tetap bisa tenang. Si koki bisa masak, ya karena melihat nahkoda yang matanya mengisyaratkan optimisme. Pun dengan si selo, mengapa bisa sesantai itu.
Terombang-ambingnya kapal karena mogok tidak seperti terombang-ambingnya hati ketika si doi tidak memberi kabar barang sehari. Jauh lebih buruk dari itu. Pikiran kita tidak stabil. Bisa sampai berhalusinasi. Kepala pusing, perut mual. Lama-lama muntah juga. Dan ini pengalaman pertama saya muntah di kapal. Walau saya pernah mengalami mogok di laut dengan perahu yang lebih kecil.
Pada akhirnya kami tetap bisa sampai di Probolinggo dengan selamat. Walau kami harus berjuang selama tiga hari terombang-ambing di tengah laut sampai kapal benar-benar bisa pelan-pelan kembali melaju. Benar-benar seperti tanpa harapan namun tetap menyenangkan. Saya tetap menikmatinya. Tapi, kalo ditanya, mau mogok di laut lagi? Sorry-sorry nih ya, mending jangan lagi deh.
BACA JUGA Kisah Cinta Tak Sampai Pelaminan, Dituduh Pakai Pelet, dan Berakhir Platonis dan tulisan Taufik lainnya.