Sudah bukan rahasia lagi jika gunung adalah tempat yang menyeramkan bagi orang-orang penakut seperti saya. Alam bebas dengan pohon tinggi-tinggi menjulang, pada malam hari seperti punya matanya sendiri-sendiri. Pengalaman yang bikin saya cukup kapok ini, baru saya alami setelah beberapa kali melakukan pendakian gunung. Saya bukanlah seorang yang dibekali dengan kemampuan indigo, hanya sedikit peka terhadap kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata ini. Secara visual, saya menolak untuk mengakui jika mata saya sedang menangkap sosok makhluk halus.
Malam Selasa lalu, saya bersama seorang teman merencanakan sebuah pendakian ke Gunung Andong yang berada di Kabupaten Magelang. Kami berangkat pukul delapan malam dari Kota Jogja. Hanya berdua, menggunakan satu sepeda motor Vario yang pernah saya ceritakan pecah blok mesinnya. Saya sebenarnya tidak suka mendaki gunung malam hari, apalagi cuma berdua. Tetapi tidak ada pilihan lain, sebab teman saya baru selesai kerja pukul lima sore.
Menyusuri jalanan Jogja-Magelang sekitar dua jam, kami memasuki wilayah Magelang bagian gunung-gunungan. Saya tidak tahu apa nama daerahnya, tapi perjalanan ini akan menuju gunung Andong via basecamp Sawit. Udara dingin malam lereng gunung begitu menusuk, sepi, jarang kendaraan melintas. Rasanya, hanya kami berdua saja yang melewati jalanan berkelok ini. Perasaan tidak nyaman sudah mulai mengisi benak. Saya penakut dan parnoan, jadi saya cepat-cepat gas motor agar segera sampai.
Sekitar setengah 11 malam, kami sampai di basecamp Sawit. Gunung Andong yang pada normalnya sebelum pandemi selalu ramai sampai parkiran penuh sesak. Malam itu lengang seperti desa wisata yang telah mati. Hanya ada satu rumah basecamp yang masih buka melayani pendaki. Melihat dari jumlah motor yang terparkir, rasanya sedikit sekali, tidak lebih dari sekitar 10 motor yang saya asumsikan milik pendaki. Perjalanan ke atas benar-benar hanya kami berdua.
Setelah berkemas, melakukan simaksi dan berdoa, kami berdua pun berangkat menyusuri jalan Desa Taruna Giri Jaya Sawit. Binatang malam terdengar bersahut-sahutan menyambut langkah kami.
Kami mulai berjalan membelah rimbunnya hutan pinus. Sebelum memasuki wilayah hutan, saya dibuat syok dengan melihat seekor burung hantu sebesar kucing yang matanya menatap tajam ke arah saya. Jantung rasanya seperti mau copot, mak deg, mak tratap. Adrenalin ketakutan spontan melonjak drastis sampai ujung kepala. Sambil terus merapalkan ayat kursi dalam hati, saya mencoba tetap tenang agar teman tetap nyaman. Karena sepertinya hanya saya saja yang melihat keberadaan burung ini. Oh iya, kami berdua perempuan.
Sebagaimana layaknya hutan di malam hari langkah demi langkah begitu sunyi. Pohon-pohon yang kami lewati seperti punya mata yang turut mengikuti langkah kaki kami. Napas tersengal-sengal, ketakutan saya atas sosok burung tadi belum usai. Saya kembali diteror dengan ketidaknyamanan, rasanya tas yang ada di punggung saya menjadi jauh lebih berat, sehingga saya kewalahan sekali untuk menggendongnya. Lima langkah berhenti, lima langkah berhenti. Kondisi ini membuat saya semakin diteror rasa takut yang tidak berani saya ungkapkan ke teman. Mengingat kami hanya berdua akan sangat tidak nyaman jika kami juga diteror ketakutan yang sama.
Saya hanya bisa terus-terusan meminta waktu untuk beristirahat sambil meletakkan tas yang seperti berisi batu ini.
Saya tidak berani menatap jauh ke depan sepanjang jalan, takut melihat hal-hal yang tidak diinginkan. Hanya batu pijakan selangkah demi selangkah yang menjadi pusat perhatian. Jaket pun enggan saya lepaskan sebab rasanya bulu kuduk selalu berdiri saat angin malam membelai kulit tubuh saya ini. Menurut teman, wajah saya sudah amat pucat. Dia selalu menyarankan saya agar beristirahat dan tidak memaksa.
Hutan pinus yang tidak seberapa luasnya di lereng gunung Andong itu rasanya begitu lama ditempuh.
Langkah demi langkah, pelan-pelan adrenalin ketakutan saya mulai bisa saya atasi. Meskipun tas rasanya masih seperti menggendong batu, saya sudah berhasil lebih kalem perasaannya. Saya sudah bisa pelan-pelan bercanda dan mengobrol dengan teman sependakian saya ini. Setelah saya pikir semuanya sudah baik-baik, ternyata saya mendapatkan kejutan tambahan. Entah kuping ini error atau bagaimana, sayup-sayup terdengar suara perempuan tertawa.
Suara yang sungguh saya kenal persis seperti di film-film horor. Iiiihhhii…hii…hii… suara melengking sialan itu tertangkap kuping saya, terdengar jauh. Tapi saya ingat, menurut mitos jika suaranya terdengar jauh, berarti ia sedang dekat.
Allohumma sholli ‘ala sayyidina muhammad, saya mencoba untuk mengalihkan pikiran bahwa itu adalah suara binatang malam. Saya melihat ke arah teman , dia terlihat tidak bergeming. Setelah dua jam pendakian kami berdua baru berhasil keluar hutan dan mencapai puncak Andong. Sekitar pukul satu dini hari, akhirnya kami selesai mendirikan tenda.
Diliputi rasa penasaran, saya memberanikan diri bertanya kepada teman apakah ia juga mendengar suara yang sama dengan saya dengar. Jawabnya mengecewakan, tidak seperti yang berusaha saya pikirkan. Suara itu, hanya didengar oleh saya sendirian.
Dan malam ini, akan terasa begitu panjang.
Sumber Gambar: Pixabay
Editor: Rizky Prasetya