Untuk masalah virus Corona ini, kita semua tahu bahwa virus ini bukanlah virus main-main dan bisa dianggap enteng. Meski Pemerintah juga tengah bersiap untuk menanggulangi wabah ini, tapi peran masyarakat juga sangat penting dalam hal ini. Sebaik apa pun Pemerintah membuat larangan dan membuat penanggulangan dalam penyakit ini, namun jika masyarakatnya sendiri abai dengan kesehatan dan kebersihannya sendiri maka mustahil jika kita bisa menekan laju pernularan virus ini.
Saat ini kita mengenal begitu banyak istilah baru untuk pandemi corona ini. Ada self quarantine/isolation, sosial distancing, rapid test, lockdown, WFH, dan lain-lain. Untuk orang-orang modern yang sudah melek bahasa asing, mungkin tidak terlalu masalah dengan istilah-istilah ini. Mereka akan mudah memahaminya. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di kampung atau orang-orang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolahan? Jangankan untuk tahu istilah tersebut, untuk mengucapkan ulang kata-kata tersebut saja lidahnya kadang akan kepeleset-peleset karena tak terbiasa.
Saat pemerintah mengeluarkan perintah untuk sosial distancing, kemudian sebagian orang masih saja santai untuk kumpul-kumpul di sebuah acara. Orang-orang kampung jika bertemu juga masih saja bersalaman seperti biasanya. Saat disuruh untuk isolation, orang juga masih ke sana-sini seperti pandemi corona ini bukan sesuatu hal yang besar dan perlu ditakuti. Ini bukan masalah sebuah agama atau kepercayaan yang membuat orang bebal untuk menuruti anjuran pemerintah, tapi memang ada beberapa orang itu yang belum mengerti bahwa virus Corona ini sangat berbahaya dan penyebarannya sangat cepat.
Secara sederhananya itu, yah gimana orang mau mengikuti Pemerintah begitu saja jika mereka belum mengerti untuk apa mereka melakukan hal itu. Sama seperti kita, kalau tiba-tiba disuruh melakukan sesuatu yang kita sendiri gak tahu apa manfaatnya tentu kita bakal menolaknya kan ya? Ingat ya, penduduk Indonesia ini banyak banget dan gak semua melek teknologi serta bisa berpikiran kritis. Jadi, jangan langsung mengecap bahwa orang-orang daerah itu suka bebal kalau diberi tahu.
Mungkin Pemerintah bisa meniru gaya dan taktik Sunan Kalijaga dalam hal ini. Saat melakukan dakwah atau penyebaran agama Islam dulu di Pulau Jawa, Sunan tahu sekali watak dan kebiasaan orang Jawa. Jika saat itu Sunan datang membawa ceramah tentang ayat-ayat Alquran dan Hadis, sudah barang tentu orang-orang di Jawa tak akan mau memeluk agama Islam. Tapi Sunan menggunakan pendekatan yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Menyelipkan ayat-ayat suci di dalam sebuah tembang yang setiap hari disenandungkan oleh warganya dengan suka cita. Sehingga masyarakat lebih mudah mencerna kebaikan yang hendak ditawarkan oleh suatu agama tersebut.
Jika saja Pemerintah juga mau luwes dalam berkomunikasi dengan masyarakatnya sendiri tentu akan lebih mudah diterima. Jangan menggunakan bahasa-bahasa asing untuk para pribumi. Gunakanan kata-kata yang mudah untuk dimengerti.
Daripada menggunakan istilah sosial distancing, bukanlah lebih baik Pemerintah menyerukan larangan untuk jaga jarak dengan orang lain atau jangan ngumpul-ngumpul dulu. Kalau orang Jawa mungkin bisa diberi penjelasan bahwa sosial distancing itu artinya kurang lebih ojo cerak uwong sikek. Kalau orang Sunda bisa pakai istilah tong ameng atawa ngariung, kaluar saperluna.
Work from Home (WFH) kan bisa lebih praktis dibilang kerja dari rumah. Kalau di Jawa yah bilang aja kerjo neng omah. Lockdown bukannya lebih gampang tinggal bilang penutupan wilayah. Rapid test juga lebih mudah kalau dibilang tes/periksa cepat. Isolation juga bisa dibilang jangan keluar rumah dulu. Hand sanitazer juga bisa dibilang pencuci tangan bersih.
Bagi orang tua zaman dulu yang mungkin tinggal di Jawa mungkin buat memahami apa itu virus corana mungkin sesuatu yang sulit. Pendekatan untuk memahami virus ini lewat sebuah penejlasan lewat sains tentu tidaklah cocok. Tapi kalau saja pemerintah daerah bilang bahwa virus corona ini merupakan pagebluk pasti orang bakalan langsung tahu bahwa virus ini bukan penyakit sederhana. Mereka juga bakalan takut untuk keluar rumah atau sekadar bersalaman dengan orang lain saat tahu bahwa virus ini sudah seperti sebuah goro-goro kalau di sebuah pertunjukan wayang.
Gak perlu harus pakai kata-kata terapan atau yang sesuai KBBI, tapi gunakan kata-kata yang bisa langsung dimengerti oleh masyarakat kita. Kenapa harus memakai istilah asing untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang mayoritas penduduknya berbahasa Indonesia. Mengapa tidak memakai bahasa persatuan saja biar mudah dipahami bersama. Mungkin saja yah, Pemerintah menganut paham ‘Kalau ada yang ribet kenapa pakai yang mudah!’. hehe
BACA JUGA Membela Pemerintah Soal Pentingnya Pariwisata di Tengah Pandemi Corona atau tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.